Mendengar kabar sebuah pesantren yang terindikasi Wahabi, paling tidak begitulah menurut masyarakat Karimunjawa, mendapat penolakan oleh masyarakat sekitar yang kebanyakan nahdliyin, sontak hati saya diantarkan kepada sebuah pertanyaan: haruskah pesantren ini benar-benar ditolak?
Jika mengacu pada sejarah, semisal Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, dan Masyumi adalah contoh lama dari kerapnya pelabelan oleh kalangan nahdliyin awam sebagai Wahabi. Bahkan Buya HAMKA pernah mengutarakan hal itu dalam Dari Perbendaharaan Lama bahwa organisasi yang disebutkan di atas dicap kemasukan Wahabi.
Jika Wahabi adalah upaya pemurnian (purifikasi) akidah dan pemahaman Islam, maka seluruh organisasi yang memiliki wawasan tersebut bisa disebut Wahabi. Hanyasaja, gerakan puritan tidak semua merujuk pada Muhammad ibn Abd Al-Wahab, pendiri Wahabiyyah, dan upaya purifikasi Islam tidak disuarakan oleh Wahabi secara tunggal.
Pelabelan masyarakat awam terhadap apapun paham yang menolak tradisi umum (seperti tahlilan, mauludan, manakiban, dan semisalnya) kepada Wahabi menurut saya adalah usaha penyederhanaan. Penyamarataan ini memang salah kaprah, hanyasaja untuk orang awam sebenarnya bisa dimaklumi karena li al-‘awwam la mazhaba lahum. Barangkali upaya pelurusan kasus di Karimunjawa harus berangkat terlebih dahulu dari definisi yang dituduhkan.
Meskipun tuduhan itu ditampik sendiri oleh Yayasan Bina` Muwahidin, selaku pemberi wakaf bangunan pesantren tersebut kepada Muhammadiyah (ITMAM/Ittihat Al-Ma’ahid Muhammadiyah), bahwa paham yang dianut bukanlah Wahabi, namun tabayun di Gedung PCNU Jepara itu tidak lantas diterima begitu saja.
Sejauh pengamatan saya, Yayasan Bina` Muwahidin hanyalah lembaga yang disokong saudagar kaya dari Saudi (dan beberapa puluh dari dalam negeri). Meskipun menampik tuduhan Wahabi, kasus 6 Agustus silam bisa dijadikan rujukan sikap yayasan yang memiliki sokongan duit saudagar kaya dari Saudi (dan beberapa puluh dari orang kaya dalam negeri) tersebut.
Sebuah masjid di Trenggalek membutuhkan tambahan dana untuk renovasi. Takmir masjid, bersama warga yang lain, meminta Yayasan Bina` Muwahidin untuk menggenapi kekurangan renovasi. Dari pihak yayasan berkenan memberikan bantuan renovasi masjid dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut: Pengubahan nama masjid menjadi Lathifah binti Abdullah Al Muhana, tidak dipakai untuk Yasinan, Tahlilan, Barzanji, dan Manakiban.
Kendati perpusatakaan yang dibangun yayasan tersebut di beberapa tempat menyuplai buku terjemahan karya ulama Wahabi, pendirian masjid yang mensyaratkan bersih dari berbagai “tradisi”, dan ustaz yang berorganisasi di yayasan tersebut jebolan LIPIA dan Saudi, tidak lantas membuat yayasan tersebut secara dzatiyah memang Wahabi. Ulil Abshar Abdalla malah mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL), padahal pernah belajar di LIPIA (meskipun tidak sampai lulus di sana). Kiai Said Aqil menjabat sebagai Ketua PBNU dan NU tulen, meskipun lama belajar di Saudi.
Maksud saya adalah atribusi di atas tidak cukup untuk dijadikan bukti atas tuduhan (bahkan dari pihak yang dituduh sudah memberikan tabayun [penjelasan]). Dari sini perlu ditegaskan terlebih dahulu pakem hukum Islam sudah ada aturan: al-bayyinat ‘ala al-mudda’I wa al-yamin ‘ala man ankar (bukti sahih wajib didatangkan penuntut, sedangkan sumpah bagi pengingkar bukti tersebut).
Jika diperbolehkan untuk memberikan penilaian, perkenankan saya menjelaskan bahwa tidak mungkin Yayasan Bina` Muwahidin secara “ujug-ujug” mensyaratkan masjid yang dibantu harus bersih dari tradisi umum masyarakat nahdliyin. Syarat-syarat yang diajukan, ditambah literatur Saudi (yang agitatif dan puritan) yang disuplai ke perpustakaan-perpustakaan diriannya, ceramah-ceramah yang diunggah di media sosial, maka cukup dijadikan kesimpulan yayasan tersebut hanyalah berpaham purifikasi Islam, entah Wahabi atau bukan.
Porsi yayasan untuk bersinggungan dengan doktrin tauhid atau praktik ibadah masyarakat umum barangkali ada, namun gerakan yayasan ini sepertinya lebih fokus pada pembangunan, pendidikan, perairan, dan filantropi (santunan dan charity).
Sekarang beralih pada pertanyaan awal: haruskah pesantren di Karimunjawa ini benar-benar ditolak?
Saya termasuk orang yang kerap merujuk Gus Dur untuk kasus-kasus seperti ini. Selain anti kerumitan, beliau juga anti dengan logika kerumunan. Apalagi jika kerumunan itu memersekusi kelompok lain yang dari segi jumlah dan kekuatan benar-benar minoritas. Jika kita melihat diskriminasi terhadap etnis Rohingya sebagai “dosa publik”, maka segala macam kesewenang-wenangan NU terhadap “Wahabi” yang terjadi di Karimunjawa adalah sama dosanya secara ma’nawy.
Saya sendiri melihat purifikasi Islam sebagai gerakan yang menyebalkan. Rasa-rasanya tidak ada gerakan yang mengklaim dapat mengembalikan umat Islam kepada akidah yang murni selain gerakan ini. Upaya untuk mengislamkan orang Islam ini bertolak dari motivasi kepada Quran dalam makna yang harafiah, oleh karenanya mereka anti terhadap tradisi (‘urf) yang lazim dilakukan di masyarakat nahdliyin awam. Praktik bidah yang hampir-hampir mendekati kekafiran. Terlalu terobsesi terhadap “Islam tunggal”.
Namun sesebal-sebalnya saya kepada gerakan semacam ini, pada dasarnya negara melindungi mereka untuk berserikat dan berkumpul, bahkan undang-undang memberikan perlindungan bagi mereka untuk berekspresi. Saya tidak pernah merekomendasikan pencekalan kepada kelompok yang berada pada posisi “seberang”. Pesantren boleh dicekal, namun tidak bagi otak dan pemahaman.
Hanyasaja, pemerintah perlu membuat peringatan (dan masyarakat mengawasi) kepada siapapun agar tidak dibiarkan leluasa mengumbar sentimen kebencian. Jika nanti pesantren tersebut benar-benar mendirikan majlas taklim yang membidahkan dan mengafir-kafirkan tradisi masyarakat Karimunjawa, sebenarnya hal itu bukanlah pengalaman baru dalam tubuh NU. Dari dulu sampai sekarang, rasa-rasanya jumlah warga NU tak pernah defisit