Aksi protes seringkali memanfaatkan strategi yang menarik perhatian media berita dan lainnya, semata agar resonansinya lebih nyaring. Termasuk aksi protes bela Palestina.
Isu tentang pendudukan Gaza memang sangat menyedihkan. Tidak sulit menyebut jika Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina. Tapi kenapa orang masih menyangkalnya?
Bahkan ada juga yang sampai mendelegitimasi aksi turun jalan. Upaya menuntut hak-hak Palestina untuk merdeka dari penjajahan Israel seolah dimentahkan begitu saja dengan bincang-bincang bersama Presiden Israel atas nama dialog lintas-iman.
Danielle K. Brown, seorang Professor bidang Jurnalistik dari Michigan State University, mengungkapkan aksi turun jalan atau gerakan protes bisa terlihat sangat kontras tergantung dari mana kamu melihatnya, baik secara harfiah maupun kiasan.
“Bagi para demonstran, sebuah aksi protes merupakan hasil dari perencanaan cermat kelompok tertindas atau mereka yang ingin menyuarakan pembelaan dan hak-haknya. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan kepada dunia yang lebih luas atau target institusional tertentu,” jelas Brown.
Namun, bagi orang luar, gerakan protes bisa terlihat tidak terorganisir dan bahkan direduksi sebagai gangguan terhadap ketertiban umum. Akibatnya, orang jadi kesulitan untuk melihat seberapa dalam usaha para demonstran atau apa tujuan sejati mereka.
Aksi Turun Jalan untuk Palestina
Gerakan protes pro-Palestina yang muncul di kampus-kampus seluruh Amerika Serikat dan banyak tempat lainnya menjadi contoh yang menarik di sini.
“Bagi para mahasiswa yang berpartisipasi, mereka merasa perlu untuk mewakili suara warga Gaza yang menghadapi genosida,” jelas Brown. “Sayangnya, bagi banyak orang di luar universitas, fokus mereka–berdasarkan framing media–adalah pada konfrontasi dan penangkapan kerumunan.”
Kesenjangan paradigmatik ini, menurut Brown, datang dari ketergantungan banyak orang pada media untuk memberikan gambaran lengkap tentang protes tersebut.
“Kebanyakan orang tidak berpartisipasi dalam aksi protes karena merasa tidak nyaman turun ke jalan. Sebagai gantinya, mereka lebih mengandalkan media untuk memberikan gambaran lengkap tentang protes tersebut,” ujarnya.
Selama lebih dari satu dekade, Brown telah melakukan penelitian secara ekstensif terkait hal itu. Dia mengeksplorasi tren bagaimana media membentuk narasi berbagai jenis demonstrasi.
Katanya, dalam salah satu podcast, laporan tentang perkemahan di kampus oleh sebagian besar media memiliki kecocokan dengan pola umum liputan aksi demonstrasi.
“Awak media kebanyakan lebih fokus pada drama aparat dengan demonstran daripada alasan yang mendasari kenapa aksi itu mengada,” ujar Brown. “Padahal, itu bisa membuat audiens tidak mendapat informasi tentang nuansa protes dan gerakan di baliknya,”
Fokus pada Ketidakadilan
Dalam sebuah artikel, Brown menjelaskan bahwa semua gerakan protes yang dipimpin mahasiswa terkait hak-hak Palestina saat ini memiliki komponen yang serupa.
“Mereka memerlukan perencanaan matang, fokus pada ketidakadilan yang dirasakan, mencari solusi, dan bila perlu melakukan reformasi atau bahkan revolusi,” dedahnya.
Aksi protes, sebagaimana sifat dasarnya, pasti dianggap mengganggu (disruptive) mereka yang kena protes. Terkadang, sifat disruptif dari aksi protes itu berujung pada konfrontasi dengan sesuatu atau seseorang.
Juga, aksi protes seringkali memanfaatkan strategi yang menarik perhatian media berita dan lainnya, semata agar resonansinya lebih nyaring. Karena itu, menurut Brown, elemen inti dari sebuah aksi seperti keluhan (grievances), tuntutan, gangguan, konfrontasi, dan tontonan (spectacle) hadir dalam hampir semua gerakan protes.
Namun, bagi institusi media, beberapa elemen justru lebih layak diberitakan dengan mengabaikan elemen lain. Di sini aspek konfrontasi dan tontonan sering menduduki daftar teratasnya.
“Dalam penelitian yang berfokus pada gerakan sosial seperti Black Lives Matter dan Women’s March 2017, saya menemukan bahwa liputan media cenderung menyoroti bagian-bagian protes yang sensasional dan yang dianggap mengganggu ruang publik,” jelas Brown.
Dia menandaskan bahwa pola ini disebut sebagai paradigma protes. Meskipun ada banyak faktor yang membuat paradigma ini bersifat fluktuatif, gerakan protes yang berusaha ‘mengganggu’ status quo adalah yang paling mungkin mendapat liputan awal.
“Sayang sekali, media hanya membingkai demonstran sebagai kriminal, tidak relevan, sepele, atau bahkan tidak sah dalam sistem politik tertentu,” tegas Brown.