Two Distant Strangers: Rasisme dan Satire yang Menolak Tunduk

Two Distant Strangers: Rasisme dan Satire yang Menolak Tunduk

Two Distant Strangers: Rasisme dan Satire yang Menolak Tunduk

Beruntung Two Distant Strangers (2021) masuk gelembung rekomendasi tontonan saya belakangan ini. Saya langsung “mengeksekusinya” tanpa pikir panjang. Setidaknya karena dua alasan: Pertama, film ini adalah film pendek 32 menit yang bisa ditonton sekali duduk. Kedua, Two Distant Strangers masuk nominasi Oscar tahun ini dan saya kira memang pantas mendapatkannya.

Film ini dibuka dengan sekuen apik yang menyorot riuhnya Kota New York dengan segala aktivitas di dalamnya. Lalu tibalah pada adegan seekor anjing yang mendapati mangkok makanannya kosong. Si anjing mencari-cari tuannya yang pergi entah ke mana.

Namanya Jeter. Anjing abu-abu yang sedang lapar itu adalah rekan satu apartemen Carter James. Seorang pemuda kulit hitam yang saban hari bekerja sebagai desainer grafis. Pendapatan James bisa dibilang lumayan dari hasil menggambar. Komiknya sedang banyak diminati pasar. Tapi siapa peduli dengan timbunan uang James? Jeter hanya butuh semangkuk dry food seperti biasanya.

Tapi hari itu James belum pulang. Dia baru terbangun di ranjang asing, bersama seorang gadis. James bangkit dan bergegas pulang karena teringat Jeter. Saat keluar dari apartemen si gadis, dia bertemu dengan polisi kulit putih yang mencegatnya. Si polisi menyanyainya soal rokok James yang dicurigainya sebagai ganja. Ditambah, James menjatuhkan segebok uang hasil menggambarnya. Si polisi tampak tak percaya kalau James adalah pemuda kelas menengah urban baik-baik yang sedang beruntung. Hanya karena kulitnya hitam, dia dicurigai tanpa bukti.

James menolak tasnya digeledah. Dia merasa polisi tak punya hak menggeledah properti pribadinya. James melawan. Tapi dia dilumpuhkan hingga tersungkur ke tanah. Si polisi mencengkeram leher dan tangannya. Dua polisi lain tiba-tiba datang membantu rekannya tersebut. James tak berdaya dan hanya bisa berkata lirih, “I can’t breathe. I can’t breathe. Get off me!

James mati. Dia kehabisan napas. Si polisi kebingungan. Dia tak mengira hari itu akan membunuh seorang sipil yang tak berdaya. Atau, barangkali, itu hanya kebingungan fiktif sebab si polisi seperti tak peduli kondisi orang yang dia cengkeram lehernya tanpa ampun. Tiada yang tahu.

Dan ya, adegan tersebut adalah satire atas kasus pembunuhan Geogre Floyd pada Mei 2020 lalu. Floyd dibunuh oleh polisi kulit putih dengan dugaan sinisme berdasarkan ras. Setelah kematiannya, gelombang protes menghantam Amerika Serikat. Kampanye #BlackLivesMatter kembali menggema di negeri Paman Sam, bahkan sampai internasional. Gerakan sosial berskala masif tersebut menyuarakan penolakan atas rasisme dan brutalitas polisi, khususnya terhadap warga kulit hitam.

Perlu diketahui, Travon Free menulis naskah Two Distant Strangers dua bulan setelah kematian Floyd.

Kembali pada film. Usut punya usut, James ternyata tidak mati. Dia tersadar lagi dan terbangun di ranjang yang sama, bersama perempuan yang sama, dan di waktu yang sama. Dia mengulangi hari itu sama persis: keluar apartemen si gadis, bertemu si polisi, berseteru, dan terbunuh. Setiap James mati, dia otomatis kembali terbangun dari tidur. Begitu terus berulang-ulang sampai percobaannya yang ke-100 kali.

Kita barangkali tidak asing dengan genre fiksi ilmiah semacam ini. Berbeda dengan time travel, film yang berputar-putar pada sebuah waktu seperti ini biasa disebut time loop. Time loop adalah perangkat alur cerita dalam karya fiksi yang membuat karakternya mengulang-ulang waktu yang sama dan biasanya mencoba untuk memutusnya. Kita bisa menjumpai time loop di film Amerika Serikat lain seperti Happy Death Day (2017) yang menegangkan atau di sinema Korea Selatan seperti A Day (2017) yang sangat emosional.

Two Distant Strangers sendiri adalah film time loop terbaik di antara film-film serupa lain yang pernah saya tonton. Film arahan Travon Free dan Martin Desmond Roe ini mempunyai daya dukung teknis yang luar biasa. Sinematografi dan departemen artistik yang ditampilan sejak awal film terasa sangat memanjakan mata. Belum lagi isu yang diangkat sangat relevan dan perlu diarusutamakan, terutama bagi penoton Amerika, dan lebih khusus lagi bagi polisi Amerika yang mempunyai masalah rasisme sejak lama.

Di sisi lain, dua hal yang membuat saya kagum pada film ini adalah ide dan semangat yang diusungnya. Two Distant Strangers merangkai setiap babaknya yang berlapis-lapis dengan cerita dan cara-cara kreatif. Di beberapa bagian saya dibuat kagum karena tawaran ide yang sering tak terpikirkan. Selain itu, dialog-dialognya terasa jujur dan apa adanya, seperti obrolan antarkawan di tempat tongkrongan.

Pada dasarnya, Two Distant Strangers membawa semangat untuk tidak menyerah dalam melawan rasisme. “Tak peduli berapa lama pun, atau berapa kali, bagaimanapun caranya aku akan pulang ke anjingku,” kata James.

Di satu sisi, ucapan James adalah satire atas rentannya keselamatan warga kulit hitam di Amerika Serikat akibat stigma dan rasisme. Namun di sisi lain, film ini sekaligus memposisikan warga kulit hitam sebagai orang-orang yang pantang menyerah melawan rasisme. Film ini disajikan bukan untuk membuat penontonnya berbondong-bondong mengasihani. Sebaliknya, Two Distant Strangers menolak tunduk sebagai pertunjukan para penyintas yang tak berdaya, dan mendorong siapa pun untuk menentang ketidakadilan primordial tersebut, “tak peduli berapa lama pun, atau berapa kali, dan bagaimanapun caranya.”

Jujur saja, film ini membuat saya tertawa dan kagum di banyak adegan, serta membuat saya menangis seperti bayi di akhir cerita. Mengesankan!