Nyaris satu bulan Indonesia dirundung musibah wabah virus Corona atau Covid-19. Tidak hanya Indonesia, bahkan seluruh negara sedang bersusah payah untuk memutus rantai persebaran virus berbahaya ini. penolakan jenazah
Setelah beberapa waktu dilalui dengan ketentuan-ketentuan tertentu seperti physical Distancing, dirumahsaja, dan tidak boleh mudik, tentu hal ini akan menumbuhkan karakter baru di tengah masyarakat.
Ada beberapa prediksi yang akan terjadi setelah Virus ini usai. Yang jelas, masyarakat harus memilih, akan menjaga solidaritas dan kedekatan yang sebelumnya dijalin, atau semakin membuat jarak dengan masyarakat lain.
Seperti yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam prediksinya The World After Corona Virus “Humanity needs to make a choice. Will we travel down the route of distunity, or will we adopt the path of global solidarity?” (manusia perlu membuat pilihan, akankah kita menempuh jalan perpecahan, atau akankah kita mengadopsi jalan solidaritas?).
Pasalnya, kita sudah sering kali diminta untuk menjaga jarak, bahkan tak jarang kita mencurigai sesama sebab virus corona. Takut untuk berdekatan dengan siapa pun dan berusaha dalam setiap kegiatan untuk tetap berjarak dengan orang lain.
Hal yang paling disayangkan saat ini adalah ketakutan massa atau masyarakat terhadap penyebaran Virus Corona yang berlebih, bahkan sebagian masyarakat melakukan penolakan jenazah yang mengidap virus Corona masuk ke wilayahnya. Kepanikan mendahului ketenangan dan segala tindakan.
Penolakan-penolakan tersebut merupakan indikasi dari kecemasan dan kekhawatiran publik terhadap wabah virus corona. Perpecahan dan solidaritas terjadi secara bersamaan.
Masyarakat berbondong-bondong menolak, namun gerakan penolakannya masih melibatkan unsur solidaritas warga. Sebagai bukti bahwa kepanikan tidak hanya bersifat personal, akan tetapi sudah menjelma suatu kelompok atau massa.
Kecemasan massa terhadap virus corona kemungkinan tidak akan menentramkan kondisi sosial saat ini. Karena, seseorang atau kelompok dalam keadaan panik atau cemas sulit menghasilkan keputusan yang jernih, salah satunya penolakan jenazah.
Wabah ini memaksa masyarakat untuk memutuskan tindakannya terhadap diri sendiri dan orang lain dengan cepat saat terjadi situasi-situasi yang tidak diinginkan. Social Panic seperti ini seharusnya dinetralisir agar masyarakat tetap bersama-sama waspada dengan cara yag elegan.
Kita melupakan pesan Ibnu Sina, tokoh kedokteran muslim, “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaraan adalah permulaan kesembuhan”.
Jika ditelaah lebih dalam, premis tersebut memiliki kandungan makna yang pas untuk diimplementasikan saat ini. Kepanikan dan ketenangan ini juga berlaku pada kelompok atau massa. Ketika ketenangan mendahului segala tindakan kelompok, tentu akan menghasilkan keputusan yang lebih baik dari keputusan hasil dari kepanikan.
Kewaspadaan kelompok terhadap kelompok lain bisa dilakukan dengan bijaksana tanpa unsur-unsur mengerdilkan satu sama lain. Karena saat ini seperti yang diketahui bersama pemerintah memberikan data informasi sesuai kondisi wilayah. Terdapat pembagian zona persebaran Covid-19.
Pembagian zona ini tentu memiliki dua dampak yang berbeda. Zona aman, akan membentuk solidaritas baru suatu kelompok dalam satu wilayah untuk bersama memerangi persebaran wabah. Sehingga selalu ingin mencurigai siapapun yang datang demi keselamatan kelompok dan wilayahnya, termasuk menolak janazah positif Covid. Sementara Zona Merah akan membentuk jarak antar individu sebab kepentingan keselamatan pribadi.
Tindakan kelompok akan mempengaruhi tidakan individu, begitu pun sebaliknya. Yang berperan sebagai tokoh masyarakat misalnya, memiliki tanggungjawab untuk membentuk tindakan masyarakat agar tetap tenang merespon Covid-19. Yang berperan sebagai individu dalam kelompok juga tetap menjaga ketenangan demi ketentraman suatu kelompok.
Hidup di Indonesia dengan solidaritas masyarakat yang tinggi, perlu pilah-pilih dalam melakukan sesuatu. Ketenangan dan kesabaran ini juga merupakan anjuran Allah dalam firmannya “fasta’iinuu bi as-shabri wa as-shalat” dengan arti bahwa memintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.
Kata sabar berada di urutan pertama, karena kesabaran hasil dari proses berpikir yang jernih sehingga tindakan apapun yang diputuskan akan baik. Setelah sabar dan tenang menghadapi cobaan, ibadah dan lainnya dapat dilakukan sebaik mungkin.
Ayat ini, singkron dengan apa yang dikatakan Ibnu Sina di atas. Bahwa ketenangan adalah separuh dari obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan. Saatnya, social panic diredam agar ketenangan dan kesabaran massa tercipta. Salah satu caranya melalui media, yang menjadi teman baik setiap orang saat social distancing.
Setelah virus ini usai, manusia dengan ketenangan dan kesabarannya juga bisa berpikir dengan baik untuk melanjutkan kehidupan bermasyarakat. Seperti dikatakan Harari, tetap pada solidaritas atau memilih jalan perpecahan. Sikap ini ditentukan oleh masing-masing individu yang berkelompok. (AN)