Abu Darda ra adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw. Ia pernah memiliki seorang jariyah (budak perempuan). Karena kebenciannya kepada Abu Darda, si jariyah tersebut kemudian meracuninya. Tidak tanggung-tanggung, racun yang diberikan sebanyak empat puluh takaran.
Namun, bi idznillah, racun itu tidak bereaksi apapun dalam tubuh Abu Darda. Ia masih tetap sehat seperti sedia kala. Melihat racun yang diberikannya tak menghasilkan apa-apa, si jariyah pun memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Abu Darda. Terjadilah dialog di antara mereka berdua.
“Manusia macam apa kamu ini?,” tanya si jariyah.
“Aku manusia biasa seperti kamu,” Abu Darda menjawab.
“Bagaimana mungkin kamu ini manusia biasa sepertiku?,” sanggah si jariyah.
“Aku telah memberimu racun sebanyak empat puluh kali. Namun sama sekali tak berdampak kepadamu,” tambahnya.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa orang yang selalu berdzikir kepada Allah, maka tak akan ada hal-hal yang dapat mencelakainya?,” jelas Abu Darda.
“Selama ini, akau selalu berdzikir dengan al-ism al-a’dzam (nama yang agung),” kata Abu Darda menambahkan.
“Dzikir macam apa yang kamu baca?,” tanya si jariyah penasaran.
Abu Darda menjawab, “Bismiillahil ladzi laa yadhurru ma’asmihi syaiun fil ardli wa laa fissama’, wa huwaassami’ul ‘alim.”
Setelah itu, ia juga bertanya tentang apa alasan yang membuat si jariyah itu tega meracuninya. “Aku benci kepadamu,” jawab si jariyah.
“Baiklah. Sekarang, aku merdekakan kamu. Saat ini kamu bebas melakukan apa saja (tidak lagi menjadi budakku),” kata Abu Darda.
Kisah di atas tertuang dalam kitab Syarah Ratib al-Hadad, karya al-Habib ‘Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Abdillah bin ‘Alawi al-Hadad Ba’alawi. Selain keutamaan berdzikir kepada Allah, pelajaran apa lagi yang bisa kita ambil dari kisah di atas?
Ya, ia mengajarkan tentang memafkan dan tidak melakukan pembalasan atas kesalahan yang dilakukan orang lain kepada kita. Tidak membalas dendam adalah salah satu perbuatan terpuji yang harus diupayakan oleh setiap muslim.
Mengapa “diupayakan” dan bukan “diwajibkan”? Karena memang agama tidak melarang seseorang membalas ketika disakiti. Hanya saja, tidak membalas dendam adalah yang terbaik.
Allah Swt. berfirman:
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Namun jika bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Nahl [16]: 126-127)
Dalam tafsir al-Sa’diy, karya Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’diy, dijelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan pembolehan dari Allah bagi orang yang dizalimi untuk melakukan pembalasan.
Meski demikian, kebolehan membalas dendam itu harus dilakukan dalam bnetuk yang sama dengan siksaan/perbuatan buruk yang didapatkan. Tidak boleh lebih. Juga, pembalasan harus dilakukan dengan alasan menegakkan kebenaran, alias bukan untuk melampiaskan nafsu belaka. Begitu kurang lebih penjelasan dalam tafsir al-Muntakhab.
Bagaimana prakteknya?
Dalam kasus di atas, jika orang yang dizalimi (Abu Darda) akan membalas dendam, maka harus dengan racun yang sama dan dalam jumlah yang sama (empat puluh kali).
Itu pun, menurut penjelasan di atas, harus dilakukan dalam rangka menegakkan kebenaran, misalnya, agar orang yang menzaliminya (si jariyah) tidak (bisa) melakukannya lagi, baik kepada dirinya atau orang lain. Bukan untuk melampiaskan hawa nafsunya.
Al-Biqa’i dalam tasfirnya menjelaskan bahwa meskipun ayat di atas menunjukkan bolehnya membalas dendam, namun pada redaksi selanjutnya, Allah segera menegaskan dan memotifasi orang-orang muslim agar menjadi pribadi yang selalu bersabar, yakni dengan cara memaafkan.
Meskipun Abu Darda, lewat ayat di atas, telah mendapat legitimasi untuk melakukan pembalasan, namun ia memilih untuk tidak melakukannya dan justru memberi si jariyah hadiah berupa kemerdekaan. Dan inilah yang harus kita contoh.
Semoga kita bisa meneladaninya!. Amin.