Kelamnya Putih dalam Sejarah

Kelamnya Putih dalam Sejarah

Sejarah rasisme & bagaimana kulit putih merasa paling superior dalam peradaban

Kelamnya Putih dalam Sejarah

Tahun 1980an, Vinzenz Brinkmann seorang Master di bidang seni dan arkeologi mencoba meneliti ‘benda’ di sekitar patung Yunani-Romawi kuno dengan cara memasang lampu secara miring dari berbagai sisi menyoroti permukaan patung. Setelah diteliti, ia justru menemukan polikromi (pahatan berwarna), pada patung putih langsat tersebut (2017). Patung Yunani-Romawi Kuno yang ternyata berwarna-warni merubah pandangannya.

Ia mengatakan, ‘Orang Barat telah terlibat dalam kebutaan kolektif’. Persoalannya patung tersebut berwarna putih bukan hanya karena pengaruh alam dan cuaca sehingga mengakibatkan kepudaran, namun karena pemutihan yang disengaja (whitewash).

Hal ini diketahui saat tahun 2000 seorang Arkeolog Mark Abe melakukan penggalian arkeologis di kota Yunani kuno Aphrodisias (sekarang Turki). Ia mencari jejak aktivitas seni masyarakat Yunani Kuno.

Abe terkejut karena sebagian besar patung-patung tersebut memiliki bintik-bintik warna seperti pigmen merah dibagian bibir dan pigmen hitam dibagian rambut. Anda yang terbiasa melihat patung Yunani-Romawi Kuno berwarna putih langsat akan kesulitan membayangkannya.

Ia berkesimpulan; selama berabad-abad para arkeolog dan kurator museum telah menggosok-gosok jejak warna ini sebelum menampilkannya ke publik (Talbot, 2018).

Brinkmann dan Abe berhasil mengungkap bagaimana pemutihan benda-benda bersejarah berkontribusi terhadap semangat supremasi kulit putih selama lebih dari 500 tahun. Pemutihan patung Yunani-Romawi Kuno dimulai ketika Renaissance (1300-1600 M). Para seniman era tersebut–karena kecintaannya pada Kebudayaan Yunani-Romawi kuno–mereplikasi patung-patung tersebut sesuai ‘asli’-nya padahal justru mereka sedang ‘memutihkannya’.

Pemutihan patung Yunani-Romawi Kuno diteruskan oleh orang-orang kulit putih pada periode berikutnya, seperti zaman Barok (1600-1750), Neoklasik (1770-1830) dan modern (1860-1970). Akhirnya nilai artistik putih menjadi norma seni yang mapan.

Bias kulit putih diteruskan oleh sejarawan seni, Johann Joachin Winchkelmann yang dijuluki ‘The Father of Art History’. Pada tahun 1764 ia menulis buku Geschichte der Kunst des Alterthums (Sejarah Seni di zaman Kuno) yang menunjukan subjektifitas dalam memandang warna putih. Misal, ia menyebut patung Apollo Belverede (120-140 SM) sebagai ‘lambang kecantikan’ alasannya ‘the whiter the body is, the more beautiful it is’. Semakin putih semakin cantik.

Padahal, reruntuhkan kota Pompei (450 SM) situs peradaban Yunani-Romawi kuno meninggalkan lukisan beraneka warna yang menunjukan rupa orang-orang Yunani-Romawi Kuno saat itu yang berkulit gelap dan berambut hitam. Sayangnya Winchkelmann menyebut peninggalan situs Pompei sebagai ‘seni yang terlalu primitif dibuat mereka’.

Tentu tidak ada bukti pemakaian banyak warna dalam seni menunjukan suatu masyarakat lebih primitif daripada pemakaian satu warna (putih). Namun sangat jelas melukis dengan aneka warna dan rupa yang nyaris realis bukanlah penanda ‘primitif’ suatu masyarakat. Penyebutan orang diluar kulit putih sebagai primitif merupakan bukti antropologis watak Barat (Said, 2010). Yakni suatu cara untuk menaturalisasi satu masyarakat sehingga masyarakat tersebut sejajar dengan alam yang layak dieksploitasi. Winchkelmann tidak sendiri. Ia merepresentasikan watak orang-orang kulit putih di zamannya.

WISATA ORANG KULIT PUTIH

Afrika adalah contoh bagaimana orang kulit putih menggunakan argumen ‘primitif’ untuk melancarkan dominasi mereka. Politik Apartheid (1948) di Afrika Selatan adalah pelajaran penting bagaimana orang kulit putih secara terang-terangan ingin membagi masyarakat berdasarkan ras. Bahkan toilet, bus dan semua pelayanan publik di Afrika Selatan saat itu dibagi sesuai ras. Plang tulisan white dan colour memenuhi hampir semua pelayanan fasilitas publik.

Praktik tersebut masih berlangsung dengan cara-cara yang kasat mata. Kini wilayah-wilayah Afrika telah merdeka dari jajahan Kulit putih. Namun masalah lingkungan, alam dan habitat hewan masih menjadi persoalan. Kemudian, dibuat program konservasi-konservasi perlindungan hewan rawan ‘punah’ yang menurut Kaddu Sebunya tidak lain hanyalah White thing atau White conservasionist (Guardians, 2017).

Ia mengeluh bahwa perlindungan dan kepedulian negara kulit putih dan lembaga internasional terhadap konservasi alam Afrika pada praktiknya mirip dengan zaman kolonial.

