Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali.. Sekali lagi, ada seorang public figure yang membuat pernyataan sensasional dan sedikit banyak memmengaruhi kondisi emosi saya. Kali ini yang membuat weekend saya tidak baik-baik saja bukan hanya karena capaian “prestasi” Indonesia menyalip Tiongkok di angka positif covid-19, tetapi munculnya juga Anji dengan opininya tentang covid-19 yang, hmm.. seolah-olah masuk akal.
Buat kalian yang belum tahu, kegegeran ini mula-mula dari akun instagram Anji yang diunggah sabtu lalu (18/07). Ia mengunggah ulang foto dari jurnalis Joshua Irwandi (@joshirwandi), sebuah foto jurnalistik yang fenomenal, yang menunjukan bentuk jenazah yang meninggal karena virus covid-19 yang terbungkus plastik.
Kemudian Anji menambahkan caption yang sensasional dan tentu memicu perdebatan, berisi dua opini singkat dan sebuah kesimpulan. Biar saya nggak ngetik ulang, saya lampirkan tangkapan layar dari caption unggahan instagram Anji di sini.
Sebelum membahas tentang isi dari caption, perlu saya sampaikan terlebih dahulu deretan komentar yang muncul di unggahan tersebut, yang telah membuat saya ngelus dada. Pertama, ada Deddy Corbuzier, si master podcast. Ia bilang: “Tar loe di bilang begoo loh”, bukan maksud saya menulis “dibilang” dengan menyelipkan spasi, tapi emang Deddy nulisnya begitu.
Lalu ada @gazellecross, saya tidak tahu dia itu siapa, tapi dia punya jumlah followers sampai 300ribuan. Mungkin dia hanya salah satu dari ribuan persona media sosial yang menerima endorse berbayar. Dia bilang “We’re on the same mindset mas Anji. U are not alone”. Ada pula musisi Ifan Seventeen, dia bilang “Anji mulai berada ditrack yang keren! Track kebenaran!”, itu juga bukan maksud saya nulis “di track” dengan tanpa menyelipkan spasi, meemang Ifan nulisnya gitu.
Tidak penting komentar saya soal tata penulisan, tapi yang perlu dicatat dan digarisbawahi adalah kenyataan bahwa orang yang berpikiran seirama dengan Anji itu ada banyak. Apalagi banyak di antara mereka yang bisa dikategorikan sebagai public figure (baca: memiliki jumlah pengikut sosmed yang banyak, bahkan sampai jutaan).
Saya begidik ngeri ketika mereka tiba-tiba satu suara menyatakan kalau virus corona ini tidak berbahaya, itu sebuah tantangan yang amat sangat berat dalam upaya menuntaskan pandemi di Indonesia.
Saat Indonesia sudah berada di atas Tiongkok dalam “prestasi” kasus positif covid-19, kita masih dihadapkan pada opini-opini kontra penanganan covid-19 yang semakin gaspol karena banyak disponsori oleh public figure. Sepertinya, memang sampai 2021 kita akan tetap bersama virus corona, apalagi penanganan covid-19 dapat tantangan luar biasa dari public figure yang suka beropini kontra penanganan begitu.
Dalam unggahan tersebut, Anji menggunakan pendekatan yang seolah ingin membahagiakan masyarakat sebanyak-banyaknya dengan sekaligus menyalahkan orang yang lain.
Lihat pada opini pertama yang Ia gunakan, Anji dengan terbuka mengatakan bahwa gambar yang viral itu tersebar dengan mekanisme buzzer. Anji menuding demikian karena narasi yang digunakan oleh akun yang melakukan repost unggahan Joshua Irwandi senada, hanya karena buzzer. Sudah,
Sehingga, seolah Anji ingin mengatakan bahwa para pewarta foto itu bersekongkol dengan membuat narasi menakut-nakuti selayaknya buzzer. Sebuah opini yang saya kira sangat melukai dan menghina kerja profesional teman-teman pewarta foto jurnalistik.
