Khilafatul Muslimin hanyalah salah satu dari fenomena-fenomena upaya penegakan khilafah yang diusung oleh banyak kelompok Islam. Lintas generasi, banyak sekali naras-narasi yang muncul untuk mewujudkan sistem ini, mulai dari level Indonesia sampai tingkat dunia.
Belakangan, kita kerap mendengar beberapa faksi yang mengusung ideologi khilafah. Dalam konteks luar negeri ada al-Qaeda, ISIS dan Jabhat Nusrah. Indonesia pun tidak kalah mentereng, kita dulu punya Negara Islam Indonesia, di era orde baru ada Hizbut Tahrir Indonesia, di era reformasi muncul Majelis Mujahidin Indonesia dan yang terakhir Khilafatul Muslimin yang berdiri tepat sebelum reformasi dan berpusat di Lampung.
Dari beberapa kelompok tersebut, ada dua ormas yang sangat teguh perjuangan dakwahnya untuk menegakkan khilafah di Indonesia, mereka adalah HTI dan Khilafatul Muslimin. Nah, apakah kedua ormas ini sama atau berbeda? Sayang sekali, tulisan ini tidak fokus membahas mengenai persamaan dan perbedaan kedua ormas tersebut. Namun, hanya terfokus pada Khilafatul Muslimin. Untuk melegakan saja, menurut pengakuan pendiri Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, Khilafatul Muslimin ternyata berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia.
Berbicara mengenai Khilafatul Muslimin, maka tidak bisa dilepaskan dari pendirinya yaitu Abdul Qadir Hasan Baraja karena semua misi ormas selalu merupakan representasi dari ideologi si pendiri.
Abdul Qadir Hasan Baraja lahir pada tanggal 10 Agustus 1944 di Taliwang, Sumbawa. Pendiri Darul Islam di Lampung pada tahun 1970, salah satu pendiri Pondok Pesantren Ngruki. Saya mempunyai kesan tersendiri dengan Pondok Ngruki karena dulu pernah nyantri di sana selama dua tahun. Kembali lagi, Abdul Qadir Hasan Baraja telah mengalami 2 kali penahanan, pertama pada Januari 1979 berhubungan dengan Teror Warman, ditahan selama 3 tahun. Kemudian ditangkap dan ditahan kembali selama 13 tahun, berhubungan dengan kasus bom di Jawa Timur dan Borobudur pada awal tahun 1985.
Pasca bebas, Abdul Qadir Hasan Baraja mendirikan Khilafatul Muslimin pada tahun 1997, sebuah organisasi yang bertujuan untuk melanjutkan kekhalifahan Islam yang terhenti karena keruntuhan Turki Utsmani. Ia juga ikut ambil bagian dalam mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia pada bulan Agustus 2000, tetapi tidak aktif menjadi anggota MMI (Majelis Mujahidin Indonesia).
Track record yang fantastis, bukan? Baru-baru ini, ceramahnya banyak muncul di media sosial berbicara mengenai konsep persatuan umat Islam dalam satu komando khilafah. Dalam keterangannya, ia mengatakan bahwa komando khilafah di sini bukan serta merta mengganti pemerintahan Indonesia dengan sistem Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Namun, hanya mempersatukan umat Islam saja menjadi satu komando tanpa mengintervensi pemerintah dan ideologi negara.
Masih ribet ya? Begini gampangnya. Baraja menganalogikan konsep persatuan umat ini dengan umat Katolik yang mempunyai satu pemimpin utama, yaitu Paus, di Roma Italia. Paus ini menjadi komando utama umat Katolik di seluruh dunia sehingga tidak terpecah-pecah. Namun, Paus tetap tidak ikut campur dalam pemerintahan Italia, ia hanya menjadi simbol bagi seluruh umat Kristen yang tersebar di berbagai negara di dunia.
Baraja membayangkan, Islam juga akan mempunyai satu simbol, satu pemimpin utama yang menjadi simbol persatuan umat, yaitu khalifah. Ia kemudian mendirikan Khilafatul Muslimin untuk mewujudkan misinya tersebut, di mana ia langsung didaulat oleh pengikut-pengikutnya menjadi amirul mukminin atau khalifah. Sepertinya penyematan gelar tersebut terinspirasi dari khalifah Umar bin Khatab yang menyandangnya untuk pertama kali. Luar biasa.
