Pada bulan Juli 2016, Santoso alias Abu Wardah, Imam Mujahidin Indonesia Timur (MIT), telah ditembak mati oleh prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas Operasi Tinombala yang dilaksanakan di Poso, Sulawesi Tengah. Setelah berhasil diidentifikasi oleh aparat terkait, jenazah Santoso dibawa turun gunung dan diserahkan kepada keluarga dan kerabat yang akan memakamkannya di Dusun Langanan, Kecamatan Poso Pesisir. Di dusun itu, keluarga dan kerabat menyambut Santoso sebagai syuhada yang telah mati syahid.
Khawatir bahwa kehadiran aparat akan memprovokasi keluarga dan kerabat, kepolisian memutuskan untuk tidak menugaskan petugas berseragam untuk menjaga keamanan prosesi pemakaman. Prosesi pemakaman seorang pemimpin resistensi yang dihadiri oleh simpatisannya sesungguhnya tidak hanya berpotensi menciptakan kerusuhan fisik seperti yang dikhawatirkan oleh kepolisian RI. Kematian, bagi organisasi teroris, adalah kemalangan yang dapat dikemas kembali menjadi narasi propaganda untuk memperluas pengaruhnya.
Kematian: Proses Natural dan Respon Sosial
Studi kematian dalam ilmu sosial telah berkembang dari sekedar kajian klinis atas akhir hidup manusia menjadi studi yang juga memperdalam respon sosial atas kematian. Secara individu dan klinis, kematian adalah fenomena terpisahnya jiwa dengan raga.
Namun secara sosial, kematian menyebabkan hilangnya seorang individu dari konteks sosialnya bersama dengan peran sosial yang selama ini ia jalankan. Kehilangan seorang kepala keluarga menuntut anggota keluarga lain (dalam hal ini ibu dan anak) untuk menggantikan peran yang selama ini dijalankan oleh sang ayah.
Tidak ubahnya dengan organisasi sosial lain yang lebih besar, sebagaimana organisasi teroris, kematian seorang pemimpin memang menimbulkan kerugian secara strategis dan menghambat kelanjutan “perjuangan”, namun selalu mengandung pesan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan ekspansi dan rekrutmen.
Narasi propaganda ini akan semakin meyakinkan jika pemimpin atau figur tertentu di dalam organisasi teroris mengalami kematian yang disebabkan oleh penggunaan kekerasan dalam skala yang lebih besar dari yang diperlukan.
Al-Qaeda di Afghanistan dan Pakistan, sebagai contoh, sering menggunakan strategi ini untuk meyakinkan penduduk desa dalam memberikan dukungan pada organisasi mereka. Mayoritas kasus kematian yang dikemas sebagai narasi rekrutmen adalah korban jiwa dari serangan pesawat tanpa awak (UAV) yang dikendalikan dari jauh oleh pasukan koalisi.
Pada konteks ini, tidak hanya kematian pemimpin atau figur organisasi teroris yang dapat dikemas sebagai narasi propaganda melainkan juga serangan-serangan salah sasaran yang menyebabkan kematian anak-anak.
Taktik propaganda yang mengeksploitasi kematian ini secara efektif terbukti mempersulit pasukan koalisi dalam menjustifikasi penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata. Di satu sisi, penggunaan pesawat tanpa awak dapat secara signifikan mengurangi risiko kematian prajurit infantri.
Di sisi lain, serangan dengan robot terbang tidak selamanya presisi dan setiap kesalahan dapat dieksploitasi untuk kepentingan lawan. Dengan kata lain, penggunaan pesawat tanpa awak justru memberikan legitimasi bagi organisasi teroris untuk melanggengkan eksistensinya.
Kasus Indonesia: Miskin Literasi, Lahan Subur Narasi
Kematian Santoso alias Abu Wardah yang dielu-elukan sebagai mati syahid belum terbukti dijadikan narasi propaganda oleh MIT (Mujahidin Indonesia Timur) dan organisasi lain yang terkait. Hal ini disebabkan oleh MIT yang telah mengalami kekalahan secara strategis dan secara signifikan mengalami penurunan efektifitas dalam strategi perlawanannya.
Organisasi inti yang telah tercerai-berai membuat MIT kesulitan dalam merekrut anggota baru meskipun mereka telah memegang narasi kematian Santoso sebagai salah satu bahan propaganda yang efektif. Dengan kata lain, propaganda seperti di atas hanya bisa dilakukan jika organisasi inti dari kelompok teroris tertentu masih solid dan dapat bergerak secara sistematis.
Indonesia yang tidak henti-hentinya menjadi sarang organisasi teroris berlabel agama masih rentan terhadap propaganda yang menggunakan kematian sebagai narasi. Panjimas, sebagai contoh, adalah sebuah media daring yang sering menggunakan kematian tokoh teroris tertentu untuk menciptakan simpati pembaca kepada organisasi radikal yang mengatasnamakan Islam dalam menjustifikasi tindakan kekerasan.
Masyarakat Indonesia yang cenderung cepat iba dan simpati sering terjebak pada narasi ini. Para korban dari narasi ini memang hampir tidak pernah mengalami perubahan drastis yang mendorong mereka untuk bergabung dengan organisasi ekstremis dan melakukan tindakan kekerasan. Namun, narasi semacam ini seringkali berhasil menumbuhkan simpati terhadap gerakan ekstrem yang sama sekali tak bersimpati pada kemanusiaan.
Gerak organisasi terorisme di Indonesia memang telah diawasi dengan seksama oleh aparat keamanan. Bagaimanapun, hal ini tidak serta merta menyelamatkan masyarakat dari cengkeraman “politik narasi” yang akan selalu digunakan oleh organisasi apapun. Sebagai contoh yang lebih sederhana namun tidak kalah berbahaya adalah narasi “kekalahan Islam”.
Narasi ini telah mengkerdilkan banyak umat Muslim dan menjadikan mereka paranoid berlebihan terhadap dunia sekitarnya. Narasi “kekalahan Islam” atau Islam under attack tidak hanya melanggengkan politik identitas dalam demokrasi elektoral tetapi juga telah memberikan legitimasi bagi tindakan intoleransi terhadap minoritas intra-agama maupun antar agama.
Tingkat literasi yang relatif rendah dan pandangan biner pada konteks kebangkitan konserfativme agama membuat Muslim Indonesia selalu rentan terhadap narasi seperti di atas. Meskipun sesungguhnya narasi tersebut diciptakan untuk kepentingan politik; faktor-faktor yang disebutkan di awal paragraf ini membuat Muslim Indonesia sering tidak bisa membedakan antara politik identitas dengan teologi. Politisi yang merasa bahwa sikap seperti demikian ini harus selalu dipelihara juga merupakan faktor yang melanggengkan kerentanan ini.
Wallahu A’lam