Sudah rahasia umum jika Joko Widodo adalah capres yang paling anti terhadap Islam. Pada beberapa kesempatan ia kerap kali memposisikan diri sebagai orang yang paling anti terhadap islam. Kita harus sadari ini sebagai sebuah fakta, bukan sekedar kampanye gelap. Tapi perlu dipahami, islam apa yang dibenci dan dijauhi oleh Jokowi?
Kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa umatnya “kelak akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan yang berbeda-beda,” ini adalah sebuah peringatan “dan hanya satu dari mereka yang selamat,” lalu ini adalah harapan. Tapi apa kaitannya Jokowi dengan perpecahan umat? Saya menuduh secara yakin dan percaya diri bahwa Jokowi adalah orang anti islam yang menebar kebencian. Ia adalah orang yang secara terbuka mengatakan bahwa ia adalah kelompok islam yang rahmatan lil alamin.
Jokowi tentu saja bukan bagian dari kelompok genit bernama khawarij, kelompok sempalan yang mengaku islam, namun gemar menyerukan kebencian dan pengkafiran. Apakah Jokowi pernah mengatakan bahwa yang tak setuju padanya adalah bukan islam? Tidak, lebih dari itu, Jokowi dengan konsisten dan terus menerus mengatakan bahwa ia bagian dari kelompok islam yang mengutamakan kemanusiaan, bahwa hubungan sesama manusia lebih penting daripada memaksakan aqidah dengan kekerasan.
Orang orang yang menyerukan kekerasan, kebencian dan peperangan terhadap kelompok yang berbeda dengannya adalah muslim yang tidak paham tauhid. Mereka bisa dengan ajaib dan hebat memberikan vonis kafir, sesat, bid’ah dan salah hanya dengan kabar yang kabur. Menarik juga bagaimana mereka bisa mengadili niat orang lain, kelompok syiah misalnya, dengan dusta karena berbohong ta’qiyah. Padahal Khalifah Umar pernah berkata, ”Nahnu nahkum bidzzhawahir, wallahu yatawallas saraair, bahwa kita manusia hanya bisa menghakimi yang tampak, sementara perihal yang tersembunyi dalam hati Allah saja yang mengetahui.
Jokowi anti terhadap islam yang ragu, takut dan standar ganda. Saya percaya ini karena Jokowi tidak anti terhadap keberadaan Kang Jalalludin Rahmat yang intelektual Syiah. Berbeda dengan kelompok sebelah yang diwakili oleh Sekjen PKS Taufik Ridho panas dingin ketakutan dan mengatakan bahwa Syiah dan Ahmadiyah mengganggu stabilitas nasional. Iman yang kuat tidak akan terganggu dengan ribuan godaan dunia, sementara iman yang lemah akan gampang patah meski dengan jutaan jaminan surga.
Saya sendiri ingin bertanya kepada PKS yang mengaku sebagai partai dakwah itu. Sebenarnya apa standar “instabilitas bangsa” itu? Apakah kredo love for all, hatred for none milik kelompok Ahmadiyah adalah seruan kebencian? Apakah mencintai Ahlul Bait dan mengamalkan dzikir kepada kanjeng nabi seperti yang dilakukan oleh kelompok Syiah Sampang itu adalah pernyataan perang? Ada kelompok yang mengaku Islam dengan mudah membunuh, mengusir, menyakiti dan memerangi sesamanya hanya atas dasar kemurnian aqidah. Tapi aqidah macam apa?
Jokowi anti terhadap islam yang serupa benalu. Tahukah kalian apakah islam benalu itu? Mereka yang ingin mengganti sistem demokrasi dan pancasila dengan kilafah. Mereka yang mengatakan demokrasi adalah sesat dan berbahaya, namun menikmati kebebasan berpendapat di dalamnya. Jika Syiah dan Ahmadiyah yang telah lama ratusan tahun dalam sejarah nusantara ini disebut mengganggu stabilitas negara, disebut apakah kelompok Hizbut Tahrir Indonesia yang ingin mengubah pancasila menjadi kilafah?
