Kiai muda asal Jombang, KH. Afifuddin Dimyathi, menjelaskan bahwa umat Islam harus meyakini bahwa agama Islam akan disebarkan oleh orang-orang yang moderat. Beliau lalu mengutip sebuah hadis yang menjadi landasan argumennya.
“Yahmilu hadzal ‘ilma min kulli kholafin ‘uduluhu, yang akan menyampaikan agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang pilihan,” jelasnya dalam kegiatan Multaqa Ulama Al-Qur`an Nusantara yang diselenggarakan di Ponpes Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Rabu (16/11).
Lalu, beliau membacakan lanjutan hadis, “yunfuna ‘anhu tahrifal ghalin wa ta`wilal jahilin wa intihalal mubthilin, yang akan menghilangkan, membersihkan, dari penyelewengan orang-orang yang radikal, (al-ghalin), juga penafsiran orang-orang yang bodoh, serta pemalsuan-pemalsuan orang-orang yang sering membuat kemungkaran (al-mubthilin).”
Kiai yang akrab disapa Gus Awis itu berbicara di sesi kedua dengan tema “Pengalaman dan Tantangan Ulama Al-Qur`an dalam Menyampaikan Pesan Wasathiyah di Nusantara”. Dalam kesempatan itu, beliau juga menyampaikan tugas seorang Ahlul Qur`an, khususnya di Indonesia, bahwa selain mengajarkan Al-Qur`an, mereka juga harus menjadi orang-orang yang moderat. Karena merekalah yang akan menjadi pionir dalam penyebaran dakwah.
“Yang akan menyampaikan agama ini adalah orang-orang kepercayaannya (‘uduluhu), orang-orang yang adil. Adil itu (memiliki) makna wasath (moderat) menurut Nabi. Wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan, menurut Nabi al-wasath huwa al-‘adl (yang dimaksud tengah adalah adil),” terangnya.
Gus Awis sendiri menyebut Ahlul Qur`an sebagai cahaya yang berjalan di muka bumi. Karena itu, menjadi moderat merupakan sebuah keniscayaan bagi mereka. Yakni dengan tidak menyimpang dari tataran ajaran-ajaran moderat yang ada di dalam agama.
Karena itu, Gus Awis mewanti-wanti para ahlul Qur`an agar jangan sampai berlebih-lebihan dalam beragama (al-ifrath fiddin). Atau disebut juga al-mutasyaddidun, yakni orang-orang yang memperberatkan diri sendiri dalam beragama. Beliau menunjukkan satu riwayat ketika Rasulullah melarang Zainab, istrinya, memberatkan diri dalam beribadah.
“Dulu pernah, Sayyidah Zainab dalam sebuah riwayat mengikat tali panjang di kamarnya. ‘Apa ini?’ kata Nabi. ‘Ini tali yang saya ikat kalo saya pegangan.’ Maksudnya, (Zainab) mau sholat malam terus, tidak mau tidur. Nabi dawuh, ‘hulluhu, fal yusholli ahadukum nasyathohu’, kalau mau sholat pas semangat saja. ‘Wa idza fathara fal yaq’ud’, kalau pas futur, pas ngantuk, pas lelah, tidur saja. Ini ajaran Rasul, sangat manusiawi,” tuturnya.
Sebaliknya, selain tidak boleh memberatkan diri (tasyaddud) dengan beribadah secara “ekstrem”, Gus Awis juga mewanti-wanti agar tidak terlalu menggampangkan dalam beragama (at-tafrith fiddin).
“Jadi tafrith itu tasahul fiddin. Gampangnya itu (maknanya) meremehkan agama. Kalau dulu ada liberal. Nah, seperti itu,” ujarnya.
Yang tak kalah menarik adalah ketika beliau menyebut bahwa wasathiyah sendiri sebenarnya insaniyah atau manusiawi. Karena, ajaran-ajaran Islam yang moderat itu tidak memberatkan dan sesuai dengan kadar kemampuan manusia.
“Kita tahu bahwa kita semua ada malesnya. Orang yang memperberat agama, alladzina yaghluna fiddin, al-mutasyaddidun, al-muthrifun, itu orang-orang yang harus kita sadarkan,” tegasnya.
Tentunya, penjelasan yang disampaikan oleh Gus Awis tersebut perlu direnungkan bersama. Bahwa orang-orang yang moderat itu bukan hanya tidak terlalu “keras”, melainkan juga tidak terlalu “lembek” dalam arti menggampangkan agama. Wallahu A’lam. [NH]