Kepercayaan Lokal: Bukti Eksistensi Environmentalisme Religius di Indonesia

Kepercayaan Lokal: Bukti Eksistensi Environmentalisme Religius di Indonesia

Kehadiran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Kependudukan) yang sedikit menjadi angin segar bagi para Penghayat Kepercayaan karena eksistensi mereka seolah diakui, nyatanya tak otomatis membuat keberadaan mereka bebas dari ancaman.

Kepercayaan Lokal: Bukti Eksistensi Environmentalisme Religius di Indonesia
Menjaga Lingkungan bagian dari Syariat Islam.

Ada kaitan langsung antara nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran kepercayaan lokal dengan semangat kita untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini bisa dilihat dari bangunan sistem kepercayaan dalam kepercayaan lokal yang selaras dengan semangat menjaga alam. Misalnya, konsep ‘Ibu Bumi’ yang terdapat dalam kepercayaan masyarakat adat Samin di Kendeng; atau mitos soal hutan yang oleh Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dianggap sebagai tempat di mana Bumi pertama kali dibuat. Oleh karena itu, hutan bagi Suku Kajang adalah sakral.

Tulisan ini berangkat dari satu hipotesis bahwa sangat mungkin kepercayaan lokal, atau yang acapkali disebut dengan ragam istilah seperti agama lokal, agama leluhur, kearifan lokal, dan atau agama masyarakat adat, dapat menjadi satu di antara beberapa solusi untuk merespons isu lingkungkan di Indonesia. Jika kita hendak mencari bagaimana wujud environmentalisme religius itu diejawantahkan ke dalam suatu praktik yang nyata, kiranya apa yang telah dilakukan oleh para Penghayat Kepercayaan atau masyarakat adat selama ini dapat menjadi rujukan penting.

Walaupun hingga hari ini, hipotesis tersebut masih terus terbentur dengan beberapa kenyataan yang ada di lapangan. Fakta bahwa banyak di antara masyarakat adat yang kian terkikis eksistensinya, makin digerus lahan adatnya, makin dirusak lingkungannya, serta banyaknya steriotipe macam-macam yang menempel pada mereka, menjadi beberapa soal yang masih terus menghalangi terwujudnya kepercayaan lokal sebagai wadah diseminasi environmentalisme religius di Indonesia.

Spirit Environmentalisme dalam Ajaran Kepercayaan Lokal

Keyakinan bahwa kepercayaan lokal dapat menjadi miniatur penting dalam mempromosikan environmentalisme religius atau gerakan eko-teologis sejatinya bukan barang baru. Banyak akademisi dan aktivis atau praktisi lingkungan yang melihat potensi ajaran kepercayaan lokal sebagai modal sosial untuk mempraktikkan ajaran agama yang ekosentris. Hal ini disebabkan ajaran kepercayaan lokal yang secara intrinsik sangat beririsan dengan kelestarian lingkungan. Daan van deer Leij dalam bukunya ‘The Possibilities for Interreligious Dialogues on Ecology in Indonesia‘, menulis:

Many of the indigenous religions have, for instance, a cosmology that emphasizes an interconnectedness between mankind and nature. Most indigenous religions have, for example, environmental morals intertwined within their religious beliefs that make environment an important aspect of their life. This is understandable because of the importance of the environment for these types of communities, as they are highly dependence on nature to provide them food, clothes, and other kind of commodities. The status of their environment is, thus, an important aspect that forms up a big portion of their religious belief system. This makes their cosmologies also very popular by environmental advocacy groups.”

Sangat mudah untuk menemukan ajaran dari berbagai kepercayaan lokal yang mensyaratkan pemeluknya untuk peduli terhadap nasib lingkungan dan sekitar. Sebagai misal, kita bisa menelusuri kepercayaan masyarakat adat Malako Kociak yang ada di Riau. Dalam salah satu aturan adat yang mereka miliki ada periode atau waktu khusus yang ditetapkan oleh adat untuk memancing ikan di sungai. Mereka juga sangat peduli terhadap regenerasi nelayan yang taat terhadap hukum adat tersebut, sehingga sungai yang menjadi tempat masyarakat mencari nafkah sangat terjaga hingga hari ini.

Contoh lain adalah tradisi Sasi Laut yang ada di Maluku (juga di Papua). Praktik adat ini merujuk pada upaya untuk mengatur tentang masa pemeliharaan dan panen hasil laut. Dengan merebaknya praktik overfishing hingga tindakan pengambilan sumber daya alam yang ada di laut secara tidak bertanggungjawab (bom ikan atau penggunawan bahan kimiawi berbahaya), semangat yang dibawa oleh tradisi Sasi Laut menjadi semacam kontra-narasi untuk tetap menjaga kekayaan laut serta kelestariannya.

