Sisi Ilmiah Masjidil Aqsha; Tempat al-Ghazali Menulis Ihya Ulumuddin

Sisi Ilmiah Masjidil Aqsha; Tempat al-Ghazali Menulis Ihya Ulumuddin

Sisi Ilmiah Masjidil Aqsha; Tempat al-Ghazali Menulis Ihya Ulumuddin

Akhir-akhir ini, mungkin linimasa dan topik obrolan kita dipenuhi seputar permasalahan konflik Palestina dan Israel. Konflik itu sudah berlangsung selama bertahun tahun dan sudah menelan ribuan nyawa. Hingga saat ini belum ada solusi atas tragedi kemanusiaan tersebut.

Dalam tulisan ini penulis tidak ingin menulis tentang itu, mari sejenak menengok kembali jejak tanah suci tersebut di masa lalu, jauh sebelum kaum zionisme menjajahnya. Mengingat, tanah bersejarah itu memiliki banyak sekali peran penting dalam lintasan sejarah umat manusia. Tanah itu merupakan tanah suci dari tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi. Ketiganya mempunyai ikatan emosional dan historis dengan tanah bersejarah itu. 

Namun semenjak dahulu, Masjidil Aqsa yang berada di yerusalem tersebut selain menjadi tempat yang suci, juga sekaligus menjadi tempat persebaran pengetahuan yang dominan di wilayah tersebut.

Semenjak abad pertama Hijriyah, Keberadaan masjidil Aqsa sudah menjadi pusat aktivitas intelektual di kawasan tersebut. Masjid sebagai pusat peradaban, tidak hanya menjadi tempat untuk menunaikan ibadah kaum muslimin, juga sekaligus menjadi tempat untuk bertukar pengetahuan. Memang pada saat awal ditaklukan Sayyidina Umar, bentuk pendidikan yang ada di Masjidil Aqsa tidak terstruktur secara formal. Masyarakat secara alamiah datang ke masjid sekaligus untuk belajar al-Qur’an mendengarkan riwayat-riwayat hadits kepada ulama setempat atau ulama yang kebetulan berziarah di sana.

Lambat laun, persebaran pengetahuan di Masjidil aqsha mengalami perkembangan. Jika pada asalnya proses transfer pengetahuan berjalan secara alamiah; antara santri yang butuh ilmu kepada ulama yang ada disana. Kemudian sedikit demi sedikit proses tersebut sedikit terlembagakan. Sekalipun tidak secara formal, mulai ada semacam madrasah-madrasah di sana.

Ibrahim b. Abi ‘Ablah (w. 152 H) seorang ulama yang pernah berkunjung di Baitul Maqdis menyaksikan, betapa perkembangan Masjidil Aqsa juga disokong oleh pemerintah setempat. Sebagaimana yang dinukil oleh ad-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala:

رحم الله الوليد! وأين مثل الوليد؟ افتتح الهند والأندلس، وبنى مسجد دمشق (= الجامع الأموي)، وكان يعطيني قطع الفضة أقسمها على قُرَّاء مسجد بيت المقدس”

“Semoga Allah merahmati al-Walid, Mana ada pemimpin seperti al-Walid? Ia sudah menaklukan Hindia dan Andalusia, membangun masjid Damaskus (Masjid Jami Umayah), ia juga memberiku sebongkah emas yang aku bagikan kepada para ulama yang ada di Baitul Maqdis”

Dukungan politis dan finansial tersebut, pada akhirnya mengantarkan halaqah keilmuan yang ada di Masjidil Aqsa menjadi pusat episentrum keilmuan, sekaligus menjadi salah satu pusat persebaran mazhab fikih pada saat itu. Banyak sekali ulama dan karya yang lahir dari sini.

Ibnul Arabi, seorang mufasir dari Mazhab Maliki yang pernah berkunjung di Masjidil Aqsa pernah memberikan kesaksian, sebelum tanah Yersualem jatuh di tangan tentara salib.

“Ketika ditengah perjalanan dari Mesir ke Syam dan sampai di Baitul Maqdis” katanya dalam al-Awashim min al-Qawashim. “Aku menemukan 28 halaqah keilmuan. Yang kesemuanya tersebut berinduk pada dua madrasah besar, madrasah syafiiyah di Pintu Asbath dan Madrasah Hanafi Kanisah Qiyamah atua dikenal Madrasah Abi Uqbah”

Ketika Yerusalem ditaklukkan oleh tentara salib, secara otomatis aktivitas ilmiah disana sedikit terhenti. Mau tidak mau, karena posisi masjid juga tergeser, dan diubah statusnya menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).

Angin segar kembali datang menghampiri denyut keilmuan di Masjidil Aqsa, setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dapat menaklukan kembali tempat suci itu pada tahun pada tahun 573 H/1187 M. Setelah ditaklukkan komplek masjidil Aqsa didirikan Madrasah an-Nusraniyyah. Aktivitas keilmuan pun kembali berdetak, seiring perbaikan ekonomi dan tatanegara pasca penaklukkan.  

