Suatu waktu, hiduplah seorang pemuda yang kaya raya. Ia memiliki kebun anggur dan pohon-pohon yang sangat ia cintai. Namun, kemewahan tanaman itu hancur begitu saja karena datangnya hujan es. Ia mengalami kerugian yang cukup besar.
Kejadian itu dimanfaatkan oleh setan untuk memprovokasi si pemuda. Setan membisikkan kata-kata yang tujuannya agar menyebabkan si pemuda meradang, “bukankah engkau telah menyembah Allah dan menjalankan perintah-perintahNya? Apa yang dilakukan Allah kepadamu? Allah telah merusak anggur dan pohon-pohonmu!!”
Provokasi setan berhasil. Si pemuda lalu menjadi sangat marah. Ia kemudian keluar dari rumahnya dan melemparkan kunci kebun anggurnya itu ke arah langit sembari berteriak, “Engkau telah merusak tanamanku. Ini, ambil saja sekalian kuncinya!”.
Kunci yang ia lemparkan itu tiba-tiba terbang ke langit dan turun lagi. Namun, ternyata yang turun tak hanya kunci, ada ular hitam yang menyertainya. Ular itu melilit leher si pemuda. Ia tak kuasa melepaskannya hingga ular itu tetap melilit lehernya. Karena tak bisa dilepas, ular itu melilit lehernya selama empat puluh hari hingga akhirnya ia meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sebagaimana layaknya orang yang meninggal, dengan kondisi leher tetap terlilit ular, masyarakat tetap mengurus jenazahnya. Ketika para pelayat memandikannya, ular itu pergi. Namun ketika ketika dikuburkan, ular itu kembali melilitnya. Akhirnya, karena tak kuasa dilepas, si pemuda dikuburkan dengan kondisi lehernya terlilit ular. Subhanallah.
Banyak hal yang bisa kita pelajari lewat kisah yang termaktub dalam kitab al-Nawadir karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qulyubi di atas. Salah satunya adalah bagaimana cara kita menyikapi apa yang telah digariskan Allah dalam kehidupan kita.
Salah satu yang harus kita imani adalah qadla dan qadar Allah. Meridlai qadla dan qadar serta apa yang telah ditetapkan Allah adalah kewajiban seorang muslim. Pasalnya, suka tak suka, yang ditetapkan Allah pasti terjadi. Lantas, bagaimana cara kita menyikapi dan memahami semua itu, terlebih jika itu adalah hal yang membuat hati sedih?
Prof. Quraish Shihab menjelaskan dengan begitu gamblang tentang bagaimana Al-Qur’an mengajarkan untuk selalu menyandarkan segala yang baik kepada Allah dan yang buruk bukan kepada diri kita sendiri. Dua di antara beberapa contoh yang disebutkannya dalam tafsir Al-Mishbah adalah ayat dalam adalah suratal-Fatihah dan surat al-Syu’ara.
Allah berfirman:
“Tunjukkan kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah [1]: 6-7)
Dalam ayat di atas, ketika Allah berbicara nikmat, Dia mengatakan “yang telah Engkau beri nikmat kepadanya”. Dalam kalimat ini, ada kata “Engkau” (yang maksudnya adalah Allah). Dia tampak ketika menyebut nikmat. Lain halnya ketika Allah berbicara murka dan tersesat, Dia tak tampak. Yakni pada ayat “bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Allah juga berfirman:
“(yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia memberi petunjuk kepadaku, dan yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)” (QS. Al-Syu’ara [26]: 78-81)
Terbaca dalam ayat di atas, ketika berbicara masalah petunjuk, makan dan minum, menyembuhkan, mematikan dan menghidupkan, Allah menampakkan dirinya. Namun, ketika berbicara masalah sakit, al-Qur’an menggunakan kalimat, “dan apabila aku sakit”, bukan “dan apabila Allah memberiku sakit”.
Dalam tafsir al-Qusyairi dan al-Sya’rawi dijelaskan alasan mengapa ayat ini tidak menggunakan kalimat “dan apabila Allah memberiku sakit”, yakni sebagai bentuk adab kita kepada Allah.
Walhasil, selain kita harus mengimani dan meridlai apapun yang dikehendaki Allah terjadi dalam diri kita, kita juga harus memiliki sikap dan pemahaman bahwa hendaknya senantiasa menyandarkan hal-hal yang baik kepada Allah dan yang buruk kepada diri kita sendiri. Ini akan membuat kita mencari penyebab keburukan itu kepada kita sendiri, bukan kepada Allah. Wallahu a’lam.