Dalam al-Qur’an, istilah ulul albab dipakai sebanyak 16 kali. Dalam surat Ali Imran ayat 190-194, istilah ini digambarkan “senantiasa berdzikir mengingat Allah Swt melalui ucapan, perbuatan, atau merasakannya dalam hati dalam kondisi dan situasi apa pun, baik saat bekerja, berdiri, duduk, berbaring; memikirkan tentang penciptaan, yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, hingga mengucapkan, ‘Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini, yakni alam raya ini dan segala isinya dengan sia-sia.’”
Ringkasnya, tegasnya, ulul albab adalah orang-orang yang berilmu, ahli pikir sekaligus ahli dzikir, sehingga seluruh ilmunya tersambungkan kepada Allah Swt beserta seluruh isyarat kemahakuasaanNya, lalu menghantarnya menggapai keimanan, ketakwaan, dan kesalehan hidup.
Dalam menafsirkan ulul albab di surat Al-Baqarah ayat 179, Prof. Quraish Shihab menerangkan begini:
“Kata albab adalah bentuk jamak dari lubb, yaitu saripati sesuatu. Kacang, misalnya, memiliki kulit yang menutupi saripatinya (isi). Isi kacang dinamai lubb. Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni (saripati) yang tidak diselubungi oleh ‘kulit’, yakni kabut ide (pemikiran) yang dapat menimbulkan kerancuan dalam berpikir.”
Ya, pemilik saripati.
Apa gerangamn saripati kehidupan ini bagi seorang mukmin? Tiada lain adalah berislam dengan hanifan (lurus) dan musliman (pasrah). Sikap rohani ini tentunya akan makin menemukan kemantapan dan kedalamannya seiring dengan menguatnya sokongan wawasan dan pengetahuannya –secara naqli dan aqli—hingga makin bisa mengantarkannya tunduk patuh kepada Allah Swt dan berakhlak karimah kepada siapa pun.
Terlihat bahwa clue bagi ulul albab adalah ahli ilmu yang mengantarkannya kepada ahli dzikir –keterangan ini seleras dengan penafsiran Prof. Quraish Shihab terhadap “akal”, insya Allah akan saya tuliskan. DzikruLlah dengan landasan ilmu pengetahuan yang mantap tentunya akan mampu menderaskan tuaian hikmah kepada dirinya, rohaninya, kemudian menjenterah ke lingkup ekspresi dan perilakunya.
Dalam tafsir ayat yang lain, yang sejenis, yakni Ali Imran ayat 7, tentang “ar-rasikhuna fil ‘ilmi”, beliau memberikan ilustrasi yang amat berkesan.
“Kata ar-rasikhun terambil dari kata rasakha, yang pada mulanya digunakan untuk menggambarkan turunnya sesuatu dengan seluruh berat dan kekuatannya pada suatu tempat yang lunak. Bayangkanlah besi yang sangat berat ditempatkan di tanah yang lunak. Pasti ia akan masuk ke kedalaman sehingga keberadannya di tanah itu mantap dan tidak mudah goyah. Bahkan, bisa jadi sebagian dari besi itu tidak tampak di permukaan. Kemantapan ilmu mengisyaratkan keimanan dan rasa takut mereka kepada Allah Swt karena: ‘Yang takut kepada Allah Swt dari hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berpengetahuan.’ (QS. Fathir, 28).”
Kendati arti asalnya terkesan beda, di mana albab bermakna saripati dan rasikhun bermakna menghunjam dalam, esensinya tidaklah bertentangan sama sekali. Saripati dikandung di kedalaman, tak terhambat, tergannggu, tertutupi atau terhijab oleh anasir di luar saripati, sehingga ejawantahnya pada diri seseorang ialah keimanan, ketakwaan, dan kesalehan yang mengunjam mendalam, mantap, hingga tak mudah goyah.
Keterangan ini kiranya juga relevan untuk dijadikan pengingat, muhasabah diri, atas kemungkinan semakin bertambahnya ilmu, pengetahuan, derajat pendidikan kita, tetapi malah menjadikan kita makin ragu, waswas, bahkan skeptis, dan apalagi anti cum resisten kepada ajaran Allah Swt. Kondisi begini amatlah banyak terjadi.
Mengapa akal yang makin cemerlang bukannya makin menjadikan kita iman dan takwa, malah mungkar kepadaNya?
Tentulah yang demikian bukanlah golongan ulul albab ataupun ar-rasikhun fil ‘ilmi.