Pertama, Penduduk Asli diusir dari kawasan konservasi yang pemetaannya ditentukan oleh lembaga orang kulit putih. Kedua, muncul orang kulit putih yang dianggap exspert (ahli) dibidangnya dan mengatur banyak hal disana. Ketiga, muncul industri konservasi dimana dari hulu ke hilir dikerjakan oleh orang kulit putih. Kemudian orang kulit putih beramai-ramai menunjungi alam liar di Afrika dengan program wisata orang kulit putih, asuransi orang kulit putih, transportasi orang kulit putih, iklan, dan film dokumenter yang didominasi orang-orang kulit putih.

Selain wisata alam liar, terdapat wisata adrenalin orang kulit putih yang mengeksploitasi konflik di Afrika sebagai tontonan. Mereka umumnya orang kulit putih berprofesi jurnalis, peneliti, pelancong, aktivis lingkungan dan lainnya yang menganggap dirinya sebagai pejuang (warrior) karena berhasil mendokumentasikan dan melaporkan pada dunia kejadian-kejadian tragis di Afrika. Salah satu yang paling terkenal adalah foto anak perempuan di Sudan yang sedang didekati burung bangkai hasil jepretan Kevin Carter pada tahun 1993 yang memenangkan hadiah Pulitzer tahun 1994. Rumusnya tetap sama: pemenang pulitzer adalah orang kulit putih dan yang memberikan hadiah adalah orang kulit putih dan diapresiasi oleh orang kulit putih. Sedangkan anak kecil yang kelaparan tersebut dan Afrika hanya figura kisah saja.

Mudah ditebak akhirnya orang Afrika bernasib sama seperti zaman kolonial: dijadikan perbincangan, dianggap tidak tahu akan dirinya sendiri, di usir dari tanah kelahirannya, dianggap pemburu ilegal dan dipersalahkan karena merusak alam.

AMBISI KULIT PUTIH

Selain bagaimana orang kulit putih mendominasi, sikap orang-orang kulit berwarna terhadap mereka juga patut diperhatikan. Misal, di Indonesia obsesi untuk menjadi putih telah didominasi oleh industri alat kosmetik. Tidak jarang obsesi ini menjerumuskan kaum hawa pada cara-cara yang berbahaya seperti operasi plastik ilegal dan obat-obatan dari pasar gelap. Semua itu bukan hanya akibat sikap inferior terhadap penjajahan orang kulit putih, namun dipelihara oleh iklan kosmetik, layar lebar dan televisi. Menurut Rashid, 53% perempuan Indonesia menginginkan kulit putih karena iklan produk kosmetik (Seasite.niu). Selain itu artis ‘Indo’ yang merupakan campuran dengan kulit putih (kaukasian) lebih mendominasi wajah televisi Indonesia. Begitupun layar lebar.

Hal ini tidak mengejutkan karena Industri layar lebar dan televisi Indonesia mengacu pada dua industri perfilman global seperti Hollywood dan Bollywood. Keduanya sama-sama dikritik karena memiliki bias dominasi kulit putih. Saya pernah mengkaji soal stigma rasial dan dominasi kulit putih di Hollywood terhadap Wanita Asia pada tahun 2016. Selama 87 tahun piala Oscar, sudah diberikan 2.947 kali penghargaan Oscar terhadap para aktor Hollywood. Namun dalam lima tahun terakhir, hanya ada sembilan nominator Oscar aktor berkulit hitam.

Saat itu terjadi protest di Amerika Serikat dengan simbol tagar #OscarSoWhite. Dominasi kulit putih juga terjadi dalam pemilihan peran sebuah film. Sejak tahun 1931 sampai 2016 hampir keseluruhan peran seorang Asia dalam film Hollywood justru dimainkan oleh orang kulit putih (Haeri, 2016:134-5). Tidak jauh berbeda dengan kondisi rasisme di Bolywood yang menampilkan peran sukses dan cantik dengan kulit putih sedangkan kemiskinan dan kejelekan selalu diperankan dengan aktor kulit hitam/gelap (Theprint, 2020).

Dominasi kulit putih bukan kisah masa lalu atau persoalan yang sudah selesai. Dominasi kulit putih telah menciptakan Kolonialisme dan imperialisme dalam sejarah, ketercerabutan budaya dan ambisi yang keliru untuk menjadi putih bagi mereka yang berkulit berwarna, dan dominasi ini diperkuat oleh institusi-institusi yang memang memiliki tradisi memberikan keistimewaan kepada orang-orang kulit putih.

Inilah dunia yang sedang kita tinggali. Rasisme dan dominasi kulit putih bukan dongeng atau isapan jempol. Ia masih berlangsung dan sedang mengamankan keberadaannya di masa depan.

 

Sumber:

Bond, Sarah. 27 April 2017, Whitewashing Ancient Statues: Whiteness, Racism And Color In The Ancient World. Forbes.com

Brinkmann, Vinzenz dkk. 2017. Gods in Color: Polycromy in the Ancient World. Fine Art Museum of San Francisco

Haeri, Iman Zanatul. 2016. Wanita Asia dalam Imajinasi Digital: Kajian Literatur tentang Orientalisme. JKW LIPI 129-143

Margareth Talbot. 22 oktober 2018. The Myth of Whiteness in Classical Sculpture. The New Yorker.com

Rachel, John, 30 Mei 2020. Indians Who Support Kapil Mishra are Saying Blacklivesmatter let That Sink in. The Print.com

Sebunya, Kaddu. 31 Juli 2017. Saving the world’s wildlife is not just ‘a white person thing’. Guardians.com

Vox, 23 Desember 2019, https://www.youtube.com/watch?v=4jmMWohs1XM