Ketika Nabi Khidir Menjadi Budak Demi Membantu Orang Lain

Ketika Nabi Khidir Menjadi Budak Demi Membantu Orang Lain

Ketika Nabi Khidir Menjadi Budak Demi Membantu Orang Lain

Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya selalu memotivasi para pemeluknya untuk senantiasa bisa berbuat baik kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa harus mellihat latar belakang warna kulit, suku, bahasa, atau bahkan agamanya.

Allah SWT berfirman:

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. (QS al-Qashas [28]: 77)

Ayat di atas tidak menyebutkan objek secara khusus, sehingga obyeknya umum. Bisa berupa lingkungan, hewan, tumbuhan, dan lain-lain. Terbaca dari terjemahan di atas, perintah berbuat baik itu dilakukan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita.

Ada sebagian ulama memahaminya dengan sudut pandang berbeda, yakni perintah berbuat baik itu disebabkan karena Allah telah berbuat baik kepada kita. Demikian tulis Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya.

Dari sini, kita memahami bahwa perbuatan baik yang kita lakukan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah karena Dia telah juga berbuat baik kepada kita. Kita tidak bisa membalasNya secara langsung. Oleh karenanya, balasan itu kita wujdukan dengan cara berbuat baik kepada makhluk Allah SWT yang lain.

Apa yang dilakukan Nabi Khidir di bawah ini agaknya bisa menjadi teladan bagi kita tentang betapa pentingnya berbuat baik kepada sesama. Memang kita tidak dituntut untuk mencontohnya sama persis. Namun setidaknya kita bisa menirunya semampu kita.

Begini kisahnya.

Seseorang (Fulan, bukan nama sebenarnya) datang menemui Nabi Khidir untuk meminta sesuatu, “Aku telah memohon kepada Allah agar engkau berkenan memberiku sesuatu”.  Mendengar permintaan itu, entah karena apa, Nabi Khidir jatuh pingsan.

Setelah beberapa saat, ia terbangun dan sadar. Nabi Khidir meyadari keadaan dirinya karena tidak memiliki sesuatu sehingga ia tidak bisa memberi Fulan sesuatu barang pun. Namun ia juga sadar bahwa ia masih memiliki tubuh yang dipekerjakan.

Nabi Khidir pun menawarkan kepada Fulan untuk menjadikan menjual dirinya sebagai seorang budak. Kata Khidir, uang hasil penjualan itu akan ia sedekahkan kepada Fulan. Singkat cerita, Khidir pun dibawa ke pasar dan dijual. Di pasar, Khidir dibeli oleh seseorang bernama Sahim bin Arqam.

Khidir dibawa pulang oleh Sahim dan diberi pekerjaan untuk menggarap ladang. Setelah menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan Khidir, Sahim pun pergi untuk beraktifitas kembali.

Sepulang dari beraktifitas di luar rumah, Sahim pulang ke rumah memnemui sang istri. “Apakah budak yang bekerja di ladang sudah kamu beri makan?,” tanya Sahim kepada istrinya.

“Budak yang mana?,” jawab sang istri yang ternyata tidak mengetehui ihwal Khidir, budak milik suaminya itu.

Sahim langsung mengambil makanan dan pergi menuju ladang menemui Khidir yang sedang bekerja. Sampai di sana, betapa kaget Sahim. Ia melihat  pemandangan yang luar biasa. Pekerjaan yang diberikan kepada Khidir telah selesai dan Khidir sedang melakukan shalat.

Sahim benar-benar takjub kepada Khidir. Merasa tak percaya pekerjaan menggarap ladang itu selesai dalam waktu singkat, Sahim mulai penasaran tentang sosok yang kini menjadi budaknya itu.

“Siapa kamu sebenarnya? Tolong kasih tahu saya,” tanya Sahim.

Khidir mengatakan bahwa dirinya adalah hamba Allah dan budak Sahim. Sahim masih belum percaya dengan jawaban itu. “Demi Allah, tolong beri tahu saya siapa kamu sebenarnya?,” tanya Sahim mendesak.

“Aku adalah Khidir,” jawab Khidir berterus terang tentang jatidirinya.

Mendengar jawaban itu, Sahim langsung pingsan. Setelah beberapa sadar, ia tersadar dan langsung meminta ampun kepada Allah karena telah menjadikan Khidir sebagai budak. Khidir juga sama, langsung menghadap Allah dengan melakukan sujud karena atas kekuasaanNya ia bisa menjadi budak dan juga kini menjadi orang merdeka.

 

Bacaan:

al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, t.th.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati, 2009.