Salah satu kegilaan yang tercatat dalam sejarah panjang peradaban Islam adalah Khalifah Al-Makmun, seorang yang sangat mencintai buku.
Jika kamu pernah mendengar cerita tentang penyerangan tentara Mongol, Hulagu Khan ke Bagdhad, dan menenggelamkan buku-buku ke dalam lautan, yang saking banyaknya buku-buku itu sehingga air lautan berubah hitam karena tinta; nah, buku-buku itu adalah koleksi sang khalifah.
Menjabat sebagai khalifah ketujuh Bani Abbasiyah antara tahun 813-838 Masehi, al-Makmun melakukan restrukturasi di berbagai bidang, serta melanjutkan apa yang telah dimulai oleh para pendahulunya.
Dengan menjadikan Islam sebagai titik temu antara berbagai peradaban besar yang telah ada, Al-Makmun melakukan diplomasi dengan mengunjungi setiap kerajaan. Namun, tidak sebagaimana lazimnya pemerintah yang mengikat kerjasama di bidang politik dan ekonomi, tetapi lewat hal yang sangat mendasar: buku.
Terkadang al-Makmun membeli buku atau mengirim utusan ke Konstantinopel untuk mendapatkan buku yang ia inginkan. Bahkan, ia terkadang pergi dan membeli buku tersebut. Secara berkala ia mengirim utusan ke negeri asing. Yang paling unik dari kebijakannya adalah melakukan pembayaran pajak dengan buku.
Dalam satu misi, al-Makmun mengirim Hajjaj bin Matar, Ibnu Al-Bitriq, Salma dan Yuhana bin Ishaq ke Romawi, menghadap Leo Armenia. Atas persetujuan Leo Armenia, al-Makmun lalu mengirimkan lebih banyak utusan untuk mengunjungi daerah-daerah terpencil Romawi, mencari buku-buku perbendaharaan Yunani kuno.
Al-Makmun juga mengutus banyak orang ke India, Syiria, dan Mesir. Ia juga memperoleh buku-buku dari Syprus setelah adanya perjanjian damai dengan raja Syprus.
Tidak sampai di situ. Melihat kondisi pengetahuan di kerajaan-kerajaan sekitarnya yang semakin memasuki abad kegelapan, ilmu pengetahuan ditinggalkan, Al-Makmun berinisiatif untuk mengundang seluruh cerdik pandai yang ada di berbagai kerajaan.
Untuk menampung mereka, Al-Makmun merenovasi Baitul Hikmah, sebuah perpustakaan peninggalan khalifah sebelumnya, Harun Ar-Rasyid. Jika di masa ayahnya itu, Baitul Hikmah hanya berfungsi sebagai perpustakaan, pada masa Al-Makmun, perpustakaan itu dikembangkan menjadi pusat ilmu pengetahuan, penerjemahan, lembaga pendidikan, serta lembaga riset dan observatorium.
Sebagai lembaga riset dan observatorium, Baitul Hikmah dikenal sebagai pencetus ilmu astrologi dalam Islam. Di Baitul Hikmah, para astrolog mempelajari, meneliti dan menulis penelitian mereka. Tidak tanggung-tanggung, al-Makmun juga membangun menara astronomi di asy-Syamsiyah, dekat Baghdad. Lewat menara itu, para ilmuwan mencetuskan teori-teori tentang peredaran bumi.
Sebagai biro penerjemahan, Baitul Hikmah mempekerjakan orang-orang yang mahir dalam bahasa India, Persia, Suryaniyah, dan Nibthiniyah. Dengan komposisi penerjemah dari segala penjuru dunia, mereka digaji dengan gaji yang sangat besar. Setiap terjemahan yang dihasilkan tidak hanya dalam bahasa Arab, tetapi seluruh bahasa yang dipakai oleh penduduk Islam di berbagai penjuru dunia.
Di antara penerjemah yang paling terkenal adalah Abu Yahya bin Bitrik ilmuwan dari Yunani, Hunain bin Ishak seorang Kristen Nestorian, dan Yuhana bin Masawayh, yang fokus pada buku-buku pengobatan lama dari Ankara dan Amuriah.
Baitul Hikmah memiliki peran yang sangat besar sebagai sebuah lembaga pendidikan. Lembaga ini mengadopsi hampir semua model pendidikan yang pernah ada, juga mengakomodasi hasil-hasil penerjemahan, serta hasil ilmu astrologi.
Metode yang dikembangkan dibuat dalam dua aturan, muhadharah dan wacana. Metode ini memungkinkan transformasi pengetahuan tidak hanya bertumpu pada sang guru, tetapi setiap murid juga bisa berbicara dan melakukan pengujian masing-masing.
Dari usaha-usaha itu, Al-Makmun mengembangkan sebuah dinasti yang begitu tangguh, yang mampu menguasai seluruh penjuru dunia dengan ilmu pengetahuan. Hingga, jika kita mengenal sejarah Islam, tempat dimulainya model Islam yang bertumpu pada pengetahuan, tidak lain adalah masa Al-Makmun berkuasa. Semua itu timbul dari suatu kegilaan pada buku.
Wallahu A’lam.