Beberapa kali kita diberi contoh dari kisah-kisah para nabi dan orang-orang suci masa lalu tentang perbuatan sepele yang ganjarannya tidak sepele. Ada kisah tentang kemuliaan menyingkirkan duri dari jalan yang ternyata itu adalah bagian dari ketakwaan. Memberi minum anjing yang haus ternyata jalan menuju surga, sampai memberikan senyum adalah sedekah.
Ternyata Islam ndak selalu menakar kesuksesan beribadah dari persoalan-persoalan ibadah yang lang-gumilang saja, yang megah saja, yang gede magrong-magrong saja. Perbuatan baik dan terlihat sepele seringkali dinilai secara tidak sepele oleh Tuhan.
Tentu ini jadi pertanda bahwa kita jadi khalifah ndak harus jadi ketua parpol dulu untuk bisa berbuat baik. Ndak harus masuk majalah forbes dulu untuk beramal, dan ndak perlu jadi Elon Musk dulu untuk membuat perubahan. Kita yang cuma bisa ngelike postingan orang, bisa jadi itu jadi wahana kita beribadah, karena hal itu membuat orang lain bahagia. Bisa jadi.
Ada sebuah hadits tentang perbuatan yang terlihat sepele tapi ternyata Allah menaruh keseriusan apabila kita menyepelekannya. Haditsnya sebagai berikut:
Dikisahkan oleh Abdullah bin Habashi: Nabi Muhamamd SAW bersabda, “Barangsiapa menebang pohon bidara (Ziziphus Jujuba) maka Allah akan membawanya langsung ke Neraka.” Abu Dawud ditanya tentang makna hadits ini. Dia berkata, ini adalah hadits singkat dari versi lengkap, yakni” Barangsiapa memotong secara sia-sia, tidak adil, dan tanpa hak, sebatang pohon bidara yang menjadi tempat naungan para musafir dan binatang, maka Allah akan membawa kepalanya ke neraka dengan cepat.” (Sunan Abi Dawud 5239, Buku 43, Hadits ke 467).
Ternyata urusan menebang pohon bisa sampai membawa seseorang menghadapi siksa neraka.
Sekali lagi bahwa Tuhan tidak menganggap sepele perbuatan yang oleh kita mungkin sangat sepele, remeh, dan bercanda.
Sebenarnya sudah masyhur juga perihal informasi tentang Allah akan tetap tahu dan mempertimbangkan kebaikan dan keburukan orang meskipun hanya sebesar biji sawi atau zarah itu.
*
Hadits di atas disampaikan dengan redaksi yang tegas, bahwa Allah akan membawa ke neraka para pemotong pohon yang melakukan aksinya tanpa pertinbangan. Bahwa hanya urusan menebang bidara tentu bisa kita sebut sepele, tapi kalau dilakukan tanpa pertimbangan, ganjarannya adalah neraka.
Hal ini bisa kita ekstrapolasi pada konteks-konteks kehidupan kita saat ini. Misalnya saat kita ingin membangun gedung tapi tanpa proses perencanaan, kita tidak memikirkan limbah rumah tangga yang dihasilkan akan dibuang ke mana, tidak pula mempertingkan ekosistem tanah yang harus mati tertimpa beton, tidak mempertimbanhkan limbah rumah kaca dari konsumsi energinya, tentu hal ini akan senada dengan menebang pohon tanpa pertimbangan yang disebut dalam hadits di atas.
Ekstrapolasi lain di kehidupan modern kita di Indonesia. Bahwa memotong satu pohon bidara tampa pertinbangan saja ganjarannya dibawa ke neraka, apalagi menebang pohon berhektar-hektar dengan alasan pembangunan. Apalagi ditambah dengan berbohong seolah-olah yang terjadi adalah kebakaran hutan karena musim kemarau lalu dengan enjoy melakukan deforestasi.
Padahal hutan itu jelas sebagai naungan tinggal hewan. Berkali-kali kita lihat ada gajah masuk desa, kera tiba-tiba datang bergelantungan di atap rumah warga, buaya mencaplok manusia. Semua itu secara ekologis ya karena mereka tersingkir dari habitat aslinya. Hutan sebagai tempat tinggal mereka sudah diratakan atas alasan kemajuan dan pembangunan. Yang muara aksinya adalah menanam beton atau membuat hutan monokultur sebagai sumber rejeki segelintir orang.
Jadi sangat mungkin pasalnya berlapis kali ya, tidak hanya tidak diridhai Allah karena memotong pohon tanpa pertimbangan, tetapi dosa berbohong, merampas tempat hidup makhluk lain, dan mengistiqomahkan dosa yang dilakukan menahun. Naudzubillah.
*
Redaksi neraka dalam teks agama saat ini saya terjemahkan bukan hanya sebagai kata tempat. Buat saya neraka bukan hanya tempat yang penuh dengan kepedihan. Tetapi lebih dari itu neraka adalah simbol ketidakridhoan Allah. Sementara surga adalah simbol keridhaan Allah.
Lalu mau cari apa di dunia ini kalau Allah gak ridha?
Kita bisa membayangkan sebuah hubungan tanpa keridhaan. Kok jangankan dengan Tuhan, dengan teman saja rasanya sangat tidak menguntungkan.
Sebut saja misal kita melakukan suatu perkara yang membuat teman kita bersedih, tidak ikhlas, dan tidak ridha. Misalnya kita membuka tas teman dan membaca isi buku yang ada di dalamnya tanpa izin.
Perkaranya mungkin sepele, hanya membuka tas dan membaca isi buku yang ada di dalamnya. Tapi misalnya yang terjadi adalah di dalam tas itu ada hasil diagnosa dari psikolog dan catatan metode treatment untuk mengembalikan mental health.
Teman kita itu sedang berusaha hiling, sedang berusaha sembuh dengan sendirinya. Dan ia tidak nyaman prosesnya diketahui orang.
Bukankah kejadian seperti ini malah bisa membuat teman kita yang berusaha sembuh menjadi semakin tidak nyaman?
Dia marah, sebal, dan benci pada kita. Itu kan bentuk ketidakridhoan teman pada kita. Apakah dengan kita berbuat salah seperti itu akan tetap membuat dia tersenyum dan nyaman saat bertemu kita? Ya bagus kalau masih ketemu, kalau ternyata dia sudah ngeblok semua akun sosmed kita dan dia sudah tidak mau bertemu kita karena dia malu, tentu sangat menyedihkan bukan kejadian ini?
Bayangkan kalau itu Allah. Allah tidak ridho pada kita, ia enggan bertemu dengan kita. Kita masuk surga pun, tanpa bertemu Allah, apakah surga akan terasa nikmat?
Jawabannya tentu tidak. Surga akan hambar dan kita merasa percuma.
Jadi keridhaan itu penting sekali. Dan sekali lagi menebang pohon tanpa pertimbangan adalah salah satu yang membuat Tuhan tidak ridha. Jadi tetap lebih baik menanam dari pada menebang.
Tidak perlu lah kita muluk-muluk. Biar Steve Jobs, Bill Gates, dan Elon Musk saja yang muluk-muluk memikirkan rencana besar. Kita yang remah-remah di dunia ini mah yang sepele-sepele saja menjalankan peran kekhalifahan, yagak?