Ramadan tahun ini pasti berbeda dengan Ramadan tahun kemarin. Hari Senin ini pasti berbeda dengan hari Senin kemarin. Karena manusia selalu berada dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Bila pernyataan tersebut diteruskan dengan diksi ‘islam’, seperti keadaan Islam hari ini ya jelas pasti sangat berbeda dengan kondisi Islam di masa Nabi. Boro-boro ingin mengembalikan Islam seperti era nabi; pergi kemana-mana pakai unta, makanan sehari-hari dengan kurma, pakaian berjubah. Sulit bro. Ini zamannya android. Baca al-Qur’an, jelajah ke luar negeri, mau pesan makanan, nyamperin abang ojek: tinggal klik.
Zaman yang terus berubah inilah yang mestinya kita pandai untuk memahami. Karena dewasa ini banyak orang yang gagal faham, segala apapun ingin dikembalikan era nabi. Apapun makanannya, minumnya air zam-zam.
Mau diapain juga, islam yang diajarkan oleh Nabi adalah rahmatan lil ‘alamin. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi pun isinya sama, sejak 14 abad silam. Namun penafsiranlah yang kemudian menjadikan semuanya beragam. Pemahaman Islam sendiri bermacam-macam. Ada yang sholat subuh pakai qunut, ada yang tidak. Ada yang tarawihnya 20 rakaat, ada yang cuma 8 rakaat, salahkah pemahaman yang berbeda itu? Tidak sama sekali. Yang salah adalah ketika ada unsur pemaksaan.
Dulu ketika saya masih kecil, antara kelas 3-4 SD, saya disuruh oleh orang tua untuk latihan berpuasa, dan saya hanya kuat setengah hari, jadi ketika adzan dhuhur buka, lalu dilanjut puasa lagi. Ketika sudah kelas 5-6 SD, saya sudah mulai puasa full sampai maghrib.
Orang tua pun mengajarkan kepada kita kalau kewajiban seperti puasa tidak langsung dibebankan secara penuh. Sepertihalnya al-Qur’an, yang diturunkan secara berangsur-angsur dari Baitul Izzah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun. Turunnya al-Qur’an pun merespon kejadian-kejadian yang tengah dialami oleh Nabi, ada asbab al-nuzulnya. Ada tahapannya. Khomr (arak) dulu diperbolehkan, asal tidak mendekati shalat, kemudian berangsur diharamkan total. Hal ihwal inilah yang perlu kita pahami.
Kita tentu sadar, kalau Allah sengaja menciptakan makhluk di dunia ini dengan keberagaman, berbeda-beda, alias tidak semua hambanya beriman. Jadi woles saja kalau lihat orang yang siang hari makan di warung. Tidak usah kagetan. Allah saja tidak memaksakan iman kepada mereka, lho. (QS. Yunus : 99). Asal ajakan kita ke jalan yang baik dan benar tentu terus menerus kita lakukan (tawashow bil haq), tapi juga harus dijalankan dengan penuh kesabaran (tawashow bish shobr). Tidak asal teriak takbir, bubar. Teriak takbir membuat aksi huru hara. Sekali lagi, semuanya harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak bolek ada unsur pemaksaan (Al-Baqarah : 256).
Orang beragama jangan seperti zombie, mayat hidup yang menakutkan. Apalagi di bulan Ramadan ini. Dalam sebuah hadis, nabi mengatakan kalau 10 hari pertama bulan Ramadan adalah rahmat. Kasih sayang Tuhan dibuka seluas-luasnya. Nabi pun mengutus kita untuk menyambung tali silaturrahim ke sesama. Tapi mengapa umatnya hobi bertikai? Hayo, tanya kenapa.
Sejarah telah mencatat, sepeninggal Nabi Muhammad Saw, kesantunan hidup yang diteladankan di jazirah arabia tampak sirna. Rahmat yang diajarkan oleh nabi berangsur-angur tenggelam. Fakta membuktikan beberapa sahabat saling menikam dan membunuh tak lebih dari 30 tahun sepeninggal beliau. Puluhan ribu orang tewas dalam perang saudara semasa pemerintahan Sayyidina Ali. Masa ini kemudian dikenal sebagai al-fitnah al-qubra, yakni berawal ketika terbunuhnya Khalifah Usman, yang kemudian dilanjut dengan Sayyidina Ali yang dibunuh oleh Ibnu Muljam. Itulah sejarah paling kelam dalam dunia Islam. Umat Islam terpecah, merasa paling benar dan paling sah membunuh dan melenyapkan golongan lain.
Islam yang semula menjadi rahmah, kemudian menjadi bencana, hanya karena sahabat yang tidak saling memahami. Lalu lahirlah serpihan-serpihan umat yang haus darah.
Agama adalah roh kehidupan, maka sejatinya tampilan luar suatu agama tidak boleh mengungkung rohnya. Kalau roh kehidupan terbelenggu ia akan bergerak seperti zombie, mayat hidup. (Achmad Chodjim: 2007). Bilamana orang beragama sudah seperti zombie, pasti mereka menakutkan. Karena itu jangan heran, bila hari ini banyak orang yang mengaku beragama tetapi malah memberikan ketakutan-ketakutan, anak kecil pun diajari untuk memusuhi dan teriak-teriak bunuh. Sementara di sosial media, banyak zombie-zombie berkeliaran, dengan dalih agama, mereka memberikan pesan-pesan yang menakutkan, ancaman, dan mengumbar kebencian.
Seharusnya agama membebaskan. Nabi Saw di utus di jazirah Arab yang dulu masyarakatnya mempunyai pandangan fanatisme kesukuan yang sempit, kemudian nabi membawa ke ruang dialog. Masyarakat Arab yang awal mula gemar melakukan diskriminasi dan kekerasan, dibawa oleh Nabi menuju perdamaian (seperti peristiwa Fathul Makkah). Itulah fungsi dan substansi agama; membebaskan.
Sepertinya, bangsa ini harus banyak belajar kepada sejarah. Perpecahan terjadi ketika orang beragama merasa paling benar sendiri, dan pemimpin atau ulamanya ingin menjadi ‘tuhan’, yang kerjaannya menghakimi dan menghukum manusia. Padahal, substansi agama adalah mengasihi.
Jika negeri ini banyak dihuni oleh orang yang beragama, tentu tidak akan menghilangkan substansi itu. Karena jika dihilangkan, yang ada bukanlah rahmat, tetapi bencana. Dan Ramadan mengajarkan kita untuk meneladani akhlak nabi, bukan malah menjadikan kita sebagai hamba yang seperti zombie. Wallahu a’lam.
Muhammad Autad Annasher, penulis bisa disapa lewat akun twitter @autad