K.H Hasyim Asy’ari, yang di kalangan jamaah Nahdhiyyin biasa disebut dengan Hadhratu as-Syaikh atau Mbah Hasyim, dikisahkan pernah ditamui oleh seseorang yang hendak masuk Islam bernama Karl von Smith.
Karl von Smith adalah warga Belanda yang aslinya kelahiran Jerman yang bekerja di wilayah Hindia Belanda sebagai insinyur. Ketertarikannya dengan Islam dimulai ketika para pekerjanya setiap waktu istirahat, mereka membasuh muka dan tangan (wudhu) kemudian melaksanakan gerakan yang mereka sebut shalat.
Karl von Smith bertanya-tanya mengapa mereka melakukan itu, hingga seorang pekerja yang ia tanya menyarankan beliau menemui Mbah Hasyim. Sebelumnya, Karl tidak memperoleh jawaban apa-apa dari para pekerjanya. Saat bertemu Mbah Hasyim dan berdiskusi, beliau kemudian memutuskan memeluk Islam.
Disebutkan Asad, pertemuan itu terjadi pada 7 Juli 1936 di Tebuireng, Jombang. Asad menyatakan ia senang bisa menemukan momen bertemu sosok seperti Smith. Asad dan Smith kemudian berdialog, dan Asad kemudian menyarankan mengapa Smith setelah ini tidak menulis saja alasannya untuk memeluk Islam.
“Sangat disayangkan ada sebab-sebab yang membuat aku mengurungkan niat itu. Alasannya adalah ada satu isu yang bersemayam di kalangan umat Islam hingga isu ini kemudian makin menjadi seperti kebenaran yang diimani, yaitu isu soal orientalis. Problemnya, orang Islam masih meyakini apa saja yang bersumber dari orang barat atau orang Eropa, atau Eropa sendiri, itu adalah tipu daya, niat buruk, hingga punya tujuan-tujuan yang menghancurkan Islam. Maka, saya khawatir kalau saya menulis, maka karya saya juga tidak akan selamat dari sikap seperti itu. Pun jika tulisan saya bagus, akan ada desas-desus kalau ada tujuan tertentu dibalik tulisan saya tersebut. Apalagi jika tulisan saya tidak diterima di hati muslimin, itu menjadi ruang yang empuk sekali untuk tuduhan-tuduhan “musuh Islam” atau “mau memerangi Islam” dengan tampilan luar layaknya orang Islam,” jawab Karl von Smith, sebagaimana dijelaskan dalam buku Asad Syahab (h. 39-40).
Setelah menjawab hal tersebut, Karl von Smith nampaknya belum mengakhiri penjelasannya. Ia kemudian menambahkan beberapa hal yang kami sarikan dalam poin-poin dibawah ini,
Pertama, tidak masuk akal mengatakan bahwa jutaan orang-orang barat itu semuanya orientalis, dan semuanya punya niat buruk terhadap Islam, bahkan tidak ada yang memiliki niat baik di antara mereka.
Kedua, Smith tidak mengingkari adanya orang yang memang profesinya melakukan studi ketimuran (orientalis). Tapi, jumlah mereka sangat terbatas dan tidak masuk akal memikulkan kesalahan mereka kepada semua orang barat.
Ketiga, jika stigma itu dipelihara, bagaimana mungkin orang Islam bisa menyebarkan ajaran Islam di Eropa dan orang-orang barat. Padahal, di Eropa ada ratusan bahkan ribuan umat muslim dan belum ada interaksi sedikitpun antara mereka dengan orang-orang Asia dan Afrika.
Keempat, penyebab tidak adanya interaksi antara muslim Eropa dan di wilayah lainnya adalah adanya stigma kalau semua orang Islam di Eropa itu orientalis, dan mereka adalah mata-mata barat terhadap orang Islam. Dampaknya, orang Islam di Asia dan Afrika tidak bisa mengambil manfaat apapun dari keberadaan orang Islam di Eropa. Ditambah lagi, identitas “persaudaraan Islam” belum mencakup semua orang.
Kelima, karena itu, Smith memilih sikap untuk menjauhi apa saja yang mendatangkan keraguan dan cukup berpendapat tentang apa yang ia yakini. Maka, saat Smith kembali dari berhaji dan tinggal di salah satu kota di Eropa, ia akan terus mendakwahkan Islam tanpa banyak bicara, dengan harapan semata-mata mengharap ridho Allah menyebarkan Islam di wilayah-wilayah yang tidak bisa dikategorikan sebagai wilayah Islam dengan kemampuan yang ia bisa.
Keenam, menurut Smith, orientalis itu ada banyak macamnya. Ada yang levelnya hanya sampai pada tingkat peneliti. Seorang peneliti bisa benar bisa juga keliru. Ada juga yang levelnya lebih dari itu, yaitu menggunakan riset-risetnya uuntuk tujuan atau motivasi kolonialisme, misalnya mencari titik-titik kelemahan mereka untuk dijadikan kebijakan melemahkan orang-orang Islam.
Ketujuh, Smith ingin menegaskan untuk orang Islam secara khusus, bahwa sebenarnya buku-buku yang dijadikan sumber orientalis itu tidak banyak (untuk penelitian keislaman), bahkan, buku-buku yang mereka jadikan rujukan itu tidak terlalu signifikan posisinya, dan banyak juga orientalis yang menulis sesuai dengan motivasi atau pemahaman yang sudah mereka yakini semua.
Kedelapan, karena itulah, Smith mendorong orang-orang Islam yang menguasai bahasa asing, untuk menerjemahkan karya-karya keislaman berbahasa Arab ke bahasa mereka sehingga orang-orang barat baik yang punya motivasi orientalisme atau tidak sama sekali bisa bisa mengambil manfaat dari buku di dunia Islam tersebut.
Demikian kisah Karl von Smith, insiyur Belanda keturunan Jerman yang masuk Islam dan menjadi murid langsung Mbah Hasyim Asy’ari. Dikisahkan Asad, Karl saat perang Kemerdekaan, beliau di pihak orang-orang Indonesia yang membuat pemerintah Hindia Belanda geram dan ingin menangkapnya hidup atau mati.
Untungnya, saat Agresi Belanda ke Indonesia berakhir, beliau kembali pulang ke Jerman dan tinggal di Harmburg. Dalam temuan Asad, saat Asad kembali bertemu Karl di tahun 1965 di Hamburg, Karl adalah sosok yang religius, biasa mendakwahkan Islam ke sesamanya, hingga shalat tepat waktu. (AN)
Wallahu a’lam