Pada suatu malam, Khalifah Harun al Rasyid memanggil salah seorang di antara pengawal kesayangannya. Sang Khalifah merasa ternyata sedang galau dan merasa jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaannya. Sang raja menyampaikan kondisi gundah gulannaya dan ingin dipertemukan dengan orang alim yang bisa mengobati perasaannya itu.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan oleh Harun al Rasyid maka si pengawal mengantarkannya kepada seorang ulama bernama Sofyan al-Uyaina. Bergegaslah sang raja dan pengawalnya kepada orang ulama tersebut. Sesampainya di rumah Sofyan mereka mengetuk pintunya. “Siapakah itu?” kata Sofyan. Pengawalpun menjawab “Pemimpin kaum Muslimin.”
“Mengapakah Khalifah sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepada ku sehingga aku datang sendiri untuk menghadap?” kata Sofyan selanjutnya. Namun tanpa diduga Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Ia bukan orang yang ku cari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya.” Apa yang dikatakan Khalifah Harun Al Rasyid ternyata terdengar oleh Sofyan. Ia kemudian menimpali, “Jika demikian datanglah kepada Fudzail bin Iyadz .Ia adalah orang yang engkau cari . Pergilah kepadanya.”
Keduanya berbalik arah dan pergi menuju rumah Fudzail bin Iyad. Diketuklah pintu sufi besar itu. “Siapakah itu?” kata Fudzail.
“Pemimpin kaun Muslimin. Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” jawab sang pengawal.
“Jangan kalian menggangguku. Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan,” gertak Fudzail.
Tak lama kemudian si pengawal itu mendobrak pintu dan masuk. Namun Khalifah Harun ar-Rasyid kemudian melangkah masuk. Begitu Harun menghampirinya, Fudzail mematikan lampunya. Dalam keadan gelap gulita itu Harun ar-Rasyid mengulurkan tangannya dan disambut oleh Fudzail.
“Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!,” katanya lantang.
Setelah itu Fudzail berdiri dan berdoa. Harun ar Rasyid trenyuh dan tidak dapat menahan derai air matanya. Ia menangis. “Katakan sesuatu kepadaku,” mintanya Khalifah sambil terbata-bata. Maka kemudian Fudzailpun berkata,’ Leluhurmu, pernah meminta kepada Rasulullah begini,” Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian ummat manusia.” Tetapi Nabi saw menjawab,” Paman, untuk sesaat aku mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri.” Jawaban ini bisa dimaknai sebagai sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh ummat manusia. Kemudian Nabi menambahkan, “Kepemimpinan akan menjadikan sumber penyesalan pada Hari Kebangkitan nanti.”
Fudzailpun terdiam sejenak. Suasana menjadi “Lanjutkan,” Harun ar-Rasyid meminta.
“Ketika diangkat menjadi Khalifah, “Umar bin ‘Abdul Aziz memanggil Sultan bin ‘Abdullah, Raja, bin Hayat, dan Muhamad bin Ka’ab. “Umar berkata kepada mereka : “Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang harus ku lakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia.” Salah seorang di antara ketiga sahabat ‘Umar itu berkata : “Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia sebagai ayah mu sendiri, setiap muslim yang remaja sebagai Saudara mu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak sebagai puteramu sendiri, dan perlakukan mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan puteranya.”
Fudzail terdiam lagi. Tetapi Harun ar-Rasyid meminta melanjutkan lagi.
“Anggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam neraka. Takutlah Allah dn taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, karena pada hari berbangkit nanti Allah akan meminta pertanggungjawabanmu sehubungan dengan setiap muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita ‘uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Berbangkit nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan dirimu.”
Mendengar pecahlah tangis Harun ar-Rasyid. Tangisan itu ternyata membuat si pengawal raja marah dan berkata,” Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin!.”
Tetapi justru Fudzail makin lantang dan berkata “Diamlah Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya. Apakah yang ku lalukan ini suatu pembunuhan?”
Mendengar kata-kata Fuzail ini tangis Harun ar-Rasyid semakin menjadi-jadi. “Ia menyebutmu Haman. Ia menyamakanku dengan Fir’aun,” kata Harun ar-Rasyid sambil memandang pengawalnya.
Kemudian Harun bertanya kepada Fudzail : “Apakah engkau mempunyai hutang yang belum dilunasi?”
“Ya. Hutangku adalah kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi hutang itu maka celakalah aku!.”
Harunpun kemudian berkata“Yang ku maksudkan adalah hutang kepada manusia.”.
“Aku bersyukur kepada Allah yang telah memberiku karunia berlimpah sehingga tidak ada keluh kesah yang harus kusapaikan kepada hamba-hamba-Nya,” jawab Fudzail. Mendnehra jawaban itu Harun ar-Rasyid menaruh sebuah kantong yang berisi seribu dinar di hadapan Fudzail dan berkata, “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku.”
“Wahai pemimpin Kaum Muslimin, nasehat-nasehat yang ku sampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kezhaliman,” katanya sengit.
“Perbuatan salahku?” tanya Harun ar-Rasyid penasaran.
“Aku baru saja menyerumu ke jalan keselamatan, tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu merupakan suatu kesalahan? Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau telah memberikannya pada yang tidak pantas menerimanya. Percuma saja aku tadi berkata-kata,” ucap Fudzail. Sesaat kemudian Fudzail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu ke luar.
“Benar-benar seorang manusia hebat. Sesungguhnya Fudzail adalah seorang raja bagi umat manusia. dunia ini terlampaui kecil dalam pandangannya,” kata Harun al Rasyid.