Menarik juga bagaimana Hafidz Ary, seorang yang mengaku simpatisan PKS yang Anti JIL dan Anti Paulus, mengatakan bahwa “satu2nya alasan milih jokowi ya kemungkinan krn lu anti Islam aja. sesederhana itu” apakah kita perlu membantah? Saya kira tidak. Saya untuk pertama kalinya setuju dengan pemikiran Hafidz Ary, Jokowi Anti Islam, siapapun yang mendukungnya adalah orang yang setuju dengan perlawanan terhadap islam. Islam yang dibajak untuk mengabarkan kebencian, permusuhan dan melegitimasi kejahatan.
Saya percaya bahwa pengetahuan Hafidz Ary tentang Tauhid, Fiqih dan Sejarah Islam begitu mendalam sehingga ia punya otoritas dan kuasa mengatakan demikian. Karena seperti yang saya ketahui ketika belajar dekat pondok pesantren, bahwa sebuah fatwa atau pernyataan berkaitan dengan hukum agama hanya boleh dikeluarkan oleh mufti. Sang mufti ini mesti menyandarkan dirinya dengan pemahaman yang tuntas dan dalam terhadap Al Qur’an dan Hadist.
Imam Syafi’I dengan ketat dan tegas menyaratkan bahwa seorang mufti harus menguasai Qur’an dan Hadist, nasakh-mansukhnya (dalil yang diralat dan yang meralatnya), takwil-tanzilnya, dan tentu saja asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya) dan asbabul wurud (kronologi)-nya. Karena Qur’an-Hadist berbahasa Arab, maka seorang mufti juga harus pandai berbahasa Arab dengan segala istilah dan ragam bunyi, tulis dan pembacaannya.
Mengapa menjadi seorang mufti sangat rumit? Karena mufti berkaitan dengan umat apabila terjadi salah tafsir terkait makna sebuah ayat atau hadist maka runyamlah umat yang percaya padanya. Dari sini saya memandang bahwa saudara Hafidz Ary pastinya sudah sangat menguasai ushul fikih dengan baik, dan terpercaya serta jujur. Bahkan ia dengan konsisten dalam twit maupun blognya menyerukan Anti JIL dan Anti Paulus. Meski saya ragu ia paham bahwa katolik itu tidak mudah apalagi mengatakan bahwa Paus Franciskus itu berusaha mengkristenkan Indonesia.
Tapi tak apa, dengan latar belakang sosok Hafidz Ary yang demikian terpercaya, saya percaya padanya jika mendukung Jokowi berarti anti Islam. Saya sendiri anti pada islam, yaitu Islam abal-abal yang hanya digunakan untuk merusak dan membunuh manusia yang berbeda dengan pahamnya. Saya memprokamirkan diri anti pada Islam, Islam palsu yang gemar mengkafirkan dan menyakiti orang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Bagi saya pilihan selalu sederhana, bahwa Allah tuhanku yang maha cinta, mengajarkan kasih sayang kepada manusia bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah menghamba kepadanya, bukan mengkafirkan sesama.
Saudara Hafidz Ary yang pakar agama itu benar sekali dalam hal ini, pilihan kita sederhana, apakah anda mau ambil bagian dalam kelompok islam yang memerangi umat lain dengan pentungan dan setrum listrik seperti di Jogja. Atau menyerukan islam yang penuh perdamaian dan kasih sayang untuk hidup harmonis. Apakah anda mau bergabung dengan Islam versi Ja’far Umar Thalib yang siap berjihad melawan plularisme dan keberagaman, atau bergabung dengan Islam versi kanjeng Nabi Muhammad yang diajarkan Allah dalam Al Hujuraat.
Wa in thaifataani min al-mukminin ‘qtataluu fa-ashlihu bainahum, bahwa jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang dan konflik maka damaikanlah keduanya. Jadi Islam mana yang akan anda pilih?