Abu Utsman al-Hiriy adalah seorang ulama sufi yang juga ahli hadis. Dalam kitab Tarikh al-Islam disebutkan bahwa namanya adalah Said bin Ismail bin Said bin Manshur. Suatu hari, ada seseorang, sebut saja si A, bersilaturrahmi ke rumah Abu Utsman. Maksud kedatangannya adalah untuk mengundang Abu Utsman agar ia mengikuti jamuan di rumah si tamu. Hari dan tanggal serta waktu pun ditentukan.
Hingga tiba waktu jamuan itu dilaksanakan, Abu Utsman bergegas melakukan perjalanan untuk memenuhi undangan itu. Namun, setibanya di kediaman si A, tuan rumah justru berkata bahwa kepada Abu Utsman bahwa bukan saat itu waktu jamuannya.
“Maaf, saya menyesal mengatakan kepada Anda tempo hari. Ternyata tidak jadi hari ini jamuan di rumah saya. Sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,” ucap si tuan rumah.
Abu Utsman pun biasa saja. Tidak ada rasa marah atau menggerutu dalam hatinya. Karena tidak jadi ada jamuan, ia pun kembali ke rumahnya lagi. Selang beberapa hari, si A datang kembali ke kediaman Abu Utsman. Ia bermaksud mengundang kembali Abu Utsman untuk mengikuti jamuan di rumahnya lagi. Abu Utsman pun mengiyakan undangan itu.
Pada hari dan tanggal yang telah ditentukan, Abu Utsman pun seperti yang pertama, datang ke rumah si A tepat waktu. Namun lagi-lagi kalimat yang sama keluar dari mulut si tuan rumah, “maaf, ternyata bukan sekarang waktu jamuan yang telah katakan kemarin. Hari ini tidak jadi ada jamuan. Saya mohon maaf.”
Abu Utsman pun kembali lagi ke rumahnya dengan hati yang biasa saja. Tidak ada rasa jengkel sedikitpun dalam hatinya.
Kejadian itu pun terjadi sampai empat kali. Hingga, pada kejadian yang keempat, si A penasaran dan berkata kepada Abu Utsman, “saya ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Anda, sebenarnya saya hanya ingin menguji Anda. Saya benar-benar salut kepada Anda.”
Bukannya bangga atau senang mendapat pujian itu, Abu Utsman justru mengatakan kalimat yang sungguh tidak biasa dan di luar dugaan, “jangan kau puji aku atas akhlakku yang anjing pun juga punya! Bukankah anjing itu datang ketika diundang dan pergi ketika diusir?”
Kisah di atas penulis sarikan dari kitab Risalah Qusyairiyyah karya Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi. Lewat siluet di atas, selain mengerti tentang betapa kerendahan hati seorang Abu Utsman yang tak mau dipuji, kita juga memahami bagaimana hendaknya bersikap ketika mendapat undangan dari seseorang. Dalam kisah di atas, meski telah “dibohongi” berkali-kali namun Abu Utsman tetap saja datang memenuhi undangan itu.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Penuhilah undangan ini, jika kalian diundang untuknya.” (HR. Muslim).
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa hadis di itu diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Hadis ini termasuk dalam bab pernikahan. Sehingga “undangan” yang dimaksud dalam hadis ini adalah undangan pernikahan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bisa bermaksud umum (undangan dalam arti umum). Pasalnya, dalam Shahih Muslim juga disebutkan bahwa Abdullah bin Umar selalu mendatangi undangan pernikahan dan selain pernikahan meskipun ia sedang sedang berpuasa.
Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa mendatangi undangan (dalam acara yang tidak bertentangan dengan agama) adalah keharusan. Dengan catatan, selama tidak ada halangan syar’i. Mendatangi dan memenuhi undangan akan bisa membuat hati si pengundang bahagia. Bukankah membahagiakan orang lain (idkhalus surur) adalah kebaikan?
Wallahu a’lam