Suatu hari, Minhah (ada pula yang menyebut Mukhah), salah satu dari ketiga saudara perempuan Bisyr al-Hafi, silaturrahim kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Maksud kedatangannya adalah untuk bertanya tentang bagaimana hukum dua hal yang selama ini mengaganjal dalam pikiran dan hatinya.
Ceritanya, ia adalah seorang penenun. Pada suatu malam, saat ia sedang menenun, lampu yang biasa menyinarinya tiba-tiba mati. Ia lantas mengambil inisiatif untuk menenun di bawah cahaya rembulan.
Yang ingin ia tanyakan, apakah ia harus menjelaskan kepada pembelinya bahwa tenunan itu disinari menggunakan cahaya rembulan.
Imam Ahmad menjawab, “jika memang memang ada beda antara tenunan yang menggunakan lampu dan yang menggunakan cahaya rembulan, maka engkau wajib menjelaskannya”.
Setelah itu, Minhah bertanya untuk kedua kalinya, “Apakah rintihan seorang yang sedang sakit itu adalah tanda bahwa ia mengeluh?”.
“Sebenarnya aku tak ingin seorang yang sakit itu mengeluh atas sakit yang dideritanya saja. Hendaknya ia selalu mengeluh dan mengadu kepada Allah,” jawab Imam Ahmad.
Merasa pertanyannya telah terjawab, Minhah pun pamit pulang. Namun dalam benak salah satu imam madzhab besar ini masih ada yang mengganggu pikirannya, siapa sebenarnya perempuan ini, sampai hal-hal sepele seperti itu pun ditanyakan. Ia akhirnya menyuruh anaknya, Abdullah, untuk membuntuti dan menyelediki.
“Wahai anakku, selama ini tak ada satu orang pun yang bertanya kepadaku tentang hal-hal sebagaimana yang ditanyakan perempuan tadi. Aku ingin kamu mengikuti dan menyelediki siapa sebenarnya perempuan itu!” kata Imam Ahmad memerintahkan anaknya.
Si anak pun membuntutinya dan akhirnya melihat Minhah masuk ke rumah Bisyr al-Hafi, seorang sufi besar, yang tidak lain adalah guru Imam Ahmad sendiri.
Ia akhirnya paham, perempuan yang sowan kepada ayahnya itu adalah saudara Bisyr al-Hafi. Abdullah pun pulang dan menceritakan hasil penyelidikannya itu kepada ayahnya.
Mendengar penuturan anaknya, Imam Ahmad berkata, “Bertakwalah kepada Allah! Benar dan pantas kalau begitu. Pasalnya, tidak ada yang bisa melakukan hal demikian (sangat berhati-hati dalam setiap hal) kecuali saudara Bisyr al-Hafi”.
Kisah di atas tertuang dalam kitab Hilyah al-Awliya’ wa Thabaqah al-Ashfiya’. Dari kisah di atas kita bisa belajar betapa suci dan bersihnya hati saudara Bisyr al-Hafi yang sampai mempermasalahkan hal-hal yang menurut orang kebanyakan tak perlu dipermasalahkan.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim)
Adalah suatu kebanggan dan kebahagiaan manakala seseorang memiliki rupa yang tampan/cantik atau harta yang melimpah. Namun jika di saat yang bersamaan hatinya kotor, maka apa yang ia miliki itu akan menjadi petaka bagi dirinya, dan bahkan orang lain. Hal ini, karena hati, sebagaimana yang juga disabdakan Nabi, adalah bagian dalam tubuh manusia yang bentuknnya hanya segumpal daging.
Meski begitu, dampak yang ditimbulkannya begitu besar. Baik dan buruknya suatu tindakan zahir tergantung dengan baik dan buruknya hati.
Walhasil, jika hati adalah inti dari setiap prilaku manusia, maka hendaknya seorang muslim selalu semangat dalam mempercantik dan memperindah dan atau membersihkan hatinya, sebagaimana ia semangat dalam memperbaiki tampilan zahirnya.
Atau, dalam istilah AA Gym, “Jagalah hati, jangan kau kotori, jagalah hati lentera hidup ini”. Wallahu a’lam.