Andai Pemerintah Minta Maaf

Andai Pemerintah Minta Maaf

Dari penelusuran saya di Google, hanya Wapres Ma’ruf Amin yang dikabarkan sempat minta maaf mewakili pemerintah dan itupun terjadi di momentum Idulfitri 2020.

Andai Pemerintah Minta Maaf

Akhir-akhir ini malaikat Izrail sepertinya sedang riweuh. Kabar kematian ada di mana-mana. Tidak saja dari pelantang masjid, kabar kematian sekarang telah merangsek secara massif di tiap scrolling lini masa media sosial. Tidak perlu gugling, biang keroknya mudah ditebak, yaitu pandemi Covid-19 yang tak kunjung khatam. Kecuali kalo kamu adalah penganut teori konspirasu, mungkin bakal menyangkal. Ya, konspirasu. Saya tidak sedang salah ketik.

Rumah Sakit (RS) Sardjito di Yogyakarta dikabarkan kewalahan. Tapi RS Sardjito tidak sendirian. Nyaris semua RS di Indonesia mengalami overcapacity. Ini semua menunjukkan bahwa semua kita pada dasarnya bertanggungjawab terhadap krisis.

Tapi, sebagai rakyat, kita terkadang lupa kalau punya pembantu. Namanya adalah Government. Bahasa Indonesia mengartikan sebagai pemerintah. Dan, jangan dibalik. Itu jika demokrasi masih menjadi sistem yang kita imani.

Sayangnya, sejak awal pandemi (tertanggal 2 Maret 2020 ketika Presiden Jokowi mengungumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia) pembantu kita terlanjur kebingungan dan pada derajat tertentu justru tampak kedodoran dalam membaca situasi.

Di masa sebelumnya, pembantu rakyat Indonesia terlalu sibuk dengan proyek satu lustruman bernama Pemilu, Pilkada, Pilpres atau apalah itu. Kalaupun ada pencapaian yang extravaganza, itu semua tidak lepas dari tabungan citra untuk persiapan periode selanjutnya. Kalau tidak orang yang bersangkutan, sekurang-kurangnya adalah partai politik yang bersangkutan.

Lebih dari itu, pembantu kita tidak pernah menjumpai pandemi dengan tingkat akslerasi secepat dan semasif Covid-19. Maka, tidak heran jika yang terjadi adalah upaya untuk menciptakan mitos misoginis yang menyebut corona laiknya istri, atau malah menganggap enteng pandemi Covid-19 sebagai wacana alternatif, untuk tidak menyebut gagap.

Nahas, rakyat ternyata tidak tinggal diam. Kinerja pemerintah yang dianggap lamban, plus serangan panik yang manusiawi itu berdampak pada fenomena kekerasan lewat bahasa yang terjadi di banyak tempat dan kesempatan. Terpaksa, rakyat harus mengambil-alih peran pembantunya.

Di awal masa pandemi, kampung-kampung terlihat sibuk melakukan gerakan masif yang mereka sebut sebagai lockdown, seolah menutup-mata terhadap kinerja pemerintah yang telah bersusah payah menerbitkan aturan bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Barangkali, setrategi kebudayaan segenap rakyat itu terinspirasi oleh gerakan lockdown di banyak negara. Mereka menutup pintu-pintu masuk kampung dan hanya menyisakan jalan yang cukup berbelit. Ini dimaksudkan agar tidak semua orang bisa mengaksesnya, kecuali penduduk kampung setempat. Alasan keamanan dan keselamatan warga agar tidak terkena virus corona merupakan isu utamanya.

Dalam beberapa pekan, inisiatif warga yang “melampaui” pemerintah dirayakan dengan sukacita lewat media sosial. Setiap orang yang melihat umumnya akan tertarik, tersipu, dan lalu membagikan kepada orang lain karena dianggap menghibur, lucu, kreatif, sekaligus sinis.

Walhasil, foto banner yang viral di berbagai media sosial dan grup whatsapp tersebut kemudian ditiru oleh kampung-kampung lain di wilayah-wilayah yang berbeda. Tulisan tersebut seakan hanya merupakan sebuah tanda menggunakan bahasa untuk memproteksi diri warga, tetapi pemilihan bahasa di dalam tulisan tersebut sebetulnya memuat aspek kekerasan bahasa yang bersifat maskulin.

Ilustrasi: Banner Lockdown di Manisrenggo, Klaten

Ahmad Munjid (2020) dalam sebuah esai di tirto.id mensinyalir jika penggunaan bahasa kekerasan di masa pandemi itu berdampak pada tindakan-tindakan ekstrim, baik oleh pengurus, karang taruna, maupun orang-orang yang mendadak muncul sebagai “penjaga” kampung.

Tidak hanya itu, Satgas Covid-19 bahkan terdiri dari orang-orang yang dianggap berpengaruh. Muncul pahlawan-pahlawan baru di kampung-kampung dengan penonjolan pada sisi-sisi maskulinitas. Di sebuah kampung di wilayah Sleman Yogyakarta, misalnya, Satgas Covid-19 dibentuk dengan komposisi berikut: ketuanya adalah pensiunan perwira militer, lalu dibantu oleh Ketua RT yang merupakan penjaga sebuah asrama berbasis agama, dan seorang pengusaha yang mengklaim sebagai yang paling lama tingggal di kampung itu. Tujuannya adalah untuk melakukan pendisiplinan (Wening Udasmoro, 2021).