Kemudian pada opini kedua, Anji menggunakan sebuah analogi yang sederhana kemudian dibungkus seolah-olah masuk akal. Ia memposisikan diri seolah bersama masyarakat yang keluarganya positif corona, kemudian sekali lagi ia menyentil pewarta foto. Ia menganggap pewarta foto itu melewati batas. “Keluarga saja enggak boleh jenguk kok kamu bisa masuk?”, begitu kira-kira yang ingin Anji sampaikan.
Mungkin dia lupa kalau pewarta foto adalah pekerjaan profesional yang alur kerjanya ketat dan tidak sembarangan. Dalam bekerja meliput pandemi seperti ini, pewarta foto bekerja layaknya tenaga kesehatan. Ia harus siap secara perlindungan diri dan tentu harus mengantongi izin rumah sakit dalam mendokumentasikan kejadian.
Ketika dapat izin liputan tetapi tidak boleh masuk ke ruang laboratorium, ya tetap tidak bisa mengakses ruang laboratorium. Sehingga pewarta foto hanya bisa mengambil gambar di lokasi-lokasi yang memang diizinkan. Bahkan, memindahkan botol air minum dengan tujuan agar hasil jepretan lebih bagus pun tidak boleh, lho! Itu namanya kode etik, ketat banget kan.
Jadi apa yang dijepret adalah apa yang sebenarnya terjadi. Pewarta foto terikat kode etik yang ketat dan dilindungi Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Mereka harus mematuhi itu karena profesionalitas kerja mereka di bidang jurnalistik. Tidak heran, organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) sampai melayangkan surat resmi mengecam unggahan instagram Anji.
Si empunya foto yang dipermasalahkan Anji adalah salah satu kontributor dari media besar; National Geographic. Dan Anji dengan enteng berkelit “kok bisa setertata itu, paling settingan”. Hmm..
Mas Anji tahu nggak sih, Bapak dan Ibu saya tidak bisa masuk ruang bersalin saat kakak pertama saya sedang lahiran. Ini orangtua lho, mereka yang melahirkan, merawat dan menyekolahkan kakak saya, tidak bisa masuk. Yang bisa masuk cuma suami kakak saya. Masak Bapak dan Ibu saya harus mencak-mencak karena dilarang masuk ruang bersalin. “Itu anak saya yang besarin, saya yang nyekolahin, kok anak orang lain yang cuma boleh nemenin” masa’ harus begitu?” Ngerti aturan kan, Mas Anji?
Rumah sakit melarang keluarga menemui pasien covid-19 ya tentu untuk keselamatan keluarga itu sendiri. Apakah Sampeyan ngerti, betapa emosionalnya keluarga yang ditinggal anggotanya meninggal, bisa ribut dan malah menyebar virus ke mana-mana kalau itu dibiarkan. Itu aturan kesehatan, itu untuk kebaikan keluarga yang ditinggal juga.
Lalu kemudian Anji mengatakan bahwa ia tidak percaya kalau covid-19 itu mengerikan. Hmm, mbok ya ada empati gitu lho. Coba dipikirkan itu kisah Dea, anak Surabaya yang seluruh keluarganya meninggal karena covid-19 dan dia harus isolasi mandiri sendiri, benar-benar sendiri karena semuanya meninggal. Gitu mbok dipakai perasaannya, kok Sampeyan seenaknya sendiri kalau ngomong.
Terus, Anji menutup dengan kata-kata “yang mengerikan adalah hancurnya hajat hidup masyarakat kecil”. Kembali Anji memposisikan diri seolah bersama masyarakat kecil, tapi dia lupa, perbuatannya menyepelekan covid-19 kemudian ramai-ramai didukung teman-teman sesama influencernya itu yang malah membuat hajat hidup kita semua semakin tidak jelas arah masa depannya.
Saya berani bilang karena Anji semakin banyak orang menyepelekan covid-19. Akibatnya, penanganan dan pengendalian virus corona semakin lama dan sulit dan akhirnya semakin tidak jelas kapan kita bisa beraktivitas normal lagi.
Lebih baik Mas Anji bantu mengedukasi, bantu menerjemahkan kata-kata ilmiah dari Gugus Tugas Darurat Covid-19 yang gonta-ganti itu, biar mudah dicerna masyarakat. Bukannya malah semakin menyepelekan covid-19 begini.
Mas Anji, sebenarnya maunya Sampeyaan apa sih?