Mendengar kata “Luhut”, storage orang umumnya akan berlabuh pada imajinasi tentang sosok yang serba bisa. Istilah bekennya adalah multi-tasking. Medio Maret 2020, misalnya, kata kunci “Luhut” sempat ramai digunjingkan orang di media sosial. Di Google Trends, aneka meme untuk Luhut mulai marak diperbincangkan sejak 29 Maret 2020. Ini bertepatan ketika Luhut membatalkan kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Sejurus kemudian, parodi tentang Luhut mewarnai lini masa media sosial. Ada yang membuat meme dengan plesetan lirik lagu setamsil “Kepala, pundak, Luhut lagi, Luhut lagi.” Ada juga yang berinisiatif menyusun tugas akhir bertajuk “Hak Istimewa Luhut Binsar Pandjaitan di Setiap Kebijakan Negara dalam Perspektif Hukum Tata Negara”. Lebih dari itu, Luhut mendapat julukan baru di beragam meme, mulai dari Lord Luhut, Hokage, Danzo, King Luhut, dan The Real RI-1. Semua yang terlihat puja-puji itu sudah tentu bukan merujuk pada makna sebenarnya.
Walakin, anggapan sementara orang terhadap Luhut ternyata tidak berhenti di level warganet. Bejibun julukan yang sudah ada itu malah dipertegas (dengan asosiasi makna yang berbeda tentu saja) oleh pemerintah lewat Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, yang melekatkan adjektiva “panglima perang” untuk Luhut.
“Beliau ini semacam panglima perang melawan COVID-19 di Pulau Jawa dan Bali. Beliau juga kan sebenarnya memiliki pangkat jenderal juga kan ya, jenderal purnawirawan. Jadi (dia adalah sosok yang) pas menjadi panglima perang melawan COVID-19 di Pulau Jawa dan Bali,” kata Fadjroel dalam perbincangan di akun Instagram-nya, Jumat (2/7/2021).
Seperti diketahui, Presiden Jokowi belum lama ini menunjuk Luhut sebagai koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali. Keputusan ini diambil senapas dengan melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia dalam angka yang belum pernah sedahsyat sebelumnya.
“Jadi Presiden memerintahkan saya tiga hari yang lalu… dua hari lalu, untuk menyiapkan penanganan Jawa dengan Bali yang kita sebut akhirnya dengan implementasi PPKM darurat Jawa-Bali yang akan kita jelaskan secara cepat,” ujar Luhut saat membuka konferensi pers PPKM darurat di YouTube Setpres, Kamis (1/7/2021).
Adapun PPKM Darurat itu sendiri secara teknis memuat beberapa aturan yang intinya mencegah terjadinya kerumunan di ruang publik seperti pusat perbelanjaan, rumah ibadah, dan area perkantoran.
Dalam praktiknya, PPKM darurat ini ternyata menimbulkan efek sosial yang kompleks. Himbauan agar di rumah saja ternyata tak seindah halaman rumah seorang raja. Bagi beberapa kalangan masyarakat, PPKM darurat dinilai diskriminatif. Selain itu, PPKM darurat juga disalahmengertikan sebagai upaya anti-Islam, karena melarang aktivitas ke masjid.
Sebuah Mitos
Luhut bukanlah orang kemarin sore di jajaran elit Pemerintahan Republik Indonesia. Berlatar belakang militer, karir Luhut terlihat moncer sejak awal. “Belum ada operasi militer yang saya pernah gagal,” terang Luhut dalam gelar wicara bersama Karni Ilyas (9/10/2020).
Hal senada juga sempat dibeberkan Luhut sewaktu Deddy Corbuzier mengundangnya di podcast #CloseTheDoor (6/7/2021). Di sana, Luhut bercerita tentang pengalamannya menjadi Kapten Kopasus yang nyaris tewas saat melakukan operasi militer.
Untuk diketahui, Jenderal bintang empat ini memulai karir politik ketika Presiden B.J. Habibie mengangkatnya menjadi Duta Besar Republik Indonesia Untuk Republik Singapura pada awal era Reformasi tahun 1999. Kemudian, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Luhut ditarik dari Singapura sebelum masa baktinya berakhir. Gus Dur menunjuk Luhut sebagai Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia (2000–2001).
Pada 31 Desember 2014, Luhut dilantik menjadi Kepala Staf Kepresidenan Indonesia yang pertama oleh Presiden Joko Widodo. Pada 12 Agustus 2015, Luhut ditetapkan oleh Presiden menjadi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan sebelum dipindahkan lagi menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pada tanggal 27 Juli 2016, lalu beralih menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sejak 2019 hingga sekarang.
Sejumlah karir yang pernah Luhut jajaki di atas sudah tentu menjadi Curriculum Vitae (CV) yang bisa dibilang cukup gemilang. Karenanya, ketika Presiden Jokowi menunjuk Luhut sebagai Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali, jelas keputusan tersebut bukan tanpa alasan.
Lebih dari itu, bahasa politik yang diperagakan oleh Jokowi lewat teks berupa penunjukkan Luhut sebagai koordinator PPKM darurat ini sekaligus mendedahkan watak ideologisnya, yaitu masih dominannya hegemoni wacana militeristik dalam pemerintahan Indonesia. Ini lalu menciptakan apa yang oleh Roland Barthes disebut sebagai mitos: bahwa militer seolah-olah menjadi alternatif atas pelbagai persoalan nasional.
Fenomena ini sebetulnya tidak bisa disalahkan begitu saja, karena 32 tahun rezim militeristik Soeharto bukanlah durasi yang sebentar. Dan, tiga dekade itu kiranya menjadi waktu yang kelewat cukup untuk sekadar menghujamkan kesadaran kepada masyarakat tentang mitos militer yang maskulin, yang disiplin, yang patuh, yang satu komando, dan lain sebagainya.
Di semester awal periode kedua Pemerintahan Jokowi ini saja, umpamanya, masih terasa betapa kuatnya dominasi unsur militer di wilayah elit politik dan elit pemerintahan. Bahkan, Prabowo Subianto, bekas menantu Soeharto sekaligus Letnan Jenderal Purnawirawan yang menjadi rival sengit Jokowi di dua kali Pilpres (2014 & 2019) hari ini bertengger di kursi Kementerian Pertahanan Kabinet Indoneisa Maju.
Di titik ini, Luhut dalam rupa Game of Throne itu laksana Tyrion Lannister. Baik Luhut maupun Tyrion adalah sama-sama berasal dari institusi yang memiliki catatan kurang menggembirakan di mata publik. Meski begitu, keduanya tetap survive di jajaran elit dan di tengah gejolak politik yang tidak sederhana.