Sebenarnya, e-money (electronic money / mata uang elektronik) dalam sejarahnya adalah merupakan hasil pengembangan dari kartu telepon pra bayar (prepaid product). Sifat dari kartu ini adalah berisi catatan mengenai dana yang disetorkan dan sekaligus penggunaannya dalam transaksi. Karena seluruh dana yang disetor tercatat di dalam kartu, maka tidak heran bila kemudian kartu itu masih bisa digunakan, meskipun pemilik kartu menggunakan tipe pesawat handphone yang berbeda. Demikian pula dengan seluruh catatan transaksinya, seluruhnya tidak berkurang akibat pindah handphone.
Setelah muncul kartu pra-bayar (prepaid product), berikutnya muncul listrik pra-bayar (prepaid electric). Gambaran dari listrik pra-bayar ini adalah, konsumen listrik terlebih dulu membeli pulsa kepada gerai PLN (Perusahaan Listrik Negara). Kampanye pindah ke listrik pra-bayar ini marak dilakukan terhitung sejak tahun 2006 dan mulai masif diintroduksikan ke pelanggan listrik pada kisaran tahun 2012.
Dari kedua produk pra-bayar ini, ada perbedaan sifat dari keduanya. Prepaid product yang diterapkan pada pulsa pesawat handphone, memiliki durasi waktu habis / purna kontrak. Sementara pada listrik pra-bayar, tidak mengenal durasi habis kontrak. Selama pulsa listrik itu masih mencukupi untuk dipergunakan dalam rumah tangga, maka manfaat dari listrik masih bisa dirasakan oleh konsumen.
Nah, rupanya e-money yang saat ini dilegalformalkan itu adalah hasil persilangan dari kedua produk prabayar di atas. Kita sebut saja produk terakhir ini sebagai e-Money Konvensional. Wujud fisik dari e-money konvensional dirupakan sebagai kartu atau kode akses, dengan fungsi yang sama berupa catatan-catatan hasil transaksi yang pernah dilakukan, sementara durasi pemakaiannya tidak terbatas. Selama saldo dalam kartu atau kode akses tertentu itu masih ada, maka ia masih bisa digunakan untuk melakukan transaksi yang dibutuhkan konsumen, tanpa berkurang sedikitpun saldo deposit terakhir yang dimilikinya. Yang dihilangkan dari produk prabayar pertama adalah durasi kontraknya.
Dengan menyimak kondisi tiga model produk e-money di atas, secara fikih, kedudukan e-money itu bisa dirinci sebagai tiga hukum. Perincian ini ditentukan berdasarkan wujud fisik dan model akad kontraknya.
Pertama, e-money pulsa handphone
Untuk kasus pulsa handphone, karena ada masa berakhirnya kontrak, maka akad yang berlaku adalah akad sewa jasa (ijarah). Uang yang disetorkan oleh konsumen kepada counter tempat penjual pulsa, yang mana besarannya adalah 12 ribu dengan besaran nilai pulsa yang masuk sebesar 10 ribu, sehingga ada selisih 2 ribu rupiah, maka akad ini tidak dilihat sebagai akad tukar menukar uang. Meskipun, produk pulsa itu sendiri sejatinya adalah e-money dan bisa dipergunakan untuk transaksi dalam bentuk lain, seperti membeli kuota internet.
Besaran uang 10 ribu, dipandang sebagai “wujud harta manfaat.” Manfaat itu bersifat fi al-dzimmah (ada dalam bentuk jaminan), yang jika dirupakan, akan berbentuk bisa dipakainya pulsa untuk menelepon dan berkirim SMS. Pulsa juga bisa dikonversi sebagai harta manfaat lain, seperti kuota internet.
Kedua, e-Money dalam rupa Paket Pulsa Listrik
Karena di dalam paket pulsa listrik prabayar tidak dijumpai adanya durasi kontrak berakhir, maka akad yang masuk dalam transaksi ini adalah akad jual beli barang yang bisa dijamin karena ada dalam tanggungan produsen (bai’ maushufin fi al-dzimmah). Obyek transaksinya sama dengan pulsa prabayar, yaitu berupa harta manfaat.
