Ketika Ibrahim bin Adham Menjadi Buruh di Ladang Seorang Non-Muslim

Ketika Ibrahim bin Adham Menjadi Buruh di Ladang Seorang Non-Muslim

Ketika Ibrahim bin Adham Menjadi Buruh di Ladang Seorang Non-Muslim
Ilustrasi seseorang yang sedang merenungi diri.

Seorang pemuda mendatangi Ibrahim bin Adham. Sebut saja namanya Fulan. Maksud kedatangannya itu adalah ingin mengajak Syekh Ibrahim untuk pergi ke Baitul Maqdis. Alhamdulillah, ia bersedia.

Sebelum berangkat, Syekh Ibrahim mengajak Fulan untuk berbekam terlebih dahulu,  “Kayaknya, akan lebih baik bila kita berbekam terlebih dahulu!”.

Fulan setuju. Mereka berdua mendatangi tukang bekam. Selesai berbekam, ketika hendak membayar, Ibrahim bin Adham bertanya kepada Fulan tentang berapa nominal uang yang ia bawa. Agaknya, Syekh Ibrahim sama sekali tak membawa uang.

“Ini ada uang delapan belas dirham,” jawab Fulan singkat.

“Berikan semuanya kepada tukang bekam sebagai upah,” kata Syekh Ibrahim memerintahkan.

Sami’na wa atha’na, Fulan mematuhi permintaan Ibrahim. Sejurus kemudian, mereka pun akhirnya memulai perjalanan menuju Baitul Maqdis.

Ternyata, perasaan Fulan masih diliputi tanda tanya besar tentang upah tukang bekam tadi. Menurutnya, itu terlalu mahal.

“Wahai Syekh, upah untuk tukang bekam tadi saya rasa kebanyakan. Kayaknya kita tak harus menyerahkan semuanya. Bisa sebagiannya saja,” kata Fulan mengutarakan kegelisahannya.

Namun, Syekh Ibrahim sama sekali tak menjawab. Diam seribu bahasa.

Setelah menyusuri jalan dalam beberapa waktu, akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan, Baitul Maqdis. Di sana, hal pertama yang dilakukan Syekh Ibrahim adalah menemui pengurus masjid.

Dalam kesempatan itu, Syekh Ibrahim bertanya tentang kemungkinan adanya lowongan pekerjaan untuk mereka berdua.

“Kami ingin mencari pekerjaan. Sepengetahuan Anda, apakah ada seorang pemilik ladang siap panen yang membutuhkan buruh untuk memanen hasil ladangnya,” tanya Ibrahim ke pengurus masjid.

“Ada. Ada seorang non Muslim yang memiliki ladang siap panen. Mungkin dia membutuhkan buruh untuk dipekerjakan,” kata pengurus masjid menginformasikan.

Syekh Ibrahim pun meminta untuk diantarkan ke rumah pemilik ladang. Di hadapan pemilik ladang, Syekh Ibrahim mengutarakan keinginannya untuk menjadi buruh. Keinginan itu dikabulkan dan disetujui oleh si pemilik ladang. Alhamdulillah.

“Berapa upah yang akan kami terima,” tanya Syekh Ibrahim.

Pemilik ladang pun menyatakan, upah untuk sekali memanen adalah satu dinar. Syekh Ibrahim meminta agar uang yang bakal menjadi upah itu dititipkan saja ke pengurus masjid. Tujuannya, agar nanti setelah memanen ladang, si pemilik ladang bisa langsung meminta pengurus masjid untuk menyerahkan uang itu.

(Menurut penulis, ini sebagai tindakan ihtiyath (kehati-hatian) dari Syekh Ibrahim. Ketika uang sudah berada di tangan si pengurus masjid, maka ia menjadi lebih tenang dan yakin bahwa ia pasti akan dibayar)

Malam itu, ladang sudah harus dipanen. Namun, karena agaknya tidak terlalu membutuhkan tenaga banyak, maka Ibrahim pun menawarkan kepada Fulan, siapa yang hendak memanen, “Silakan pilih. Kamu beribadah dan aku memanen atau sebaliknya?”

Fulan memilih beribadah. Sehingga Syekh Ibrahim yang berangkat ke ladang untuk memanen.

Pagi hari tiba, Syekh Ibrahim mendatangi pemilik ladang untuk melaporkan hasil panennya dan sekaligus meminta upah. Pemilik ladang mengecek hasil kerja Ibrahim, bagus atau tidak. Dan setelah dicek, ternyata hasilnya bagus. Si pemilik ladang merasa puas.

Tak lama setelah itu, si pemilik ladang pun menyuruh pengurus masjid untuk menyerahkan upah setelah terlebih dahulu Ibrahim memintanya.

Namun, ketika uang itu sudah hendak diberikan, Ibrahim menolak. Ia meminta agar uang itu diberikan saja kepada Fulan. Pasalnya, dahulu Fulanlah yang mentraktirnya untuk berbekam dan menghabiskakn biaya delapan belas dinar (bekam dan sedekah).

Lewat kisah yang termaktub dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat ini, kita bisa belajar untuk tidak memaksakan kehendak dalam mendidik. Seorang guru tentu lebih baik daripada muridnya. Namun dalam proses pengajaran, guru harus melihat kondisi sang murid.

Karena keyakinan dan keimanan yang tinggi, wajar bila Syekh Ibrahim bin Adham sangat siap untuk bersedekah dengan seluruh harta yang ia miliki. Tak ada rasa khawatir sedikit pun dalam dirinya. Bahkan, ketika ia tak memiliki uang sama sekali setelahnya.

Namun, bagaimana dengan Fulan? Apakah ia memiliki keyakinan yang sama?

Hal ini yang dibaca oleh seorang Ibrahim bin Adham. Agar Fulan tidak “oleng”, maka Syekh Ibrahim pun memberinya seluruh upah panen itu, sebagai ganti delapan belas dirham miliknya. Memang, seorang guru harus bisa menuntun dan mendidik muridnya secara perlahan, bukan memaksa.

Dalam konteks melatih kebiasaan puasa, misalnya. Seorang ustaz (atau orangtua) hendaknya mendidik murid (atau anak) step by step. Ada tahapan-tahapannya. Puasa setengah hari terlebih dahulu. Jika kuat, maka sepertiga hari. Jika sudah kuat, maka puasa full sehari penuh. Demikian pula dengan bidang lain. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Jamâluddîn Abi al-Farj bin Ibn al-Jauzî, ’Uyûn al-Hikâyat (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019), h. 317-318.