Al-Ghazali adalah satu di antara ulama klasik yang menuliskan pengalaman hidup laku spiritualnya, kondisi sosial-politik, pergulatan wacana, dan berbagai persoalan yang muncul di masanya. Hal ini bisa kita lihat dengan jelas dalam karya-karyanya. Dan semua persoalan yang muncul merisaukan perasaan dan merangsang pemikiranyanya untuk memberikan respon.
Tentu saja respon melalui perspektif keagamaannya. Mula-mula curhat berbagai persoalan, lalu direspon dan dicarikan jalan keluarnya.
Salah satu curhatan dan keluhan al-Ghazali adalah tentang ulah beberapa kategori atau macam ulama. Pertama, saat itu, para ulama yang berilmu tinggi atau mutabahhir (ilmunya nyegara) sibuk terlibat dalam politik dan dukung-mendukung kekuasaan atau rezim. Sedangkan umat hidup dalam kesendirian, krisis teladan dan krisis pandangan keagamaan yang menyertai. Umat berjarak dengan ulama yang berilmu tinggi itu. Umat tidak didampingi. Ulama berada di tengah-tengah pusaran kekuasaan. Umat (di)terlantar(kan).
Kedua, ada segolongan orang, yang dikeluhkan oleh al-Ghazali, ilmunya pas-pasan yang mau mendampingi dan hadir di tengah-tengah umat memberikan teladan dan pandangan.
Akhirnya al-Ghazali mengkritik dan mengevaluasi para ulama berilmu tinggi yang tidak mendampingi umat dan asik ada di pusaran kekuasaan. Sampai-sampai al-Ghazali mengeluarkan istilah ulama su’ (ulama buruk).
Sedangkan evaluasi al-Ghazali terhadap segolongan yang ilmunya pas-pasan, bahwa ketika umat memberikan kepercayaan kepada mereka lantas jumawa, tinggi hati, memprioritaskan pencitraan daripada substansi, dan malas belajar/ngaji, sehingga tak ada penambahan pengetahuan.
Sampai-sampai al-Ghazali mengeluarkan istilah “jahl murakkab (orang bodok kuadrat)”, sebab mereka tidak merasa bodoh akan kebodohanya.
Ketiga, ada juga segolongan Hawasyi menemani umat. Hawasyi adalah segolongan orang yang berpegang pada harfiyah/literalis Al-Quran dan hadis, mudah menyalahkan dan mengkafirkan kelompok muslim yang berbeda paham dengan mereka. Umat ada yang terpapar gerakan Hawasyi ini.
Melihat fenomena ini Imam al-Ghazali semakin gelisah dan nelangsa, seraya berkata mau jadi apa umat ini kalau tidak ditemani ulama yang mutabahhir dan mau menemani dan mengayomi umatnya.
Karena itulah al-Ghazali memilih jalan sufi, ngarang kitab-kitab sufi dan memilih menjadi kiyai kampung yang mendampingi umat. Menjauh dari kekuasaan. Sebab bagi al-Ghazali, umat lebih penting dari sekedar jabatan dan kekuasaan.
Wallahu a’lam.
Artikel ini diolah dari artikel sebelumnya yang dimuat di Islamidotco dengan judul “Imam al-Ghazali Curhat” yang dipublikasi pada tanggal 3 April 2018.