KH. Abbas Buntet, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Adnan Mendamaikan Konflik Aliran Tarekat di Cirebon tahun 1930-an

KH. Abbas Buntet, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Adnan Mendamaikan Konflik Aliran Tarekat di Cirebon tahun 1930-an

Pada awal 1930-an pernah terjadi konflik dua aliran tarekat di Cirebon, Naqsabandiyah dan Tijaniyah. Khawatir menimbulkan perpecahan di masyarakat, Kiai Abbas Buntet berinisiasi untuk mendamaikan keduanya. Beliau mengundang Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga untuk mendamaikan pertikaian ini.

KH. Abbas Buntet, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Adnan Mendamaikan Konflik Aliran Tarekat di Cirebon tahun 1930-an
Cover buku Muhammad Hisyam

Pada awal 1930-an pernah terjadi konflik dua aliran tarekat di Cirebon, Naqsabandiyah dan Tijaniyah. Khawatir menimbulkan perpecahan di masyarakat, Kiai Abbas Buntet berinisiasi untuk mendamaikan keduanya. Beliau mengundang Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga untuk mendamaikan pertikaian ini.

Mbah Hasyim Asy’ari bersedia memenuhi undangan itu dan meminta Kiai Mohammad Adnan untuk memimpin proses mediasi dua kelompok tarekat ini. Pertemuan diadakan di rumah Kiai Abbas. Kiai Mohammad Adnan menyanggupi untuk memimpin mediasi dengan dua syarat. Pertama, pihak yang bertikai menerima bahwa diskusi pada pertemuan itu dilakukan untuk mencapai perdamaian. Kedua, tidak ada yang boleh menyela pembicara sebelum dia selesai berbicara.

Semua yang hadir menyetujui permintaan Kiai Adnan dan berjanji untuk mematuhinya. Dalam diskusi baru terungkap bahwa penyebab awal mula perseteruan dipicu oleh ajakan pimpinan tarekat Tijaniyah kepada anggotanya untuk tidak berkomunikasi dengan kelompok lain, atau dalam istilah bahasa Jawa ngenengake atau jothak.

Kiai Adnan menjelaskan bahwa kata “ngenengake” berati ghibah dalam bahasa Arab, artinya menggosip atau memfitnah orang lain. Dengan demikian, jika yang dimkasud pimpinan Tijaniyah kepada pengikutnya itu adalah menahan diri untuk tidak bergosip atau membicarakan hal buruk tentang kelompok lain, maka tentu ini adalah ajakan yang benar.

Sebab setiap orang, bukan hanya Tijaniyah, mesti menahan diri untuk tidak menggosipkan orang lain, bukan hanya menggosipkan kelompok Naqsabandiyah. Melalui diplomasi yang dipimpin oleh Kiai Adnan, pihak yang bertikai sepakat untuk berdamai, mengesampingkan perbedaan, dan menerima perbedaan.

Siapa Kiai Mohammad Adnan?

Kiai Mohammad Adnan bukanlah sembarang orang. Pengetahuannya luas dan pengalamannya di masyarakat juga sangat dalam. Kalau bukan karena ilmu dan pengalamannya, tentu dia tidak mungkin diminta Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari untuk memimpin mediasi konflik tarekat Naqsabandiyah dan Tijaniyah.

Almarhum Muhammad Hisyam dalam disertasinya di Universitas Leiden melampirkan profil khusus Kiai Adnan di halaman terakhir bukunya. Ada dua riwayat penghulu yang dilampirkan: Mas Haji Ichsan dan K.H.R. Mohammad Adnan. Disertasi Hisyam diterbitkan dengan judul “Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under the Dutch Colonial Administration 1882-1942”. Belakangan ini, Kasubdit Bina Paham Keagamaan dan Penanganan Konflik Kementerian Agama Dedi Slamet Riyadi menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam buku Hisyam disebutkan, Kiai Adnan lahir di Sala pada 16 Mei 1889. Nama kecilnya, Sauman. Tidak ada informasi yang jelas mengapa dan sejak kapan namanya diganti menjadi Mohammad Adnan. Masyarakat setempat memanggilnya dengan julukan “Den Kadji” atau “Raden Kadji”, gelar kehormatan bagi bangsawan yang telah berangkat haji.

