Pada 23 dan 24 Juni sebuah acara spesial terjadi di Amsterdam: “The Festival of Literature: Writers in the time of War and Immigration”. Perhelatan itu berlangsung di Pages Bookstore Cafe Amsterdam, sebuah bookstore cafe baru yang didirikan oleh seorang pengungsi dari Syria dan baru dibuka beberapa minggu yang lalu.
Orang yang mendirikan cafe itu adalah Samer al-Kadri. Tahun 2015 Samer mendirikan Pages
Bookstore Cafe pertama di Istanbul. Persis dua tahun setelah itu Amsterdam berikut dengan
tempat Pages yang kedua. Samer berkata dalam video perkenalan Pages Bookstore Cafe: “Bisa dikatakan bahwa Pages adalah buku-buku, musik, seni, dan banyak kasih sayang. Itulah Pages. Tempat untuk membagi kebudayaan kita, untuk silaturrahim, untuk menikmati, untuk membaca. Akhirnya tidak ada aturan apapun. Tempat ini serba terbuka untuk semua.” Samer juga mempunyai mesaj untuk semua orang di dunia: “Jangan menilai orang lain sebelum kamu mengenal dia.”
Seperti ditekankan oleh Samer Pages bukan bookstore saja. Juga bukan cafe biasa. Lebih dari itu. Slogan Pages juga membahana cita-cita itu: “Pages. It’s your home.” Makna slogan itu dijelaskan lebih lanjut di website mereka: “tempat untuk kita semua, Pages adalah kita! Pages adalah untuk seniman, pelukis, pemain musik, dan pembuat film. Pages menyambut semuanya. Dan mengalu-alukan semua yang ingin menyebarkan kebahagiaan dan kasih sayang. Inilah rumah kita… dan tempat yang menyatukan kita dengan mengesampingkan nasionalitas, agama, atau bangsa. Tempat yang dibuat untuk semua manusia.”
Ada satu hal yang menonjol dalam Pages: buku-buku, buanyak. Teh, kopi, dan air putih bisa diminum gratis. Samer menjelaskan dalam videonya: “Sastra adalah sesuatu hal yang sangat penting untuk kita. Itulah masa depan.” Dia berencana untuk mengadakan banyak kegiatan tentang sastra dan seni. Tambahan lagi, live musik akan dimainkan setiap hari sabtu di Pages.
Impian Samer adalah membuka Pages di Syria. Dia sudah mulai mengerjakan bookstore cafe
di kota Idlib dan Ghouta, tetapi dalam keadaan perang dia mengalami kesulitan untuk
meneruskan itu pada saat ini. Samer ingin membuka Pages Bookstore Cafe di negeri-negeri lain juga, kalau bisa di seluruh dunia. Mungkin suatu hari nanti di Indonesia?
Perhelatan sastra yang diadakan di Pages Amsterdam mulai hari jumat lalu dengan tema
perang dalam sastra, sementara hari berikutnya hijrah dalam sastra dipilih sebagai pokok
bahasan. Acara pada hari kedua direkamkan untuk saluran TV al-Arabi yang bertempat di
Qatar. Seorang penerjemah asal Tunisia menerjemah dari bahasa Arab ke bahasa Inggris dan sebaliknya saat itu perlu. Pembicaraan dan diskusi dipengacara oleh jurnalis Belanda bernama Paul Alexander.
Yang hadir selama kedua hari itu adalah empat orang sastrawan Syria yang telah mengungsi
dari tanah air mereka: penulis cerpen dan novel Mansour Almansour, penyair Wafai Laila,
penulis novel Ghiath Kaddah dan jurnalis dan penulis novel Abdualla Maksour. Mansour dan
Wafai keduanya bertempat tinggal di Swedia, Ghiath di Belanda dan Abdualla tinggal di Belgia.
Ada juga seorang sastrawan perempuan dari Kuwait, yaitu Estabraq Ahmad. Selain mereka,
dua penulis Syria yang sekarang tinggal di Istanbul, yaitu Ali Safar dan Najm Aldin Samman, bergabung dari Istanbul lewat Skype. Hari jumat ada juga dua pemusik yang membahagiakan suasana: Osama Badawi, pemain oud yang bergabung lewat Skype dan Ahmed Ashram, seorang pemuda yang main gitar sambil menyanyi. Musik Ahmed, yang biasanya bermain dengan band AMN, adalah campuran suara dan sifat Arab bersama suara dan sifat Barat.
Pada perhelatan sastra ini semua orang sastrawan tersebut membaca bagian dari novel, cerpen, atau syair mereka. Setelah pembacaan ada waktu untuk bertanya dan berdiskusi tentang karya mereka dan juga tentang sastra Syria pada umumnya.
Mansour Al-Mansour dalam novel Tidak Seperti Dulu (bahasa Inggris: Not as it once was)
menceritakan tentang kehidupan pahit dalam penjara. Dia sendiri pernah dipenjarakan oleh
rejim Syria karena dia bergabung dengan partai oposisi kiri. Mulai tahun 1983 sampai 1991 dia
hidup dalam ruang kecil dengan 50 narapidana yang lain. Orang yang berpendidikan tinggi
seperti Mansour bisa bertahan hidup dalam penjara memakai cara kreatif. Misalnya, dalam
ruang sempit itu dia bersama teman-teman memainkan karya teater yang mereka ingat dari
kehidupan mereka sebelum di penjara. Begitu narapidana politik mencoba untuk
merekonstruksi hidup mereka yang dulu.
