Cadar, UIN Yogyakarta dan Kisah di Pondok Saya

Cadar, UIN Yogyakarta dan Kisah di Pondok Saya

Cadar kembali menjadi perbincangan, bagaimana alumnus UIN Yogyakarta menilai sengkarut ini

Cadar, UIN Yogyakarta dan Kisah di Pondok Saya

Cadar menjadi perbincangan lagi di almamater saya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saya jadi teringat, beberapa hari lalu salat magrib di masjid kampus ini. Di depan halaman terdapat baliho festival masjid, yang menurut rencana diselenggarakan di beberapa masjid di Indonesia. Masjid Sunan Kalijaga salah satunya. Acaranya beragam mulai pameran seni hingga diskusi publik mengenai topik tertentu. Di baliho  itu juga terdapat beberapa gambar tokoh, dua di antaranya Kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy) dan Profesor Yudian Wahyudi, Rektor UIN Yogya.

Pikiran saya pun langsung tertuju ribut-ribut soal larangan bercadar. Saya bertanya-tanya, apakah Kang Abik akan berdiskusi dengan Profesor Yudian tentang pelarangan cadar itu?

Sementara, setahu saya, Kang Abiklah salah seorang yang membahas penggunaan cadar lewat novel Ayat-Ayat Cinta. Di novel tersebut sangat jelas bagaimana Kang Abik mengulas pandangan-pandangan terkait cadar dalam konteks masyarakat Timur Tengah, khususnya Mesir.

Teman-teman saya banyak yang mendukung kebijakan UIN itu, tetapi banyak pula yang sinis bahkan mencemooh. Bagi yang mendukung mengatakan bahwa penggunaan cadar di ruang publik banyak madaratnya karena bisa disalahgunakan, misalnya menyamar sebagai joki ujian dan berbagai prasangka lainnya. Lagi pula, dengan bercadar membuat seseorang sulit dikenali. Padahal di ruang publik semua semestinya mudah teridentifikasi. Begitu kata orang yang pro pelarangan.

Sementara pihak yang menolak pelarangan itu berpendapat bahwa kebebasan berekspresi harus dijalankan tanpa pandang bulu. UIN sebagai institusi bernafaskan Islam harus bisa mengakomodir berbagai paham yang dianut mahasiswa/mahasiswinya. Sementara cadar, sebagian ulama, termasuk kalangan Syafiiyah sebagai mazhab mayoritas, menganggap cadar adalah wajib. Namun sebagian besar ulama Syafiiyah menghukumi cadar sebagai sunah dan khilaful aula atau menyalahi yang utama, sebab yang utama adalah tidak bercadar. Sementara mazhab Maliki menganggap cadar sebagai makruh karena dianggap berlebih-lebihan. Sementara alasan joki saat ujian hanyalah alasan yang dibuat-buat.

Ketika ada teman yang minta tanggapan, saya sebenarnya dilematis. Di satu sisi saya setuju dengan penggunaaan pakaian yang ‘sewajarnya’, tetapi di sisi lain saya menghormati pemahaman orang lain. Ketika ada perselisihan pendapat di antara ulama dalam sebuah kasus, saya cenderung mengikuti pendapat dan praktik yang ada di pesantren saya. Tentu saja untuk pandangan saya pribadi.

Sebagai contoh, di pondok saya dulu, santriwati memang ‘dilarang’ bercadar. Kurang lebih 7 tahun di lingkungan tersebut saya sama sekali tidak menjumpai seorang pun yang bercadar. Padahal ada ribuan santriwati dan puluhan ribu peziarah setiap tahunnya. Bukan karena diskriminatif, tetapi setiap institusi pasti punya etikanya masing-masing. Lha kebetulan etika di pondok saya itu terinspirasi pendapat ulama yang tidak mewajibkan cadar.

Ada banyak pertimbangan mengapa cadar ‘tidak diperbolehkan’, salah satunya terkait identifikasi. Di lingkungan pondok pesantren yang jumlah santrinya ribuan, pertimbangan kemudahan identifikasi ini sama sekali tidak bisa dikesampingkan. Toh, tanpa menggunakan cadar, seorang santriwati tetap tidak melanggar hukum Islam apabila ‘hanya’ mengenakan baju kurung dan jilbab sewajarnya.

Namun saya tidak tahu apakah alasan di pondok saya ini bisa diterapkan dalam konteks pelarangan cadar di UIN Sunan Kalijaga, sebuah institusi pendidikan milik negara.

Jika di pondok, yang jelas sewasta, logika yang digunakan adalah “kalau ikut silakan taat,  kalau tidak silakan minggat”, apakah di institusi pendidikan negeri hal yang sama bisa dipakai? Lalu apakah pertimbangan pelarangan itu dilakukan karena terjadinya sebuah kerusakan?

Wallahua’lam. Biarkan Kang Abik dan Pak Yudian yang mendiskusikan.