Tidak peduli muda maupun tua, cerita kenikmatan surga selalu dibayangkan dan diinginkan. Paling tidak, itu yang kerap diajarkan sedari kecil. Selain berlomba-lomba melakukan kebaikan untuk mendapat ridho Allah, manusia juga berharap balasan atas usaha kebaikannya di dunia.
Keindahan dan kenikmatan surga digambarkan dengan segala keinginan akan terpenuhi. Salah satu kenikmatan surga dinyatakan jika laki-laki akan dilayani oleh bidadari, dan sang istri menjadi bagian dari bidadari tersebut
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah. Jika aku sebagai anak : kasihan mama di surga nanti, karena papa dengan perempuan-perempuan lain?
Sebagai perempuan: lalu kebahagian apa yang aku dapatkan untuk diriku sendri atas usahaku di dunia, jika di surga nanti aku harus melayani laki-laki?
Apakah aku akan dilayani juga oleh bidadara? Tapi dalam Al-Quran hanya menyebutkan adanya bidadari. Kenapa hanya laki-laki yang dilayani, padahal akupun menginginkan untuk dilayani?
Ayat Al-Quran yang menggambarkan kenikmatan laki-laki masuk surga dan dilayani perempuan, seolah-olah menafsirkan ketika laki-laki baik mendapatkan bidadari di surga, tetapi perempuan hanya menjadi pelayan suami di surga membuat Asma’ binti Umais r.a, istri Ja’far bin Abi Thalib r.a menemui keluarga Rasulullah menanyakan, apakah ada ayat Al-Quran yang turun dan mengapresiasi perempuan?
Hal ini seperti yang dikisahkan Imam al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil jika saat itu Asma’ binti Umais tidak mendapatkan jawaban, sehingga pergi menemui Rasulullah SAW dan mengadu jika perempuan sangat merugi karena kerja dan kiprah perempuan tidak disinggung Al-Quran, sebagaimana kerja laki-laki yang diapresiasi Al-Quran.
Tidak hanya Asma’ binti Umais r.a yang mengadu pada Rasulullah SAW terkait eksistensi dan apresiasi terhadap perempuan dalam Al-Quran, Umm Salamah r.a serta Nusaibah binti Ka’ab r.a pernah mengadu kepada Rasulullah SAW, sebagaimana yang diceritakan dalam Sunan At-tirmidzi no. 3295 dan Musnad Ahmad bin Hambal no.27218 dan 27246 dalam Qiraah Mubadalah.
Umm Salamah r.a berkata “Wahai Rasul, mengapa (kiprah) kami (para perempuan) tidak diapresiasi al-Quran sebagaimana laki-laki, sementara Umm ‘Ammarah (Nusaibah binti Ka’ab r.a) mengatakan “Sepertinya, segala sesuatu hanya untuk laki-laki, saya tidak melihat perempuan disinggung (al-Quran) sama sekali”.
Kisah-kisah tersebut menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat yang mengapresiasi kinerja perempuan, seperti QS. Al-Mu’minun [40] ayat 40, QS. Ali Imran [3] ayat 195 berikut ini.
مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا ۖ وَمَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab (QS. Al-Mu’minun [40] ayat 40)
فَٱسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لَآ أُضِيعُ عَمَلَ عَٰمِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّنۢ بَعْضٍ ۖ فَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَأُخْرِجُوا۟ مِن دِيَٰرِهِمْ وَأُوذُوا۟ فِى سَبِيلِى وَقَٰتَلُوا۟ وَقُتِلُوا۟ لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّـَٔاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلثَّوَابِ
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS. Ali-Imran [3] ayat 195)
Dari redaksi contoh ayat-ayat tersebut diketahui secara jelas jika Allah SWT mengapresiasi seseorang berdasarkan kinerja, bukan dari jenis kelamin. Penjajaran kata ‘laki-laki dan perempuan’ adalah bentuk kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT, keutamaan bukan terletak pada jenis kelamin yang melekat, tapi pada amal perbuatan yang dilakukan.