Mansour yakin bahwa perang di Syria akan menimbulkan banyak karya sastra baru. Karena
terlihat dari sejarah manusia, perang selalu menghasilkan sejumlah besar cerita dan syair.
Perang menyebabkan penderitaan. Biasanya kalau seorang menderita, dia akan
mengekspresikan diri. Kaum penulis mengucapkan penderitaan itu dalam karya mereka.
Sebagai contoh Mansour menyebut karya Tolstoy: Perang dan Perdamaian. Dia juga
membandingkan perang Syria dengan perang sipil Spanyol dalam tahun tiga puluhan, yang
telah mengakibatkan banyak karya sastra.
Mansour meramalkan sebuah gerakan seni Syria baru: “Penyair akan menciptakan sebuah
bahasa yang baru. Gelombang surrealisme dalam seni telah diakibatkan oleh Perang Dunia
Pertama. Setelah perang itu manusia menyuarakan penderitaan mereka dalam seni.
Tahun-tahun mendatang kita akan melihat jenis musik, syair, film, dan novel Syria baru.
Pemusik-pemusik Syria sudah sedang membuat musik yang berbeda dengan yang dulu, yakni pakai gaya baru.”
Namun, Mansour mengaku bahwa orang Syria butuh banyak waktu untuk menyuarakan semua pengalaman perang dalam sastra; menurut dia butuh beberapa generasi dan kira-kira seratus tahun. Estabraq Ahmad dari Kuwait setuju dengan Mansour. Dia bercerita bahwa setelah pendudukan Kuwait oleh Irak orang-orang di Kuwait terlalu termangu dan emosional untuk memahami apa yang telah terjadi. Mereka juga butuh waktu untuk mencerna pengalaman pahit itu.
Tetapi semua penulis yang hadir menekankan bahwa sekarang juga sangat penting untuk terus menulis karya-karya sastra baru tentang perang di Syria. Apakah sastra itu sudah sedang dibaca banyak orang bukan soal utama sekarang, asal pembuatan sastra diteruskan, begitu berkata Ali Safar. Najm Aldin Samman mengucapkan bahwa tanpa membangunkan
kebudayaan baru, mereka akan menghilang Syria untuk selamanya.
Najm, sebagai penulis cerpen, penulis teater, editor majalah dan jurnalis, sudah menerbitkan
banyak karya. Di Istanbul dia sekarang mengedit majalah Syria, Tawasoul, yang diterbitkan tiap bulan. Dia berkata: “Sekarang saya bisa menulis hal-hal yang sebelum revolusi saya tidak bisa menulis. Akhirnya saya mempunyai kebebasan tetapi tanpa negeriku; saya menghilang negeriku tapi diperoleh kebebasan.
Suasana perhelatan sastra di Pages cukup menyenangkan dan informal. Sabtu malam
sastrawan bersama tamu-tamu makan bersama di sebuah restoran Syria. Selama pesiar itu ada cukup kesempatan untuk bersilaturahim. Seorang tamu muda bercerita bahwa dia orang Raqqa dan telah melarikan diri dari ISIS. Waktu itu dia bekerja untuk Dokter Lintas Batas (Doctors without Borders, MSF) dan ISIS pernah mencuriga bahwa dia mata-mata Eropa, ingin menahan dia. Maka dengan cara diam-diam dia pergi dari sana dan sekarang tinggal bahagia di Amsterdam. Saat ini dia mengerjakan sebuah proyek dengan munisipalitas Amsterdam agar
menolong pengungsi-pengungsi di beberapa kota Eropa.
Penyair Wafai Laila, dengan syairnya “Nama Saya, Empat Angka” (My name, Four Digits)
menceritakan tentang hidup baru setelah hijrah ke Swedia. Wafai adalah orang Kurdi tetapi
pertama menganggap dirinya sebagai orang Syria. Dia mengingat lingkaran hidup di Damascus sebagai masyarakat yang beragam dan toleran dengan kebudayaan yang bersemarak dan gotong-royong kompak antara kelompok-kelompok yang berbeda agama dan bangsa. Oleh karena latar belakang yang toleran itu, Wafai dan teman-teman Syria lain tidak mengalami kesulitan untuk hidup di Eropa. Dia berkata: “Kami bisa cepat memahami dan mencerna nilai-nilai komunitas di lingkaran hidup baru kami di Eropa. Kami sebagai sastrawan juga sedang menciptakan bahasa baru yang bersifat bebas karena kami sekarang, yakni di keadaan
pembuangan, dikelilingi oleh suasana kebebasan. Jadi, sastra kami yang dulu didiamkan akhirnya bisa mempunyai suara.”
Optimisme dan sikap positif Samer dan teman-temannya sungguh menakjubkan dan
membangkitkan semangat pada semua tamu yang hadir hari-hari itu. Walau
pengungsi-pengungsi Syria itu telah mengalami perang dan perusakan, namun mereka tetap
percaya pada keindahan hidup di dunia ini.
Najm menyimpulkan diskusi dengan pendapat optimis: “Syria adalah kalbu alam Arab. Ini bukan pertama kali Syria dihancurkan. Sejarah tercatat bahwa sudah tujuh atau delapan kali Syria hancur tetapi setiap kali memugar diri. Artinya kali ini juga kita akan memugar walau butuh waktu.”