Itu adalah beberapa contoh. Sejatinya, masih banyak contoh lain yang bisa dipaparkan untuk menjelaskan betapa masyarakat adat serta kepercayaan yang tumbuh di dalamnya sangat relevan dengan kelestarian lingkungan kita. Tetapi alih-alih dimanfaatkan sebagai representasi dari environmentalisme religius apalagi dipromosikan bahwa leluhur kita sejak dahulu sudah sangat peduli dengan nasib alam, nyatanya masyarakat adat kini harus menemui berbagai tantangan dari berbagai pihak. Nahasnya, salah satu tantangan itu datang dari pemerintah.

Urgensi Regulasi dan Advokasi

Kajian tentang regulasi terhadap agama atau kepercayaan sejatinya memiliki bidang tersendiri dalam studi agama-agama, yaitu kebijakan negara terhadap agama. Tetapi dalam tulisan ini, hal tersebut mesti disinggung untuk memperlihatkan tantangan yang dihadapi oleh para Penghayat Kepercayaan atau masyarakat adat (dalam lanskap yang lebih luas) sehingga menghalangi kepercayaan lokal untuk menjadi wadah diseminasi environmentalisme religius.

Dari beberapa hasil penelusuran di berbagai literatur, dapat saya katakan bahwa pemerintah saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada Penghayat Kepercayaan atau masyarakat adat, sehingga dengan itu pemerintah juga tak serius dalam menanggapi isu-isu lingkungan. Apa yang dialami oleh Suku Samin di Kendeng, Suku Awyu di Papua, masyarakat adat Redu di Desa Desa Rendubutowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, atau kasus di berbagai daerah lainnya yang menunjukkan konfrontasi antara Penghayat Kepercayaan atau masyarakat adat dengan proyek besar pemerintah serta kepentingan berbagai perusahaan, menguatkan keyakinan bahwa pemerintah abai dengan potensi yang dimiliki masyarakat adat sebagai garda terdepan penjaga alam di Indonesia.

Padahal, jika pihak pemerintah memang serius dalam menanggapi isu-isu lingkungan, mereka juga harus memperhatikan (meskipun kecil) setiap potensi yang bisa dijadikan kekuatan untuk sama-sama menjaga kelestarian alam kita. Dengan pola pikir demikian, maka seyogyanya segenap Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat harus mendapat dukungan, utamanya dari pemerintah, berupa regulasi yang pro terhadap eksistensi dan hak-hak mereka.

Nampaknya, kehadiran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Kependudukan) yang sedikit menjadi angin segar bagi para Penghayat Kepercayaan karena eksistensi mereka seolah diakui, nyatanya tak otomatis membuat keberadaan mereka bebas dari ancaman. Minimnya regulasi yang mampu menaungi eksistensi dan segenap hak-hak Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat inilah yang membuat mereka membutuhkan tindakan advokasi.

Sebuah laporan dari praktik advokasi yang diterbitkan oleh CRCS UGM berjudul, “Merangkul Penghayat Kepercayaan Melalui Advokasi Inklusi Sosial: Belajar dari Pengalaman Pendampingan” menunjukkan bahwa pendampingan melalui jalan advokasi jelas dibutuhkan sebab kenyataan memperlihatkan kepada kita bahwa regulasi terhadap para Penghayat Kepercayaan serta masyarakat adat masih sangat lemah (jika tidak mau dikatakan nihil).

Maka dalam konteks hari ini, keseriusan dan komitmen pemerintah (yang kini dinahkodai oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka) terhadap kelestarian lingkungan di Indonesia dapat diuji dari bagaimana mereka membentuk regulasi terhadap para Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat. Di tengah kenyataan organisasi masyarakat berbasis keagamaan mainstream kita yang saat ini tengah gencar mengurus pertambangan sebagai bentuk implementasi gagasan pemerintah, maka tindakan Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat seharusnya bisa menjadi alarm bagi kita semua untuk segera bangun dari ketidakpedulian terhadap nasib Bumi.

Perlu diingat bahwa gerakan peduli lingkungan tak hanya soal transisi energi yang menjadi proyek nasional pemerintah itu, tetapi juga soal bagaimana kita menjaga kelestarian hutan, sungai, laut, hewan, serta seluruh rangkaian ekosistem mahkluk hidup yang tak hanya manusia. Dan para Penghayat Kepercayaan serta masyarakat adat sudah mempraktikkannya sejak lama. Tak salah kiranya jika saya menganggap bahwa kepercayaan lokal adalah wadah ideal bagi tumbuh-kembang environmentalisme religius di Indonesia. Maka, jangan hancurkan eksistensi dan hak-hak mereka.

Sekian.