KH. A. Wahid Hasyim dalam Agenda Kementerian Agama 1951-1952: Kemajuan Budaya Bangsa Dihadapi dengan Pikiran dan Otak, Bukan Perasan

KH. A. Wahid Hasyim dalam Agenda Kementerian Agama 1951-1952: Kemajuan Budaya Bangsa Dihadapi dengan Pikiran dan Otak, Bukan Perasan

KH. A. Wahid Hasyim dalam Almanak Agenda Kementerian Agama: 1951-1952 menulis kata pengantar dengan judul Tuntunan Berpikir. KH. Wahid mengkritik kebiasaan masyarakat Timur yang kadang lebih mengedepankan sentimen perasaan ketimbang akal sehat

KH. A. Wahid Hasyim dalam Agenda Kementerian Agama 1951-1952: Kemajuan Budaya Bangsa Dihadapi dengan Pikiran dan Otak, Bukan Perasan
Foto: alvin/islamidotco

KH. A. Wahid Hasyim dalam Almanak Agenda Kementerian Agama: 1951-1952 menulis kata pengantar dengan judul Tuntunan Berpikir. KH. Wahid mengkritik kebiasaan masyarakat Timur yang kadang lebih mengedepankan sentimen perasaan ketimbang akal sehat. KH. Wahid dalam tulisannya ini juga mengingatkan agar kita tidak terlalu membanggakan masa lalu. Tugas kita sekarang adalah membuat sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi generasi masa depan.

Di akhir tulisannya, beliau mengatakan, “Sudah cukuplah kita dengan persasaan kita mengangumi kepandaian orang-orang dulu meramalkan adanya kapal terbang dengan cerita Gatotkaca yang mempuntai urat-urat dari kawat, kulit dari tembaga (waktu itu belum ada aluminium) dan tulang (rangka) dari besi. Kini sampai masanya kita memahami cara bagaimana orang mendapat Gatotkaca itu, agar dikagumi anak-cucu kita, bukan menganggumi orang-orang tua terdahulu.”

Supaya lebih jelas, berikut tulisan KH. A. Wahid Hasyim dalam Almanak Kementerian Agama.

Buku Almanak Agenda Kementerian Agama 1951-1952 (Koleksi Perpustakaan Leiden)
Buku Almanak Agenda Kementerian Agama 1951-1952 (Koleksi Perpustakaan Leiden)

******

Orang timur mudah sekali dipengaruhi orang lain dengan menggunakan perasaannya. Kalau ada suatu hal yang penting baginya dan akan membawa kehidupan dan kemajuannya, lalu dicari akal untuk menjauhkan orang timur dari pada hal tadi, agar tetap selamanya di dalam kemunduran, maka mudah sekali jalannya.

Timbulkan saja perasaan orang timur itu dengan macam-macam alasan, agar supaya membenci hal tadi, dengan sendirinya ia akan menjauhi, bahkan memusuhi hal yang sebenarnya menguntungkan padanya dan akan membawa kehidupan dan kemajuannya itu. Ini disebabkan karena orang timur itu lebih kuat perasaannya dari pada otaknya. Segala hal yang didengar dilihat dan dibacanya senantiasa dihadapinya dengan hatinya dan timbullah pertanyaan di dalamnya, apakah hal itu menyukakan padanya ataukah menimbulkan rasa tidak enak dalam anggapannya?

Pada hal mestinya ia harus menghadapi hal-hal yang didengarnya, dilihatnya dan dibacanya itu dengan otaknya untuk menimbulkan pertanyaan, apakah betul hal itu ataukah tidak? Jikalau betul, maka hal tadi harus diterimanya dengan baik, walaupun umpamanya dirasainya sangat berat, dan bagi hatinya tidak disukainya.

Keadaan yang demikian itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan yang rata, artinya karena pengetahuan yang dihimpunnya tidak meliputi pokok-pokok segala pengetahuan yang dihimpunnya tidak meliputi pokok-pokok segala pengetahuan yang perlu-perlu bagi hidup sehari-hari di zaman yang modern ini.

Banyak orang Indonesia yang telah cukup pelajarannya dan membacanya serta mempelajari buku-buku yang dalam-dalam kupasan dan tinjauannya; akan tetapi karena beberapa pokok pengetahuan di luarnya buku-buku yang biasa dibacanya itu tidak pernah dibaca atau dipelajarinya, lalu pandangannya secara umum menjadi berat sebelah, atau sekurang-kurangnya tidak tepat. Antara pokok-pokok yang dengan tidak disadari sudah tertinggal itu adalah pokok-pokok yang umum disebut sebagai soal-soal agama. Dan justru soal ini yang paling mudah menimbulkan perasaan kebencian dan kesukaan, serta seringkali menghambat kelancaran berpikir dengan tenang dan bebas, dalam arti yang tertentu, dengan tidak membuang segala ukuran keagamaan yang telah disesuaikan dengan mantik dan logika.

