Salah satu dari sekian banyak budak milik Khalifah Harun al-Rasyid, ada satu budak yang berkulit hitam. Konon, ia sangat tidak good looking. Meski begitu, keteguhan hatinya tiada banding.
Suatu saat, di hadapan para budaknya, Harun al-Rasyid menyebarkan uang. Para budak pun mengambil dan memunguti uang itu. Namun tidak dengan si budak hitam. Ia hanya berdiri dan memandangi wajah Harun al-Rasyid.
Karena penasaran dengan apa yang dilakukan si budak hitam, Harun al-Rasyid akhirnya bertanya, “mengapa kamu tidak memunguti uang seperti kawan-kawanmu?”
“Yang dicari teman-temanku adalah uang. Sedang yang aku cari adalah sang pemilik uang,” jawab si budak.
Jawaban si budak itu membuat Harun al-Rasyid terkesima dan kagum kepadanya. Ia lantas mendekatainya dan memberikan pujian kepadanya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, kabar ketertarikan Harun al-Rasyid kepada si budak hitam itu akhirnya tersebar di kalangan para raja. Ia kemudian mengundang raja-raja itu untuk hadir ke tempatnya guna melihat sendiri kualitas di budak.
Di hadapan para raja, Harun memanggil para budaknya. Para budak itu kemudian diberi gelas yang terbuat dari yakut (semacam permata). Harun lalu memerintahkan para budak untuk melemparkannya. Ternyata mereka semua sepakat untuk menolak melakukan apa yang menjadi perintah Harun.
Hingga akhirnya tiba giliran si budak hitam yang mendapat perintah itu. Tanpa pikir panjang, si budak pun melemparkan gelas itu dan akhirnya pecah.
Setelah itu, Harun berkata kepada para raja yang hadir, “para tuan-tuan, lihatlah, budak ini memang hitam kulitnya dan baik hatinya”.
Harun lantas bertanya kepada si budak hitam, “Wahai budak, mengapa kamu memecahkan gelas itu?”
“Engkau telah menyuruhku. Aku tentu saja paham bilamana memecahkan gelas akan mengurangi barang-barang milik raja. Namun, dengan tidak memecahkan gelas, itu akan membuat marwah raja berkurang. Yang pertama lebih baik dilakukan untuk menjaga kehormatan raja,” jawab di budak hitam.
“Memang, jika aku memecahkan gelas, aku termasuk orang gila. Namun, jika aku tidak memecahkan gelas, maka aku termasuk orang durhaka. Aku lebih menyukai yang pertama daripada yang kedua,” si budak menambahkan.
Mendengar jawaban itu, akhirnya para raja memaklumi dan bisa menerima alasan mengapa Harun Rasyid mengistimewakan budak hitam itu.
Kisah di atas penulis sarikan dari kitab al-Nawadir, karya Ahmad Shihabuddin bin Salamah al-Qulyubi. Dari kisah itu kita bisa belajar bagaimana hendaknya menjadi seorang hamba/budak. Jika digunakan untuk konteks sekarang, tentu maksud budak di sini adalah budak/hamba Allah Swt.
Sebagaimana terbaca dalam kisah di atas, menjadi budak yang baik adalah yang taat kepada juragannya. Apapun yang mejadi perintahnya, harus diikuti dan dikerjakan tanpa berpikir panjang, apapun resikonya.
Bukahkah dalam doa iftitah ketika shalat, salah satu yang kita baca adalah “inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin” (sungguh, shlataku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Swt.)? Bukahkah maksud doa tersebut adalah keberserahan diri kepada Allah?
Memang, terkadang atau bahkan sering, yang diperintahkan Allah tidak sesuai dengan kondisi hati kita. Namun, kita harus sadar bahwa tujuan diciptakannya kita adalah untuk selalu beribadah kepadanya, bukan yang lain.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Barang siapa yang mengucapkan ‘Radhiitu billahi rabbaa wa bil islaami diinaa wa bi muhammadin shallaa allahu ‘alaihi sa sallama rasuulaa’ (Aku rela Allah Swt. sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Nabi Muhammad Saw sebagai Rasulku), maka surga merupakan suatu kepastian baginya.” (HR. Abu Dawud)
Dalam kitab Syarah Ratib al-Hadad, disebutkan, Imam al-Hadad dalam kitab al-Nashaih al-Diniyyah mengatakan bahwa jika seseorang telah ridla kepada Allah, maka ia akan selalu ridla dengan pengaturan dan apapun yang menjadi pilihan Allah. Ia juga akan selalu ridla dengan ketetapan-Nya, rizki yang diberikan-Nya dan selalu taat atas apa yang diperintahkan-Nya.
Walhasil, keridlaan terhadap Allah akan membuat seseorang taat kepada-Nya. Apapun yang menjadi perintah-Nya hendaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati. Dalam salah satu kaidah fikih disebutkan, “Ridla terhadap sesuatu berarti ridla dengan hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu tersebut”.