Semuanya berawal ketika Da, salah satu Anakku di kelas 6 melemparkan kertas yang berisikan ‘umpatan’ kepada Anakku yang lain, Di. Dalam kertas itu ia menuliskan nama Di disandingkan dengan kata-kata seperti kont*l. kond*m, f*ck.
Tak ada fasilitator yang tahu sampai secara tak sengaja saya memungut sampah kertas di depan meja dan iseng membaca isi pesannya. Niatan awalnya hanya untuk belajar kebersihan, berlanjut pada kegiatan ‘memproses’ pengetahuan anak tentang seks.
Berhubung jam terbang saya dalam memfasilitasi anak-anak yang memasuki usia pubertas masih belum begitu tinggi, saya meminta tolong Bu Erwin untuk ‘memprosesnya’.
Bu Erwin, rekan saya sesama fasilitator kelas 6, ketika ia saya sodori bukti itu, Ia menyuruh beberapa anak untuk menyambung lagi kertas yang sudah robek itu menjadi kertas yang utuh dan bisa dibaca. Waktu yang seharusnya sudah digunakan untuk pulang, terpaksa harus kami pakai untuk memasuki pemahaman anak tentang reproduksi.
Pertanyaan pertama yang muncul dari Bu Erwin kepada Da adalah, “Apa yang kamu ketahui tentang kondom?” Da menjawab dengan menggelengkan kepada, ia tampak takut.
Kemudian Bu Erwin beralih ke warga kelas yang lain ”kalau teman-teman yang lain tahunya apa?”
Semua anak tertawa cekikikan, isyarat bahwa sebenarnya mereka telah mengetahui jawaban dari ‘apa dan bagaimana’. Satu anak menjawab dengan asal “Fiesta Bu”.
Bu Erwin sedikit terperanjat, “ini anak kok sampai tahu mereknya” batinnya.
Kemudian Bu Erwin beralih lagi ke meja Da, mengajak Da berdialog lebih dalam dan terbuka. Ia masih mengulangi pertanyaan yang sama.
“Da, apa yang kamu ketahu tentang kondom?”
“Nggak tahu Bu” Da masih mencoba mengelak.
“Masa kamu nggak tahu apa yang kamu tuliskan” jawab bu Erwin. “Nggak papa kamu tahu, kalian sudah menginjak masa pubertas. Secara alamiah akan mengetahui hal semacam ini” lanjut Bu Erwin.
“Balon Bu” jawab Da malu-malu.
“Kalo Lo?” tunjuk Bu Erwin pada anak lelaki disamping Da.
“Itu lho bu, balon yang dipasang di sini (sambil menunjuk alat kelaminnya), supaya kalo ‘gitu’ (sambil mengenggam jari telunjuknya dengan tangan kiri) cairannya bisa tertahan di balon dan yang perempuan tidak hamil” jawab Lo dengan jujur.
Tidak ada raut kemarahan atau kaget di wajah rekan saya ini, ia dengan tetap tenang menimpali jawaban Lo.
“Ini memang sudah waktunya kalian untuk tahu hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan reproduksi. Seiring pertumbuhan, kalian akan mulai penasaran dengan lain jenis. Hasrat juga akan mulai muncul. Ibu cuma mau pesan, kalo kalian penasaran, tanyalah pada orang yang lebih dewasa. Kalau kalian malu pada orang tua, tanyalah pada kami, para fasilitator.
Jangan bertanya ke internet, karena internet tidak mempunya filter informasi berdasarkan umur atau kondisi kalian. Jaga tubuh kalian, jangan sampai itu ‘dipegang’ oleh sembarang orang,” Nasihat Bu Erwin kepada seluruh warga kelas.
Anak-anak terdiam, menundukkan kepala.
Bu Erwin melanjutkan dialognya dengan Da, “Terus apa yang akan dilakukan oleh Da?”
“Meminta maaf pada Di.
‘Itu saja? Ada lagi?”
“Membuang kertas itu dan tidak akan mengulanginya”
“Kalo mengulangi, apa konsekuensinya?”
“Menulis kata itu sampai penuh di buku dan ditanda tangani oleh orang tua ya” tawar Bu Erwin dan diiyakan oleh seluruh satu kelas.
Sesi selesai, dan anak-anak mulai makan siang. Menghadapi masalah remaja sepertinya itu, saya merasa belum dapat berkontribusi apa-apa. Yang baru bisa saya lakukan hanyalah mengamati anak-anak dengan seksama.
Saya membayangkan, ketika saya seumur mereka, apa saja yang sudah saya alami dan bagaimana saya mencoba mengatasinya. Saat itu saya hanya bisa memendam karena malu, tidak tahu harus cerita kepada siapa karena hal itu dianggap tabu.
Anak-anak ini tumbuh dalam zaman yang berbeda dengan saya, saya tak pernah mengerti bagaimana dunia memanipulasi mereka. Kepada mereka informasi mengalir begitu deras, hampir tidak ada filter karena di zaman digital semua bisa direkayasa.
Saya selalu ketakutan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi kepada mereka. Saya dihantui ingatan kepada beberapa teman masa kecil saya yang harus menikah sangat sangat muda –dan belum matang persiapannya- karena ketidaktahuan, ketidakmengertian dan ketidakmampuan mengakses pengetahuan tentang reproduksi semacam ini.
Saya tidak ingin hal apa yang menimpa beberapa teman masa kecil saya juga menimpa mereka. Semoga tidak, saya berharap –dan yakin ini akan terwujud- mereka akan menjadi diri mereka yang merdeka, lepas dari cengkraman nalar pendek yang hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Semoga.