Mengapa ada perbedaan akad pada dua model e-money pulsa handphone dengan e-money pulsa listrik? Perbedaan itu sebenarnya ada pada titik tekan keberadaan durasi kontrak. Jika ada durasinya maka masuk akad sewa. Jika tidak ada durasinya, maka transaksi dikategorikan akad jual beli. Sebab dalam jual beli, berlaku intiqal milk ‘ala sabili al-ta’bid, yaitu perpindahan status kepemilikan dalam durasi selamanya. Nah, pulsa listrik prabayar itu menunjukkan sifat sedemikian itu. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa akadnya adalah akad jual beli.
Mengapa sama-sama bisa ditransaksikan dan dijadikan instrumen transaksi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengingat kembali sebuah qaidah, bahwa: “semua barang (baik barang wujud atau barang manfaat) yang bisa dijualbelikan, maka bisa pula disewakan (kullu ma jaza bai’uhu jazat ijaratuhu).” Walhasil, setiap “barang manfaat” juga berlaku hukum bisanya dibeli dan juga bisa disewa.
Ketiga, e-Money Konvensional
Sekali lagi, bahwa istilah ini adalah untuk menyederhanakan istilah bagi produk hasil persilangan dari kedua produk di atas, akan tetapi manfaatnya diperluas. Jika pada kedua e-money sebelumnya, kegunaannya (utilitas) barang manfaat hanya bisa disalurkan pada jalur khusus, maka dalam e-Money Konvensional, utilitas itu lebih fleksibel. Ia bisa digunakan untuk berbelanja, atau mengontrak jasa Tol. Dengan demikian, apakah kartu e-Tol termasuk pula yang dicakup dalam pengertian e-Money Konvensional ini? Sudah tentu jawabnya, adalah iya. Bagaimana dengan OVO, DANA, Link, dan kartu transaksi sejenis lainnya yang diperoleh secara online? Masing-masing dari produk terakhir adalah masuk juga dalam bagian yang dicakup dalam pengertian e-Money Konvensional ini.
Karena saldo dan catatan transaksi senantiasa terekam di dalam kartu yang dipegang oleh konsumen dan bisa dibawa ke mana saja, atau terekam dalam notifikasi elektrik akun produsen (untuk produk sejenis OVO), maka tidak diragukan lagi, bahwa akad yang berlaku dalam transaksi terakhir adalah masuk rumpun akad jual beli juga.
Ketiadaan durasi kontrak adalah menjadi faktor penguat guna memasukkannya dalam akad jual beli tersebut. Saldo yang termuat di dalam kartu dan akun OVO, tidak boleh dimaknai sebagai mengutangi produsen, sebab ada kartu dan harta manfaat yang tersimpan di dalamnya senantiasa dikuasai oleh pemilik kartu dan akun. Konsumen bisa memindahtangankannya kepada orang lain, menandakan bahwa kepemilikan tersebut adalah sempurna. Bahkan keberadaannya bisa pula diwariskan kepada orang lain dan dibagi ke sejumlah pengguna lain, adalah bagian dari penguasaan sempurna itu (milkun tamm).
Karena memuat pengertian milkun tamm, maka saldo yang terdapat di dalam kartu e-money konvensional ini, bilamana dalam satu tahun tidak dipergunakan sama sekali, dan bilamana jumlahnya melebihi harga satu nishab emas (85 gram), maka keberadannya masuk dalam bagian harta yang wajib dizakati. Lain halnya dengan kedua e-money sebelumnya. Karena keduanya senantiasa terus menerus dipergunakan dalam transaksi, maka saldonya bukan termasuk mal zakawi, sehingga tidak wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun sudah mencapai 1 tahun dan lebih dari nishab emas.
Itulah macam-macam e-money yang berlaku saat ini per Desember 2019. Mengetahui status hukum masing-masing dalam fikih, sangat berguna dalam mendudukkan masalah e-money tersebut dalam fikih transaksi, dan kebutuhan menyikapinya ketika harta tersebut telah mencapai kadar nishab zakat.