Kiai Adnan belajar agama dari ayahya. Sambil mengeja al-Qur’an, dia belajar menulis aksara Jawa dan Latin di sekolah rakyat (volkschool) swasta di kampung halamannya. Saat usianya sudah 13 tahun, ia melanjutkan pendidikan agamanya di beberapa pesantren: Pesantren Mangunsari, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Jamsaren, dan Manba al-Ulum.

Setelah keliling ke beberapa pesantren di Jawa, Kiai Adnan tahun 1909, usianya waktu itu 18 tahun, berangkat ke Hijaz bersama adiknya untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pendidikan agamanya di Mekah dan Madinah selama delapan tahun. Ia banyak belajar kepada ulama termuka nusantara di sana, semisal Syekh Mahfudz Al-Turmusi, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan lain-lain.

Sebetulnya, Kiai Adnan masih ingin terus belajar di Hijaz. Tapi karena perang dunia 1, ia terpaksa harus pulang ke Jawa, sebab kondisi pada waktu itu tidak kondusif. Akibat perang, sebagian warga Arab terancam kekurangan makanan dan kebutuhan lain.

Perjalanan Karir Kiai Mohammad Adnan

Tiba di Indonesia, Kiai Adnan mengawali karirnya sebagai guru Madrasah Islamiyah di Pasar Kliwon Solo tahun 1918. Sejak awal, ia ingin berkarir dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam, bahkan cita-citanya ingin mendirikan pesantren sendiri. Tapi takdir berkata lain, tahun 1919 ia diangkat menjadi anggota raad agama (kantor urusan agama) Solo.

Karirnya terus menanjak sebagai seorang penghulu. Ia pernah menjabat sebagai hoofd penghulu, atau kepada penghulu Solo. Setelah itu diangkat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda menjadi pejabat tertinggi dalam birokrasi agama saat itu, yaitu ketua Hof voor Islamitische Zaken, semacam ketua pengadilan agama, menggantikan Haji Mohammad Isa. Karena jabatan tersebut, Kiai Adnan akhirnya pindah ke Batavia tahun 1941.

Kontribusi Kiai Adnan dalam dunia kepenghuluan sangatlah banyak. Salah satunya membentuk Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) tahun 1937. Ia berkarir menjadi penghulu selama 32 tahun lebih kurang, meliputi tiga zaman yang berbeda: kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan Indonesia merdeka.

Tahun 1951, Kiai Adnan pensiun dari jabatan penghulu. Ia kembali  berkari sebagai seorang pendidik, profesi yang sejak awal dia impikan. Bulan September tahun 1952, Kiai Adnan diminta menjadi rektor Institut Negeri Studi Tinggi Islam di Yogyakarta, sekarang menjadi UIN Sunan Kalijaga. Tahun 1955, dia diangkat menjadi guru besar fikih dan studi hukum Islam di tempat dia bekerja sebagai rektor, dan tahun 1961/1962 ia juga ditetapkan sebagai guru besar bidang hukum Islam di Universitas Gadjah Mada. Dia mengajar di dua perguruan tinggi ini sampai wafat tahun 1969.

Semasa hidupnya, Kiai Adnan dikenal sebagai sosok yang peduli pada persatuan Islam. Dia tidak mau bergabung dengan organisasi mana pun, walaupun memiliki hubungan dekat dengan banyak pimpinan organisasi Islam pada waktu itu. Kadang temannya suka mengkritik kenapa dia tidak mau bergabung dengan organisasi. Kiai Adnan menegaskan bahwa sikapnya itu menunjukkan kepeduliannya terhadap umat. Kalau ia bergabung ke salah satu organisasi, khawatir hal itu tidak membuatnya menjadi mandiri dan tidak bisa berbuat adil.

Sebagai seorang penghulu, ia harus menunjukkan integritasnya, menempatkan diri di atas semua golongan, dan menonjolkan sikap moderat dan mendukung persatuan.