Fulanah, sebut saja begitu, adalah salah satu santri Syekh Sari as-Saqthî. Ia telah berkeluarga dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Muhammad. Anak ini dalam satu waktu sedang mengikuti kelas (belajar) tulis menulis kepada seorang guru (anggap saja, Ahmad). Dalam satu kesempatan, Ahmad menyuruh Muhammad pergi ke suatu desa untuk suatu urusan tertentu.
Namun sayang, entah kenapa, dalam perjalannya, musibah menimpanya. Dia terjatuh ke sungai, tenggelam, dan hilang tak diketahui rimbanya. Kabar ini pun akhirnya sampai kepada sang guru, Ahmad. Ia pusing tujuh keliing. Ia tak tahu bagaimana cara yang akan ia lakukan untuk mengabarkan informasi duka ini kepada sang ibu, Fulanah.
Karena mengetahui Fulanah adalah santri Syekh Sari as-Saqthî, maka Ahmad pun meminta bantuan kepada Syekh Sari untuk menemaninya datang ke rumah Fulanah. Ia (Syekh Sari) didaulat sebagai juru bicara.
Ketika mendatangi rumah Fulanah, Syekh Sari juga ditemani oleh salah seorang temannya, Syekh Junaid.
Sebelum berkata apa adanya, terlebih dahulu Syekh Sari memberikan muqaddimah atau pengantar. Ia berbicara masalah sabar dan ridla. Tujuannya adalah agar ketika Fulanah mengetahui apa yang terjadi, ia bisa sabar dan ridla menerimanya dengan legowo.
Fulanah merasa curiga dengan ceramah kiainya tersebut, Syekh Sari. Merasa ada yang aneh, ia pun memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai Syekh, sebenarnya ada apa ini?”
Syekh Sari akhirnya buka suara dan mengatakan apa yang terjadi, yakni Muhammad, anak laki-lakinya, telah tenggelam di sungai dan meninggal dunia. Fulanah tak percaya. Ia berkata, “Allah belum mencabut nyawa anakku”
Syekh Sari masih tetap melanjutkan ceramahnya tentang bab sabar dan ridla.
Karena yakni dengan kata hatinya, bahwa anaknya belum meninggal dunia, Fulanah akhirnya memutuskan untuk mengajak yang hadir di rumahnya itu mendatangi lokasi kejadian: sungai tempat tenggelam anaknya.
“Dimana lokasi tenggelamnya anakku?,” tanya Fulanah.
Sambil menunjuk lokasi, orang-orang yang ada di sungai itu berkata, “Di sini, wahai Fulanah”.
Ia memanggil anaknya, “Wahai, anakku, Muhammad…”
Tiba-tiba ada suara Muhammad menjawab penggilan itu, “Iya bu, aku di sini”
Tanpa basa-basi, Fulanah langsung turun ke sungai dan menggandeng tangan anaknya untuk kemudian dibawa pulang ke rumah.
Semua yang hadir di sana bingung melihat Muhammad masih hidup. Syekh Sari dan Syekh Junaid pun akhirnya udur-uduran (saling lempar) kewajiban menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi. Kedua ulama ini pun saling tunjuk satu sama lain.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” kata Syekh Sari kepada Syekh Junaid
Syekh Junaid enggan menjawab dan justru meminta Syekh Sari yang menjelaskannya. Syekh Sari pun sama: enggan dan meminta Syekh Junaid untuk memberikan penjelasan, “Kamu saja!”
Akhirnya Syekh Junaid pun buka suara. Ia mengatakan kepada semua yang hadir bahwa kejadian ini membuktikan bahwa Fulanah itu ahli ibadah. Oleh karenanya, ia mendapatkan bocoran dari Allah mengenai apa yang sebenarnya terjadi, termasuk dengan nasib anaknya yang sebenarnya memang belum benar-benar meninggal dunia.
Salah satu hikmah dari kisah penulis sarikan dari kitab ‘Uyûn al-Hikâyât ini adalah ibadah yang dilakukan seseorang akan menyebabkan ia mendapat bocoran dari Allah (firasatnya kuat). Tidak bisa dibayangakn bila Fulanah tidak mengetahui keadaan anaknya. Bisa jadi Muhammad akan benar-benar meninggal karena tidak segera ditolong.
Allah SWT berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقاناً وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosamu)mu. Allah memiliki karunia yang besar” (QS. Al-Anfal [8]: 29)
Furqan yang dimaksud ayat ini, menurut tafsir Lathâif al-ʻIsyârât, berupa ilmu atau ilham. Dari sini, dapat dipahami bahwa tidak terlalu mengeherankan bila orang-orang yang tingkat ketakwaannya tinggi seringkali tepat dalam memutuskan masalah. Analisis mereka tidak saja berdasar kemampuan logika, namun juga bimbingan Allah SWT. Wallahu a’lam.
Sumber:
al-Qusyairî, Abdul Karîm bin Hauzân bin Abdil Mâlik. Lathâif al-ʻIsyârât, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah, t.th), cet ke-3, vol. 1
Ibn al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019).