Sultan Sholahuddin al-Ayyubi pun mengembalikan fungsi dari madrasah Syafi’iyah dan mewakafkan banyak sekali asetnya demi kepentingan madrasah tersebut. Madrasah tersebut dipegang dan dikelola oleh Qadhi Bahauddin b. Syidad al-Mushili (w. 632 H). 

Jabatan tersebut setelah era kepemimpinan Mamlukiyah di Mesir dijabat seumur hidup dan ketika ada yang wafat, digantikan oleh ulama yang kompeten di zamannya.  Seperti jabatan  Grand Syekh Al-Azhar yang kita kenal saat ini. 

Setelah Madrasah Shalahiyah, dua abad setelahnya ketika masa akhir dinasti mamlukiyah berkuasa di Mesir, tepatnya pada masa kepemimpinan Asyraf Sayfuddin Qa’it Bay (w. 901 H), ia menginstruksikan untuk membangun madrasah baru yang disebut madrasah Asyrafiyah pada tahun 887 H. Pada masa itu madrasah yang baru diresmikan itu menjadi salah satu pionir madrasah dengan konstruksi bangunan yang megah. 

Bahkan, al-Ulaimy menyebut, “jika kompleks baitul maqdis mempunyai dua ikon menarik yang selalu dikenang masyarakat (kubah emas dan kubah)” ungkapnya dalam al-Uns al-Jalil bi Tarikh al-Quds “Maka keberadaan madrasah Asyrafiyah di kompleks Baitul Maqdis adalah ikon nomor tiganya, saking undahnya”. 

Al-Ulaimy juga mencatat di masanya ada 40 madrasah yang aktif di sekitar Masjidil Aqsa. Mazhab dan ideologi yang diajarkan pun beragam, tidak dimonopoli satu mazhab khusus. Untuk mazhab Hanafi ada madrasah al-Muaddzomiyyah yang didirikan oleh salah satu penguasa cum ulama dari dinasti Ayyubiyah, yakni syekh Muaddzam Isa b. Adil (w. 624 H). Mazhab Maliki diwakili oleh Madrasah al-Afdzoliyyah, dan masih banyak madrasah lainnya yang kesemuanya merupakan representasi dari kuatnya jaringan keilmuan yang dibangun diatas tanah suci Yerusalem tersebut.

 al-Ghazali dan Ihya Ulumuddin

Tanah suci nan magis, Baitul Maqdis, atau kita kenal sekarang sebagai Masjidil Aqsa, pun tak henti-hentinya melahirkan hal besar. Sebagaimana yang disinggung diatas, jaringan keilmuan yang kuat membuat pesona Baitul Maqdis tidak hanya berhenti soal tanah bersejarah yang begitu suci. Akan tetapi juga daya tarik keilmuan yang dibangun diatasnya. Hal ini juga kita lihat dalam kisah populer dari Hujjatul Islam, Imam Ghazali. Konon ia melahirkan masterpiecenya yakni Ihya Ulumuddin di tempat bersejarah ini.

Ibnu Katsir dan Ibnul Jauzi dalam masing-masing kitab sejarahnya mencatat hal ini. Ibnu Katsir mengenang perjalanan al-Ghazali ini terjadi tepat di bulan Dzulqo’dah al-Ghazali memutuskan keluar dari madrasah Nizamiyah dan memilih untuk mengembara meninggalkan segala prestise, popularitas, dan fasilitas sebagai ulama di Baghdad. Kemudian memilih hidup zuhud dengan mengembara menemukan hakikat hidup. Destinasi yang pertama ia tuju menurut catatan Ibnu Katsir adalah Baitul Maqdis atau yang sekarang kita kenal dengan Masjid al aqsha. 

Posisi dan kedudukan mengajar di Baghdad digantikan oleh saudaranya. Ketika di Baitul Maqdis ini dipercaya sebagian sejarawan sebagai salah satu tempat ia menulis. Al-Ulaimi mencatat tempat yang dipercaya sebagai menulis itu adalah di sebuah kamar kecil, tidak terlalu besar di ruang bwah tanah. pintu rahmah (bab rahmah) atau yang dulu dikenal sebagai pintu Nashiriyah. Sebelah timur Masjidil Aqsa. Al-Ghazali tinggal di sana selama beberapa tahun untuk berdzikir, mujahadah, tafakur dan menulis. 

Ruang tempat uzlah al-Ghazali yang terletak di bagian belakang masjid masih terpelihara baik hingga hari ini. Di kamar yang tidak terlalu besar di ruang bawah tanah, di balik dua pintu dan di bawah kubah kembar. Letaknya persis di belakang Gerbang Emas (The Golden Gate, Bab al Dhahabi), salah satu dari delapan gerbang yang merupakan pintu akses keluar-masuk Kota Kuno Yerusalem. Tidak jarang dulu al-Ghazali tampak duduk termenung dan menuangkan gagasan-gagasan cemerlangnya dalam kitab Ihya’ itu di atas tembok Gerbang Emas tersebut. Imam Ghazali menghabiskan waktunya dalam kesendirian yang utuh. Sayang ruang itu kini telah ditutup untuk umum.