Ketika Nabi Muhammad Saw mengutus para sahabatnya ke Yaman, Nabi berpesan tidak boleh memerangi penduduknya. Apabila penduduk Yaman mengawali menyerang, maka delegasi yang dipimpin oleh Mu‘adz bin Jabal itu tidak boleh membalasnya, hingga apabila ada di antara sahabat yang dibunuh maka perlihatkan jenazahnya kepada orang-orang yang membunuh sembari dikatakan kepadanya bahwa nyawa satu orang lebih baik daripada tempat di mana matahari terbit dan terbenam. (Abu Zahrah, 1425 H: II, 516).
Dalam QS. Al-Maidah 32 dinyatakan membunuh satu orang sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan, memelihara kehidupan satu orang seakan ia memelihara kehidupan manusia semuanya. Dalam kondisi aman maupun perang Nabi Muhammad selalu menegaskan kepada para sahabatnya supaya menjunjung tinggi hak hidup, baik hak hidup sendiri, keluarga maupun orang lain.
Perang berbeda dengan jihad. Tidak semua perwujudan jihad berupa perang, juga tidak semua perang dikatakan jihad. Perang yang dilakukan Nabi Muhammad dan sahabatnya dikatakan jihad karena untuk mempertahankan diri (ad-difa’) dari serangan orang-orang yang menyerangnya terlebih dahulu demi menjaga hak hidup bersama.
Saat Nabi Saw berada di Makkah, Nabi tidak melakukan perlawanan. Berbagai serangan masih dihindari. Ketika nyawa Nabi sudah terancam, Nabi memilih untuk hijrah atau pindah ke Madinah. Namun, orang-orang Quraisy yang memusuhi Nabi masih tetap mengejarnya hingga pada akhirnya Nabi Muhammad dan sahabatnya terpaksa berperang dalam rangka membela diri dari serangan.
Dalam berperang Nabi selalu mewanti-wanti kepada sahabatnya supaya tidak melakukan pembunuhan ketika orang-orang yang menyerangnya sudah kalah. Kalau pun terpaksa ada yang mati, maka Nabi melarang melakukan mutilasi. Akhlak mulia Nabi Muhammad ini sangat jauh dari tradisi masyarakat Arab saat itu yang memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, juga dendam kesumat kerap diwujudkan dalam bentuk mutilasi sebagaimana Hamzah paman Nabi Muhammad yang dimakan jantungnya dan dipotong-potong anggota tubuhnya dalam perang Uhud.
Sekilas sejarah di atas, memberikan gambaran bahwa Nabi Muhammad Saw tidak pernah menghendaki pertumpahan darah. Jihad sebagai ajaran Islam maknanya bukan memberi kematian terhadap diri sendiri atau orang lain, tapi justru sebaliknya, yakni menjaga hak hidup diri sendiri dan orang lain.
Ar-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H) dalam karyanya, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur`an mendefinisikan jihad sebagai upaya untuk menolak musuh, baik musuh yang nyata (al-‘aduww al-dzahir) maupun tidak, yakni hawa nafsu dan syaitan. (1412 H: I, 208). Penolakan terhadap musuh berarti menjaga diri dan orang lain dari kezaliman yang dilakukan orang-orang secara langsung maupun oleh sistem sosial, ekonomi dan politik dengan cara menghilangkan kezalimannya, bukan mentiadakan atau membunuh pelaku kezalimannya.
Contoh konkrit atas jihad dalam arti perang melawan musuh berupa manusia seperti yang dilakukan Nabi Muhammad dalam menolak kezaliman orang-orang Quraisy. Nabi tidak membunuh para pelakunya, tapi menghilangkan tindakannya hingga para musyrikin Quraisy kemudian takluk. Sikap Nabi seperti ini yang menjadikan penaklukkan Makkah (fath Makkah) bebas dari pertumpahan darah.
Dalam literatur fikih dijelaskan bahwa bagian dari jihad yaitu menolong orang-orang yang kelaparan, baik muslim maupun penganut agama lain. Juga memberikan pakaian terhadap orang-orang yang tak punya dan memberikan pengajaran agama terhadap orang-orang yang belum tahu, semuanya bagian dari jihad. (Al-Malibari, 2003: IV, 296).
Para ulama memasukkan aktivitas sosial di atas ke dalam jihad karena esensi dari jihad yaitu “memberi kehidupan” (li al-ihya`) bukan “mengantarkan kematian” (li izalah ar-ruh). Implementasi ajaran jihad seperti ini yang sesungguhnya sangat dibutuhkan, yaitu jihad dalam memerangi kemiskinan, penyakit, kebodohan, mencegah berita-berita bohong (hoax) dan aktivitas lainnya yang sangat membantu bagi keberlangsungan hidup umat manusia di manapun berada. Inilah jihad yang sesungguhnya.