Di dalam masyarakat suku yang sangat mengagungkan sukunya sebagaimana masyarakat Arab abad ke-6/7 Masehi, apa yang bisa dibayangkan akan terjadi pada seorang berkulit hitam yang lahir dari rakyat jelata? Tidak ada tempat bagi orang berkulit hitam yang hidup dalam masyarakat rasis kecuali sebagai budak. Bahkan di zaman modern seperti ini pun, manusia berkulit hitam masih sering dianggap dan diperlakukan seperti monyet.
Maka, bayangkan bagaimana nasib orang berkulit hitam yang hidup di tengah-tengah masyarakat rasis pada pertengahan milenium pertama.Dalam konteks seperti inilah kita harus melihat ajaran Islam dalam menyikapi isu rasialisme.
Ketika Nabi Muhammad mulai membangun masyarakat baru di Arab pada abad ke-7 Masehi, dia tidak hanya mengajarkan ketauhidan untuk mengesakan Allah, tapi dia mewujudkan semangat tauhid dalam kehidupan nyata. Ketauhidan bukan hanya mengesakan Allah, tapi juga melenyapkan seluruh modus penghambaan kepada selain-Nya.
Menghilangkan seluruh modus penghambaan kepada selain Allah berarti menghancurkan struktur sosial yang di atasnya berbagai praktik penghambaan kepada sesama manusia terjadi. Penghilaan praktek penghamabaan kepada sesama manusia berarti meletakkan seluruh manusia dalam posisi yang setara.
Inilah spirit yang dibawa Rasul Muhammad ketika dia membebaskan Bilal bin Rabah dari tangan kejam Umayya, salah seorang bangsawan Quraisy yang kaya dan terpandang saat itu. Saat Rasul Muhammad mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan Quraisy Arab, dia mengambil langkah berisiko saat dia justru mengajak si budak hitam itu masuk ke dalam kelompoknya.
Ketika Bilal akhirnya masuk ke dalam komunitas Muslim yang baru tumbuh itu, dan karenanya mendapatkan siksaan yang memedihkan dari tuannya yang seorang bangsawan berpengaruh itu, Abu Bakar, sahabat sang Nabi, datang menolongnya dan membebaskannya. Sejak itu, bilal mendapatkan posisi istimewa di sisih Rasul Muhammad, yaitu sebagai pelantun azan untuk memanggil umat Islam shalat berjama’ah.
Apa keuntungannya bagi Nabi Muhammad mengajak Bilal ke dalam kelompoknya? Apa keuntungannya bagi komunitas Islam yang baru tumbuh itu mengajak seorang budak hitam yang dinistakan orang-orang bangsawan berpengaruh. Tidak ada keuntungan apapun. Mestinya yang didekati adalah orang-orang terpandang, agar komunitas Islam awal ini mendapat perlindungan dan mudah memengaruhi orang lain.
Tapi Islam bukan semata-mata urusan jumlah anggota, bukan pula prestise sosial, apalagi jika itu dilakukan sambil menista nilai-nilai kemanusiaan. Jika itu yang dilakukan, maka doktrin tauhid sejak awal telah terkhianati. Jika memang tidak boleh ada sesembahan selain Allah, maka tidak boleh pula ada manusia yang bertindak seperti Tuhan terhadap manusia lainnya.
Islam jelas menyatakan bahwa semulia-mulianya manusia adalah mereka yang bertaqwa. Warna kulit dan rambut sama sekali bukan ukuran kemuliaan. Mengapa? Karena warna kulit dan rambut adalah bawaan lahir yang kita tinggal menerimanya begitu saja. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu saja kita dapatkan dari Allah sejak lahir menjadi ukuran kemuliaan.
Begitu juga dengan jenis kelamin. Orang tidak bisa memilih untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin adalah bawaan lahir yang begitu saja harus kita terima. Lalu mengapa ada manusia yang meletakkan jenis kelamin sebagai ukuran kemuliaan. Mengapa seseorang hanya karena terlahir laki-laki dianggap lebih mulia dari orang yang terlahir sebagai perempuan. Sebagaimana warna kulit, jenis kelamin hadir dalam diri kita bukan sebagai buah dari usaha, karenanya ia tidak layak untuk dinista dan menjadi ukuran kemuliaan atau kerendahan seseorang.
Jika ada orang yang merasa bahwa ras tertentu lebih mulia dari ras yang lain, maka orang seperti ini sebetulnya telah menyimpan dalam dirinya kemungkinan untuk membuat penilaian dalam hal jenis kelamin. Nyaris tidak mungkin bagi orang yang tidak bisa menghargai perempuan bisa terlepas dari bibit-bit rasisme di dalam dirinya. Mengapa? Karena basis nilai yang mengeram di dalam kepalanya adalah sama: bahwa manusia bisa dinilai rendah atau mulai semata-mata semata-mata dari sesuatu yang melekat dalam dirinya sejak lahir, bisa warna kulit atau jenis kelamin.[]