Kesalahpahaman mengenai konsep kawan dan lawan dalam beragama di masyarakat kita yang menyebabkan disharmoni antarumat. Sering kali sebagian umat beragama menganggap penganut agama lain sebagai lawan, padahal lawan berbahaya bagi umat beragama bukanlah penganut agama lain, akan tetapi manusia yang provokatif.
Kalau melihat sejarah Al-qur’an dari satu sudut pandang saja kurang afdol. Karena akan berakibat fatal. Kontekstualisasi Al-qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah dimuka bumi sejatinya mengajarkan nilai-nilai luhur dalam tatanan kehidupan. Jika Al-Qur’an bisa dipahami oleh siapa saja, bagi semua bangsa, di semua waktu, maka al-Qur’an berisikan ajaran yang menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Islam merupakan fakultas dunia yang terbuka untuk dipelajari, dan bahkan dianut dan dilaksankan oleh siapa saja.
Memang, umat Kristiani pun dalam menghadapi arus modernitas menafsirkan kembali makna dari transedensi dan imanesi Allah serta relevansinya bagi kehidupan modern. Sebagai umat (Muslim) yang mayoritas, harusnya menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Di mana, jauh sebelumnya, toleransi antarumat beragama bisa kita jumpai pada masa awal islam, yakni abad ke 7 masehi.
Sabagai mana Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam memberikan pengajaran kepada para sahabat untuk menghormati para pemeluk agama lain. Hal ini terlihat ketika nabi tiba Kota Madinah dan resmi menjadi pemimpin kota. Nabi menjalin persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beagama islam (Ahmad Nurcholis, Pendidikan Perdamain, Gus Dur).
Sebagai umat (muslim) mayoritas di negeri ini, sebaikanya menahan diri, tidak tendensius, apalgi reaksioner dalam menyimpulkan sesuatu yang terjadi disekitar kita. Apalagi hal itu berkaitan langsung dengan tindak kekerasan. Alangkah baiknya, hal itu didialogkan terlebih dahulu sebelum semuanya terlambat. Sebagai Insan beragama, Baiknya kita menjadi penyambung lidah Tuhan, bukan penyambung lidah otoritas, bukan pula sekedar perpanjang kehendak penguasa atau masyarakat semata.
Agama merupakan pandangan atas rahasia Illahi, sehingga tidak ada satu agama pun berhak menjagokan dirinya sebagai norma bagi agama lain. Dari pihak lain keserasian antar-agama jangan ditafsirkan secara simplistik dan mengatakan bahwa semua agama itu sama. Perbedaan memang ada. Namun ajaran setiap agama tentang titik temu, kebersamaan dan kemanusiaan sebenarnya sudah cukup membuat manusia damai dan harmonis dalam kehidupan mereka.
Menurut Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, dalam upaya membangun hubungan yang sinergis antar masyarakat yang multikulturalisme diperlukan dua hal, pertama, penafsiran ulang atas doktrin – doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap ekslusif. Penafsiran ulang ini menurutnya harus dilakukan sedemikan rupa sehingga agama bukan saja berifat reseptif terhadap kearifan lokal, melainkan juga memandu digarda terdepan untuk mengatarkan demokrasi dalam masayarakat beragama.
Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagsan modern. Dimana saat ini, umat beragama mamasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban yang tidak didasarkan pada agama. Misalnya lomba tarik tambang lintas iman, dan lain sebagainya.
Selain itu, KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur juga mengemukakan, ciri utama agama adalah fungsinya sebagai pelayan manusia dalam menjawab kerinduan terhadap perlindungan dan kedamaian yang dijanjikan Tuhan. Agama menjadi tempat implementasi amal-amal sosial dan kemanusian. Kedekatan dengan tuhan bukan hanya dilakukan dengan ritual tetapi melalui penciptaan harmoni sosial, pemebebasan terhadap ketidak adilan dan penindasan atau pengentasan sesama manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Mencermati pemikiran Gus Dur sangat menarik dan menyulitkan. Menarik karena gagasannya sangat sederhana serta dinilai banyak kalangan mampu memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan baik di indonesia maupun di ranah international.
Menurut Gus Dur, Sikap toleransi harus diwujudkan oleh semua lapisan masyarakat sehingga terbentuk sebuah tatanan masyarkat yang kompak, bersatu dalam keragaman atau kemajemukan sehingga kaya akan gagasan-gagasa baru. Toleransi inilah yang menjadi dasar utama bagi terwujudnya perdamaian bagi semua masyarkat.
Toleransi yang dipahami dan dipraktekan menurut Gus Dur, tidak sekedar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi disertai dengan kesediaan menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain.