Hari ini ada beberapa ormas yang dengan piciknya melakukan klaim seakan mereka paling layak merepresentasikan Islam. Lantas memakai atribut dan simbol Islam sebagai penguat klaim tersebut.
Tujuannya tentu mudah ditebak, jika pada titik tertentu ada yang memusuhi gerakan mereka, dapat dengan mudah dituduh memusuhi Islam.
Kenapa? Karena mereka (sekali lagi) adalah representasi Islam. Termasuk dengan memakai bendera bertulis tauhid yang lantas diklaim sebagai bendera Rasulullah, al liwa’ atau ar rayah.
Melihat sejarah saja, klaim ini tentu naif. Bahwa pada Rasulullah, ada bendera dan panji, iya. Namun jelas tulisannya pun tidak berharakat dan memakai khat tsuluts. Bukankah harakat dan penanda titik baru diberikan pasca meninggalnya Rasulullah oleh Abul Aswad ad Du’aliy?.
Pemakaian atribut seperti ini juga sama dengan tujuan di atas. Mereka menganggap diri dan kelompoknya sebagai satu-satunya representasi Islam yang paling sah. Alih-alih khawatir jika kalimat-kalimat mulia seperti kalimat tauhid tadi tercecer, lantas diinjak dan sejenisnya.
Justru jika ada yang mencoba “menyentuh” atribut mereka ini, dengan mudah mereka akan menuduh sebagai anti Islam dan menista kalimat tauhid. Bayangkan, apa yang mereka pikirkan dengan menyebar serampangan selebaran tauhid tersebut dalam brosur dan propaganda mereka selama ini. Bukankah seharusnya mereka juga berkewajiban untuk menjaga kalimat-kalimat mulia itu dengan tidak memperlakukan dan menyebarkannya secara serampangan? Bukankah hal tersebut sangat paradoks?.
Namun dalam Islam, klaim kebenaran dengan menunggangi doktrin-doktrin agama bukanlah hal baru. Misalnya saja ketika perang Shiffin antara sayyidina Ali dan sayyidina Mua’wiyah berkecamuk, dalam titik pasukan Muawiyah terdesak mereka mengikat mushaf-mushaf sebagai tanda (atau tepatnya strategi) agar pasukan Ali mengendurkan serangan. Dan terbukti benar saja.
Sekelompok pasukan Ali meminta kepada Ali agar menerima tahkim. Namun sejarah juga membuktikan kelompok pasukan Ali yang “memaksa” Ali menerima tawaran tahkim justru adalah penolak paling getol keputusan tahkim itu sendiri. Karena dipandang sebagai takluknya Ali para hukum manusia, bukan hukum Allah. Mereka kelak disebut sebagai khawarij, orang-orang desertir. Orang-orang ini alim, ahli ibadah namun tingginya hati mereka, sehingga seakan paling merasa faham atas Islam melebihi Ali.
Dalam konteks sekarang pun sedemikian, ada beberapa gelintir orang yang “desertir.” Mereka tak menyadari bahaya yang mengancam negerinya dan bahkan seakan melindungi kelompok yang dulu berseberangan ideologi dengannya. Mereka tidak faham sedang melindungi anak macan dan sedikit demi sedikit mendekati dan nyaman di kandang macan. Padahal beberapa “hewan buas” ini siap menerkam ketika saatnya tepat dan memungkinkan.
Muawiyah, pasca meninggalnya Ali dan terbunuhnya Hasan dan Husein pun kembali melakukan klaim dengan berkhutbah di depan khalayak. Ketika itu beliau menyebut bahwa kemenangannya, naiknya dia menjadi khalifah, sedangkan terbunuhnya Ali, Hasan dan Husein adalah takdir.
Jelas ini menegaskan bahwa sesiapa yang meragukan kepemimpinannya adalah melanggar keimanan karena tak percaya takdir. Klaim sepihak ini pun terdengar di telinga Muhammad al Hanafiyah yang hadir disana, seorang alim, putra Ali bin Abi Thalib dari istri Khaulah binti Ja’far dari Bani Hanifah. Beliau lantas mengatakan, “Wahai Muawiyah ini bukan soal qodho’ bukan pula qodar. Perbuatan manusia adalah dari manusia itu sendiri.”
Kalimat ini pada nantinya memantik timbulnya gerakan teologi yang dikenal sebagai aliran Qodariyah. Mazhab pemikiran dalam Islam yang mengedepankan kemandirian tindakan manusia secara absolut.
Soal klaim sebagai representasi Islam dengan simbol, tentu sulit untuk mengatakan negara Yaman misalnya membalas serangan pesawat pembom Arab Saudi sebagai penistaan Islam, hanya karena ada bendera yang bertulis kalimat tauhid. Dan sebaliknya, simbol yang menyebabkan kekacauan, provokasi memang justru harus dihancurkan. Karena jangankan hanya bendera dan simbol tertentu, Masjid Dhirar saja dihancurkan Rasulullah, karena menjadi sumber fitnah dan provokasi.
Wallahu A’lam.