Pendisiplinan yang mereka lakukan antara lain adalah melakukan lockdown, mengunci pintu masuk kampung secara rapat di sisi-sisi yang berbeda, membuat kode kunci, melakukan pengawasan lewat CCTV yang telah mereka pasang di puluhan sudut dengan tujuan untuk mengecek siapa orang luar yang datang ke kampung, serta memancang bannerbanner sebagai peringatan bagi mereka yang akan masuk ke wilayah kampung. Tak lupa, pengawasan juga ditujukan kepada anak kos yang secara kuantitas sebetulnya lebih mendominasi penghuni di kampung tersebut.

Rupanya, kekerasan lewat bahasa itu memunculkan efek domino yang seolah menginspirasi adanya bentuk kekerasan lainnya, baik bersifat fisik maupun aksi. Apapun itu, yang namanya kekerasan pastilah melibatkan exercise of power yang dalam kasus ini berupa proses eksklusi terhadap pihak-pihak yang dianggap the others. Adapun the others adalah orang-orang yang positif corona, atau jenazah terindikasi Covid, atau ODP, atau PDP, atau OTG, atau apalah itu istilahnya.

Menyusul grafik kasus Covid-19 yang tak kunjung landai di awal 2020, umpamanya, sejumlah warga di beberapa daerah menolak jenazah orang yang terindikasi d/a positif corona. Di titik ini, ada satu mentalitas yang bertransformasi. Dalam konteks kebudayaan di Indonesia, jenazah biasanya diberi penghormatan yang tinggi. Mereka yang sebelumnya adalah bagian dari the sacred sehingga jenazah musti diperlakukan dengan penuh kehati-hatian dan penghormatan, mendadak berubah secara dramatis pada masa Covid-19.

Baca Juga, Mereka Yang Merayakan Penolakan Jenazah Korban Terduga Covid

Dari sini saja, kita seharusnya bisa menyadari bahwa semua kasus di atas menunjukkan lemahnya legitimasi moral pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Ironisnya, di tengah krisis kepercayaan rakyat, sayup-sayup terdengar korupsi dana Bansos oleh pembantunya pembantu. Bukan main, nilainya miliyaran boskuhh… Padahal, dengan duit segitu, kalau mau dibikin banner lockdown mungkin bisa menutupi Jawa-Bali sehingga tidak perlu bertaruh kebijakan PPKM mikro darurat jilid ntahlah.

Tapi apa?? Apakah pemerintah pernah meminta maaf?!

Saya mencoba melakukan penelusuran di Google dengan kata kunci “pemerintah minta maaf soal covid”. Hasilnya seragam dan the only one: hanya Wapres Ma’ruf Amin yang dikabarkan sempat minta maaf terkait penanganan Covid-19 dan itupun terjadi di momentum Idulfitri 2020. Selebihnya, permintaan maaf justru datang dari para relawan kemanusiaan. LaporCOVID yang menerima laporan pasien COVID-19 untuk bantuan mencari rujukan rumah sakit menyatakan sudah kewalahan.

“Mulai 1 Juli 2021 kanal LaporCOVID-19 tidak mampu menerima permintaan bantuan pencarian rumah sakit karena relawan kami sudah sangat kesulitan mencari fasilitas kesehatan. Sekali lagi mohon maaf, warga silakan langsung ke puskesmas, rumah sakit, Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan atau kantor pemerintahan lainnya,” kata Inisiator LaporCOVID-19 Irma Hidayana, seperti dikutip Tirto, (2/7/2021)

Tak hanya itu, jaringan masyarakat yang bergerak sebagai relawan kemanusiaan selama pandemi COVID-19 di DIY juga menyatakan kewalahan dengan terjadinya lonjakan kasus COVID-19. Sejumlah jaringan masyarakat sipil yang telah menyatakan sikapnya itu di antaranya adalah Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) DIY; Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC); perwakilan Nahdlatul Ulama; Jaringan Gusdurian, dan gerakan SONJO atau Sambatan Jogja.

Di saat yang sama, Gubernur D.I. Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X tengah menjadi sorotan publik. Sebelumnya, Sultan menyebut akan memberlakukan lockdown untuk wilayah Yogyakarta. Belakangan dia meralat pernyataan itu karena anggaran pemerintah dianggap tak akan kuat menopang pengganti pemasukan rakyat untuk belanja kebutuhan jika lockdown atau karantina wilayah diberlakukan.

Sebagai gantinya, Sultan meminta kepada semua dukuh atau kepala Rukun Kampung (RK), ketua Rukun Wilayah (RW), dan ketua Rukun Tetangga (RT) untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 untuk pengendalian penyebaran virus corona. Dana operasional Satgas tersebut bisa menggunakan dana swadaya masyarakat dengan semangat gotong royong dan jaga warga (dana jimpitan atau sumber lain yang sah).

Permintaan Sultan tersebut tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 443/13429 tentang Optimalisasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berbasis Mikro Tingkat Pedukuhan atau Rukun Kampung, Rukun Warga, dan Rukun Tetangga.

Yah, begitulah… Orang bijak berkata, tuan yang baik adalah tuan yang tidak merepotkan pembantunya. Jadi, sebagai rakyat yang baik, mari kita bantu pemerintah, baik daerah maupun pusat, untuk mengentaskan krisis yang ntah berapa purnama lagi khatamnya. Yok bisa yokk :))