 

Poto KH. Wahid Hasyim dalam buku Agenda Kementerian Agama
Poto KH. Wahid Hasyim dalam buku Agenda Kementerian Agama

 

Di waktu kemurnian agama dahulu, baik agama Masehi di Palestina maupun di Roma, ataupun agama Islam di Mekkah dan Madinah, keterangan berpikir dan kebebasan memahami soal-soal hidup dengan pikiran bebas diutamakan sekali. Di waktu itu orang dianjuri berpikir dan meninjau akan soal-soal hidup, terutama adat kebiasaan yang seringkali dipegang sebagai suatu pusaka yang tidak boleh diusik-usik.

Di dalam al-Quran misalnya dikemukakan kritik terhadap orang yang berpegang teguh pada kebiasaan-kebiasaan jelek dan tidak mau berpikir tentangnya, dan menganggapnya sebagai hal yang tidak mungkin ditinggalkan (inna wadjadna ābā’anā alā ummatin wa’inna alā āthārihim muqtadūn: Sebenarnya kami telah menerima kebiasaan-kebiasaan ini pada bapak-bapak kami, dan kami akan tetap mengikuti mereka di belakang).

Oleh Islam diajarkan betul-betul ketenangan berpikir kelancaran mengupas soal dengan menjauhkan perasaan benci dan marah, suatu kebiasaan yang umum pada orang yang belum matang pikirannya, atau orang yang tidak jujur pendiriannya. Sedemikian kerasnya Islam mengajari berpikir secara demokratis dengan menggunakan logika dan mantik, sehingga di dalam al-Quran sendiri banyak dimuat kritik-kritik orang pada Nabi Muhammad SAW.

Umpamanya seperti (Wayaqūlūna innahu Lamajnūn: mereka itu mengatakan bahwa Nabi Muhamamd itu adalah gila); ini sebaliknya dari pada disensor dan dihapuskan, malah dimuat di dalam al-Quran, untuk menunjukkan pada kaum Muslimin bahwa diantara manusia ada yang bersikap lancang, setelahnya kehabisan dalil dan alasan di waktunya bermusyawarah, dan berunding, lalu mengeluarkan maki-makian dan kata-kata kotor.

Dan selainnya itu, dengan dimuatnya ucapan lawan-lawan Nabi Muhammad yang kotor itu di dalam al-Quran, dimaksud untuk memberikan pelajaran bahwa maki-makian demikian tidak akan merugikan kecuali pada orang yang mengeluarkannya sendiri, dan bahwa pada akhirnya toh akal dan pikirkanlah yang akan mendapat kemenangan; dan perasaan serta sentiment adalah merugikan bagi orang lain yang dibencinya.

Sebagian terpelajar kita, walaupun sudah berpengetahuan, rupanya masih tetap belum matang pikirannya, terbukti dengan sikap mereka yang selalu memakai perasaan (sentiment) mengenai soal-soal agama; dan tidak sedikitpun mau meninjau, apakah betul soal agama itu menurut logika ataukah tidak. Sebagai orang berpengetahuan mereka itu berharga sekali, tetapi sebagai pemikir, mereka masih belum dapat ditentukan nilai dan harganya. Pada hal bangsa kita disamping keperluannya pada orang-orang berpengetahuan, lebih-lebih lagi perlu pada pemikir-pemikir, yang dapat memahami soal-soal hidup bangsa dan negara.

Bahkan tidak ada suatupun negara dapat ditegakkan dengan kokoh, kecuali dengan adanya pemikir-pemikir yang jitu-jitu buah pikirannya. Kalau disini dikemukakan tentang pandangan berat sebelah dari sebagian terpelajar kita, maka seharusnya tidak dilupakan pula adanya suatu kepincangan di kalangan kaum agama sendiri.

Di kalangan tadi masih banyak pemuka-pemukanya, yang disampingnya mempercayai ketentuan-ketentuan agama tadi, dan terutama tidak mengerti, apakah sebabnya maka ia harus percaya pada ketentuan-ketentuan agama itu? Mereka takut, kalau mencari pengertian yang dalam tentang ketentuan-ketentuan agama, nanti lalu merusakkan kepercayaan sendiri. Mereka rupanya tidak percaya betul lagi pada tenaganya sendiri, sebagai kurnia yang tidak terhingga dari pada Allah

Sambil mengajak berpikir dengan sungguh-sungguh, Almanak ini dipersembahkan pada masyarakat bangsa kita, dengan catatan bahwa masih banyak sekali kekurangan. Almanak ini memuat hal-hal yang patut dipikirkan bersama, untuk kemajuan kehidupan budaya bangsa kita. Suatu kehidupan yang tidak mungkin dihadapi dengan perasaan, sebaliknya harus dihadapi dengan pikiran dan otak.

Sudah cukuplah kita dengan persasaan kita mengangumi kepandaian orang-orang dulu meramalkan adanya kapal terbang dengan cerita Gatotkaca yang mempuntai urat-urat dari kawat, kulit dari tembaga (waktu itu belum ada alumanium) dan tulang (rangka) dari besi. Kini sampai masanya kita memahami cara bagaimana orang mendapat Gatotkaca itu, agar dikagumi anak-cucu kita, bukan menganggumi orang-orang tua terdahulu.