Agaknya nasib narasi Khilafah tidak berkorelasi dengan organisasi yang paling getol meresonansinya, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebagai organisasi yang telah lama malang melintang di Indonesia, HTI boleh saja tidak diperpanjang izinnya namun narasi khilafah masih beredar dan bertransformasi di masyarakat.
Di ranah media sosial minimal kita akan cukup kesulitan menemukan konten yang bermuatan langsung soal penegakkan Khilafah. Mungkin disebabkan adanya intervensi dari Pemerintah. Biarpun begitu, narasi khilafah sebenarnya terselip di berbagai narasi keislaman. Khususnya yang berkaitan dengan dinamika politik di Indonesia.
Masih segar ingatan kita akan sosok Ali Baharsyah yang baru saja ditangkap oleh kepolisian karena dianggap menghina pemerintahan. Jika kita mengikuti linimasa Ali Baharsyah sebagai influencer narasi Khilafah di media sosial, maka kita akan banyak mendapati beberapa influencer lainnya yang jumlah followersnya masih di bawah Ali.
Selain itu, kita juga akan mendapatkan relasi antar beberapa tokoh yang selama ini juga akrab dengan narasi yang sama, seperti Nasruddin Joha atau Ismail Yusanto dan lain-lain. Mereka semua merupakan juru kampanye khilafah tingkat nasional.
Adapun kegiatan eksponen HTI di daerah-daerah tetap bergerak dengan strategi bisa dibilang unik lagi. Tidak saja aktif membuka majelis taklim dan pengajian biasa di masyarakat, mereka juga cukup sering mengadakan parade-parade yang massif di seluruh daerah tanpa harus membawa embel-embel HTI.
Dengan kata lain mereka mulai bisa berkontestasi dengan para ulama atau ustadz lokal yang lebih berhaluan tradisionalis. Perlawanan mereka tidak terlalu frontal atau jika memakai istilah Orde Baru adalah “Kudeta Merangkak”.
Pendekatan persuasif dengan beberapa marbot atau pengurus masjid dan mengadakan acara bernada keislaman di masjid-masjid adalah rutinitas para eksponen HTI di daerah. Nada Islam yang kental dan glorifikasi masa lalu “kejayaan” Islam merupakan resep ampuh untuk memperbesar pengaruh mereka di akar rumput.
Beberapa kali dalam setahun mereka juga melaksanakan pertemuan secara rutin. Bahkan mereka memiliki brand tersendiri “Multaqo Ulama Aswaja”. Kegiatan tersebut tidak saja melibatkan aktivis HTI selama ini, namun juga mampu mengajak beberapa ulama lokal yang simpati pada gerakan mereka.
Dalam konteks ini, diskursus khilafah sebenarnya bisa dibilang “lenyap”. Sebab, mereka menggunakan strategi atau resep yang saya sebut di atas, terutama glorifikasi sejarah kejayaan Islam yang dibalut dengan dinamika geo-politik dunia dan nasional paling update.
Walau mereka bisa dibilang kurang vokal di media sosial, mereka cukup aktif di aplikasi berbagi pesan seperti Whatsapp. Grup-grup pengurus masjid atau wilayah tempat tinggal mereka aktif sekali mengirimkan pesan-pesan advokasi “Kembali ke syariat Islam” yang sehaluan dengan penegakan Khilafah. Adapun dengan diskursus khilafah di media sosial. Kita bisa melihat sosok Ali Baharsyah dan Nasruddin Joha. Mereka adalah aktivis paling vokal dari sekian banyak influencer HTI di media sosial, terutama Instagram dan Facebook.
Dalam pengamatan saya, ada dua kelompok besar influencer HTI yang memiliki perbedaan pasar followers di media sosial. Pertama, kelompok Ali Baharsyah dan kawan-kawannya. Mereka ini bergerak cukup ideologis dan sangat aktif menyerang kebijakan pemerintah Indonesia.
Selain itu, mereka juga sangat aktif mengelorakan kembali ke syariat Islam. “Syariat Islam sebagai solusi” adalah brand yang mereka usung. Walau sejak penangkapan Ali Baharsyah dan Nasruddin Joha, kelompok ini tidak begitu aktif di media sosial.
Pergerakan mereka selama ini di kalangan mahasiswa juga bisa dibilang cukup aktif. Organisasi “Gema Pembebasan” adalah kelompok mahasiswa yang seringkali juga turut meresonansi atau mengeshare ulang pemikiran atau kritik dari Ali atau Joha. Buletin Dakwah “Kaffah” beredar lewat jaringan organisasi ini, yang kemudian versi pesan Whatsappnya disebar luas oleh mereka yang aktif di masyarakat.
Adapun kelompok lainnya adalah geng Felix Siauw cs. Secara organisasi mereka memang mungkin tidak ada kaitan dengan narasi khilafah, yang digaungkan oleh Ali Baharsyah dkk. Namun sudah bukan rahasia lagi bahwa Felix dulu adalah eksponen HTI yang paling gigih.
Namun titik berkelindannya kedua kelompok tersebut adalah narasi “Islam sebagai solusi”. Kelompok Felix Siauw memiliki model dakwah yang berbeda. Islam tetap dikemas sebagai satu-satunya solusi seluruh permasalahan manusia, namun dibalut dengan gaya dan selera pasar kelas menengah dan milenial.
Kemudian sesuatu yang tidak mengherankan jika followers Felix jauh di atas dari Ali dan Joha, bahkan Ismail Yusanto sekalipun. Glorifikasi Islam ala Felix diperbesar porsinya untuk penataan moral dan gaya hidup yang dianggap sebagai “Islam yang benar”.
Akhirnya, dinamika dari kedua kelompok inilah narasi Khilafah di media sosial turut bertransformasi, selain dari pengaruh intervensi pemerintah. Jika ada kelompok yang masih merundung dengan guyonan “Dikit-dikit Khilafah solusinya”, maka bisa dibilang sarkasme tersebut telah basi.
Dinamika khilafah yang bergeser ke “Islam adalah solusi” atau “Syariat Islam adalah solusi”, berefek pada wacana tandingannya. Sebab, narasi “Islam” yang kelompok eksponen HTI ini harus dihadapi dengan hati-hati sebab bisa beririsan dengan ajaran agama, yang bisa menyulut emosi umat.