Seperti umumnya makam para ulama, pesarean Kiai Abdul Hamid yang berada di tengah Kota Pasuruan tidak pernah sepi dari peziarah. Bukan karena alasan tempat yang setrategis, tetapi orang mengenal Kiai Hamid lewat kharisma dan otoritas keagamaannya. Bahkan, Kiai Hamid dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama penting di Jawa abad-21, seperti Kiai Ali Maksmum, Kiai Mufid Mas’ud, dan masih banyak lagi.
Dikutip dari NU Online, Kiai Abdul Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah dan wafat 25 Desember 1985. Adapun sanad atau mata-rantai keilmuannya, Kiai Hamid mulai mengaji fiqih dari ayahnya dan ulama di Lasem. Lalu, pada usia 12 tahun, beliau mulai berkelana. Mula-mula belajar dari kakeknya, KH . Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian beliau diajak berangkat ibadah Haji pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Dan, pada usia 18 tahun, beliau pindah lagi Tremas , Pacitan, Jawa Timur.
Orang-orang meyakini bahwa Kiai Hamid bukan saja sebagai ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga merupakan seorang waliyullah yang penuh welas-asih dan kebijaksanaan pengetahuan.
Maka, wajar saja jika setiap tahun pada peringatan haul beliau, masyarakat dari segala penjuru berbondong-bondong untuk bisa hormat dan berkhidmah kepada ulama besar pewaris Nabi Muhammad SAW ini.
Kesabaran Kiai Hamid ternyata tidak hanya diakui oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat Islam yang pernah mengenalnya. Bahkan, beliau dikenal sebagai orang yang jarang marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Namun, kesabaran Kiai Hamid ini sebenarnya kontras dengan masa mudanya. Menurut Kiai Hasan Abdillah yang dikutip dari Kumpulan Biografi Ulama’, Kiai Hamid dulu terkenal cukup keras.
Meski begitu, demikian Kiai Hasan, semasa kecil Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Malahan, tanda-tanda kewaliyan itu telah tampak sejak masa kecil.
“Pada usia enam tahun, beliau sudah bertemu dengan Rasulullah,” kata Kiai Hasan. Ini selaras dengan kepercayaan yang berkembang di tradisi Nahdliyin, khususnya kaum sufi, bahwa walau Rasulullah sudah wafat, sesekali waktu Beliau SAW akan menemui orang-orang tertentu yang dianggap kekasihnya, khususnya para waliyullah, bukan hanya bertemu dalam mimpi akan tetapi dalam keadaan terjaga.
Banyak sekali karomah-karomah Kiai Hamid yang disaksikan langsung oleh kalangan santri maupun masyarakat setempat. Ini seperti dikisahkan Kiai Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) dalam satu kajiannya tentang ayahnya (Kiai Nursalim) yang masih kerabat Kiai Hamid Pasuruan.
Suatu hari, Kiai Nursalim mendapatkan ijazah cara niat dari Mbah Hamid.
“Bagaimana ijazahnya? Kalau mau ngaji, maka niatlah ‘Saya niat seperti niatnya Syekh Abdul Qodir Al-jailani’” tegas Gus Baha’ menirukan perkataan ayahnya.
Ya, Kiai Nursalim dulu memang sering sowan Mbah Hamid, bahkan juga sering diminta Mbah Hamid untuk baca Al-Qur’an.
Gus Baha’ juga mengisahkan bahwa dulu banyak orang dengan usia tua yang sowan Mbah Hamid malah diperintahkan untuk menghafal Al-Qur’an. Kenapa bisa begitu?
“Agar mereka selalu dekat dengan kebaikan dalam kesehariannya. Ada yang dua tahun meninggal, ada yang empat tahun meninggal. Ada yang baru 4 juz meninggal. Mbah Hamid sebenarnya sudah tau, kalau mereka tidak mungkin khatam. Tapi ya itu, agar mereka selalu dekat dengan kebaikan,” terang Gus Baha.
Selain itu, karomah Kiai Hamid yang juga masyhur adalah bisa hadir di tempat yang berbeda sekaligus. Ini terjadi saat Habib Baqir Mauladdawilah bertandang ke pesantren Kiai Hamid.
Ceritanya, Habib Baqir berniat silaturahim, sementara ketika itu kediaman Kiai Hamid sedang ramai tamu yang berdatangan dengan berbagai kepentingan.
Sejurus kemudian, Habib Baqir merasa kaget karena yang dilihat ternyata bukanlah Kiai Hamid yang sesungguhnya, melainkan sesosok ghoib yang menyerupainya. Kemudian, Habib Baqir mencari di manakah sosok Kiai Hamid yang sesungguhnya.
Setelah diselidiki, Habib Baqir semakin terkejut, karena sosok Kiai Hamid yang sesungguhnya sedang berada di Tanah Suci Mekkah.
Lain cerita, suatu ketika ada seseorang meminta nomor togel ke Kiai Hamid. Alih-alih ditolak atau dimarahi, Kiai Hamid justru meladeni tamu tersebut dengan memberi sejumlah petunjuk yang dapat memuluskan judi togel.
Meski begitu, Kiai Hamid tidak mau “gratisan”. Dengan kata lain, beliau memberi petunjuk nomer togel dengan satu syarat: jika dapat togel maka uangnya harus dibawa ke hadapan beliau.
Pendek cerita, orang tersebut benar-benar memasang nomor pemberian Kiai Hamid dan menang. Syarat pun ditaati. Uang hasil judi togel itu dibawa kehadapan Kiai Hamid. Dan, oleh Kiai Hamid, uang itu dimasukkan ke dalam bejana, lalu orang yang bersangkutan itu disuruh melihat apa isinya.
Sontak, tamu itu kaget bukan kepalang. Ternyata, isinya adalah darah dan belatung.
Kiai Hamid lalu berkata “apakah saudara cukup tega jika memberi makan anak dan istri saudra dengan darah dan belatung?”
Dan, seketika itu juga, tamu tersebut menangis dan bertobat.
Begitulah rahmat seorang waliyullah yang diberikan kepada umatnya, dengan ketenangan dan keteduhan budi pekerti sehingga bisa mengayomi dengan rahmatal lil ‘alamin. Semoga kita semua bisa meneladani kedalaman ilmu dan budi pekerti Kiai Abdul Hamid yang luhur itu. Alfatihah…