Bayangan tersebut tampaknya sedikit kontradiktif karena misi mereka adalah mempersatukan umat dengan mewujudkan kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang dikutip dari hadis Nabi. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah adalah periode Khulafaur Rasyidin yang berlangsung selama 30 tahun yang di mulai dari khalifah Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib. Padahal, khilafah era ini jelas mempunyai sistem politik dan berbentuk pemerintahan, dan khalifahnya berfungsi sebagai kepala negara atau pemerintahan, bukan sekedar mempersatukan umat Islam saja.
Maka, tidak heran banyak pertanyaan kemudian muncul. Apakah misi Abdul Qadir Hasan Baraja tersebut hanya kedok di balik misi besar yang lain atau apakah misi tersebut hanya propaganda yang kebetulan masuk akal untuk menggaet banyak pengikut karena para pengikutnya juga diarahkan untuk menyadari bahwa umat Islam sekarang sangat terpecah-pecah dan perlu wadah untuk menyatukannya menjadi satu, Islam Rahmatan lil ‘Alamin, atau memang benar, bahwa ia mempunyai niat murni untuk menyatukan umat Islam saja.
Namun, track record Baraja seperti membantah semua prasangka-prasangka baik yang mengarah kepadanya dan agenda-agendanya. Ditambah, Abdul Qadir Hasan Baraja pernah menjadi salah satu tangan kanan Abu Bakar Ba’asyir, salah satu pendiri Pondok Pesantren Ngruki juga, untuk merealisasikan misi yang sama, penegakkan khilafah. Abu Bakar Ba’asyir bahkan pernah mengatakan bahwa khilafah perlu ditegakkan secara paripurna dan harus menjadi dasar ideologi dan praktik pemerintahan suatu negara, tidak boleh ada paham lagi di atas khilafah, khilafah harus berada pada tingkatan tertinggi.
Sebagai umat Islam, kita memang harus yakin bahwa persatuan umat adalah sesuatu yang baik dan harus terjadi. Namun, muslim yang berakal tentu akan berpikir lebih jauh, tentang misalnya persatuannya seperti apa yang akan diwujudkan dan bagaimana jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya.
Salah satu mantan teroris besar, Ali Imran, pernah berkata bahwa salah satu ciri teroris adalah berusaha untuk merealisasikan syariat Islam dan gencar mengkampanyekan khilafah. Mungkin Khilafatul Muslimin menggaungkan Islam dengan cara yang lebih smooth dan ramah, sehingga banyak orang yang tertarik dan menjadi pengikutnya. Namun, embel-embel “khilafah”, seperti yang disinggung Ali Imran di atas tentu banyak memicu perdebatan dan polemik. Bagaimana tidak, propaganda “khilafah” yang dinarasikan oleh faksi-faksi Islam fundamental radikal sekelas HTI bahkan ISIS selalu bermasalah di setiap negara yang mereka singgahi.
Kita lihat saja HTI, dengan seperangkat jaringannya, mereka mampu menggerakkan massa dan menciptakan agenda besar dan berpotensi memberontak terhadap kedaulatan NKRI karena prioritas mereka memang masuk ke dalam ranah pemerintahan. Bisa jadi Khilafatul Muslimin hanya ganti baju saja dan mengganti propagandanya menjadi lebih ramah tanpa kekerasan, agar kemudian jika massanya sudah besar, mereka akan melakukan seperti yang HTI lakukan, bahkan lebih ekstrem karena pasukan Baraja ini bergerilya dari pelosok-pelosok negeri, nyaris tak terlihat di media dan panggung perdebatan antar warganet.
Memang benar, orang berilmu akan kalah dengan orang nekat. Orang-orang dengan pemahaman agama yang tekstual ini nekat mengimplementasikan pemahamannya supaya menggenggam kekuasaan atas wilayah. Tujuan ini tercermin dari cara mereka menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci dan nash-nash hadis Nabi.
Maka, mari beragama dengan akal sehat, minimal dengan tidak terpengaruh oleh propaganda-propaganda “khilafah” tersebut. Mari berpikir, bentuk persatuan Islam apa lagi yang ingin digunakan ketika Pancasila sudah mampu mengakomodir seluruh perbedaan dan persamaan masyarakat Indonesia. Persatuan Islam di dunia akan terwujud ketika agama Islam mampu menjadi ajaran yang menjamin keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitarnya. Bukan malah menebar teror dan propaganda. Agar tetap bersatu, maka sekali lagi, mari beragama dengan hati nurani dan akal sehat.
Wallahu a’lam bisshawab..