Ada seorang Ustadz terkenal yang bertemu dengan calon presiden dan menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang ulama sepuh yang tidak terkenal di media sosial namun memiliki ketajaman batin yang amat kuat.
Sang ulama tersebut membisikan kepada sang ustadz ketika datang memantapkan pilihannya bahwa sang capres yang ia pilih akan menjadi pemimpin. Ulama tersebut dikenal sebagai ulama yang sangat dekat kepada Allah dan sangat tahu dengan semua niat baik dan buruk orang yang mengunjunginnya. Sang ustadz terkenal itu ternyata ingin memantapkan hati terkait capres-cawapres yang akan dipilihnya.
Jadi dalam pilihan politiknya tersebut, sang ustadz membasiskan legitimasinya melalui mukasyafah atau musyahadah ruhaniyyah dari ulama yang ditemuinya. Tak hanya itu, sang ustadz melalui ringkasan percakapan yang dapat diunggah di beberapa sumber di media sosial, bermimpi berkali-kali tentang capres yang akan ia pilih dan mimpinya ini menjadi penguat akan pilihannya nanti.
Menarik sekali di sini kita perhatikan bagaimana sang ustadz ketika memilih capres dan cawapres 2019 mendapatkan legitimasinya melalui mimpi dan mendapat inspirasinya melalui mukasyafah dan musyahadah ruhaniyyah ulama sufi.
Menggunakan mimpi spritual dan inspirasi sufistik merupakan salah satu strategi jitu untuk mendulang sebanyak-banyaknya dukungan umat kepada paslon tertentu dan sang ustadz sendiri dikenal luas oleh publik Indonesia sebagai dai sejuta viewers. Tentunya strategi ini harus digunakan dengan baik agar umat dapat mengikuti pilihan sang ustadz. Soal pilihan politik sang ustadz memang tidak menjadi fokus utama dalam tulisan ini namun yang ingin ditekankan ialah soal keabsahan kasyf, mukasyafah, mimpi dan sejenisnya dalam pandangan Ibnu Bajah, filosof Islam yang terkenal.
Ibnu Bajah merupakan sosok filosof yang sangat kritis terhadap semua jenis pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman batin seorang sufi melalui riyadah yang terus menerus. Lebih jauh lagi Ibnu Bajah menolak pencapaian kebahagiaan ala kaum sufi. Penolakan ini didasarkan kepada analisis dan tafsirnya terhadap fenomena ketersingkapan tabir ilahi yang dialami oleh mereka yang mengklaim diri sebagai sufi. Analisisnya ini didasarkan kepada ilmu psikologi yang dikenal di masanya, yakni psikologi Aristoteles.
Ibnu Bajah menegaskan bahwa gambaran-gambaran kognitif (ash-shuwar adzhiniyyah) akan menjadi lebih kuat dan tajam jika dalam diri kita hadir tiga daya jiwa: pengalaman bersama (al-hiss al-musytarak), imaginasi (al-makhilah) dan memori (adz-dzakirah). Bagi Ibnu Bajah, mujahadah yang dilakukan oleh kaum sufi tidak lain ditujukan untuk mengumpulkan tiga daya ini dalam satu gambaran kognitif, yakni gambaran yang diimaginasikan secara kuat oleh khayalan kaum sufi tentang objek yang menjadi fokus utama mereka (alam malakut misalnya).
Dalam pengamatan Ibnu Bajah, mukasyafahnya sufi ini tidak lain ialah dengan menghadirkan ketiga daya jiwa tadi dalam khayalan sehingga seolah-olah alam ruhani muncul dan tersibak di hadapan dirinya. Padahal kata Ibnu Bajah pengalaman ini sangatlah menipu dan bahkan tidak bisa dijadikan sandaran dalam keputusan-keputusan yang sifatnya rasional. Ini berbeda dengan yang dilakukan sang ustadz yang menjadikan muksayafah sufi sebagai sandaran bagi keputusan politik yang seharusnya didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional.
Ibnu Bajah mengatakan bahwa mukasyafah sufi yang diklaim oleh sebagian mereka (al-Ghazali misalnya) sebagai rahasia kebenaran tidak lain hanyalah sangkaan biasa atau secara lebih kasarnya sebut saja sangat imaginer. Karena itu, dalam Risalatul Wada’ yang ditulisnya, Ibnu Bajah mengkritik al-Ghazali yang telah mengklaim dirinya telah mengalami proses mukasyafah dalam perjalanan spritualnya. Ibnu Bajah mengatakan:
“Telah sampai kepada kita karya besar yang ditulis oleh seorang ulama besar yang terkenal dengan nama Abu Hamid al-Ghazali. Karyanya ini berjudul al-Munqidz min ad-Dhalal. Dalam al-Munqidz ini, al-Ghazali menceritakan perjalanan hidupnya dalam mengarungi samudera pengetahuan dan menyebutkan pengalamannya ketika uzlah bahwa ia mengalami penyingkapan tabir ilahi. Saat itu, al-Ghazali merasakan kebahagiaan yang tiada terkira…perlu diingat bahwa pengalaman penyingkapan tabir ilahi dan hal yang serupa ini tidak lain hanya sangkaan belaka. Banyak sufi mengklaimnya sebagai gambaran kebenaran. Al-Ghazali jelas dalam hal ini keliru atau mungkin dia telah salah dalam memahami imaginasi kebenaran.”
Kita dapat melihat bahwa kritik Ibnu Bajah terkait pengalaman mukasyafah kaum sufi sangatlah rasional. Ibnu Bajah menilai ketersingkapan tabir ilahi yang dialami kaum sufi tidak lain hanyalah sebagai sejenis daya imaginasi yang kuat dalam diri. Itu saja. Jadi bukan sejenis kebenaran mutlak. Kritik Ibnu Bajah terhadap pengalaman al-Ghazali ini mungkin berlaku juga bagi Ibnu Arabi. Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat Makkiyah-nya sering bercerita mengenai ketersingkapan tabir ilahi ini, terutama di jilid keenamnya. Bagi Ibnu Bajah semua ini hanyalah khayalan dan tidak boleh diklaim sebagai rahasia kebenaran seperti yang sering dilakukan oleh kaum sufi dalam berbagai karya-karya mereka.