Jika dianalisis dalam konteks zaman sekarang ini, maka dapat dipahami, bahwa dengan mengetahui proses terbentuk hukum perintah dan larangan dalam agama Islam, seseorang akan mengetahui rahasia makna atau dampak positif melaksanakan perintah dan dampak negatif menjauhi larangan Allah. Misalnya, dengan mengetahui rahasia ilmu tentang sesuatu yang diperintahkan, maka seseorang akan memahami manfaat dan makna kebahagiaan mengikuti perintah Allah.
Sebaliknya, dengan mengetahui rahasia ilmu tentang sesuatu yang dilarang Allah, maka seseorang akan memahami efek yang merugikan dan makna kesengsaraan yang akan dirasakan setelah melakukan apa yang sudah menjadi larangan Allah.
Karenanya, jika seseorang belum memahami proses terbentuknya perintah dan larangan serta dampak yang akan dirasakan dari keduanya, maka seseorang belum dikatakan telah berilmu. Dikatakan berilmu apabila sudah menguasai proses terbentuknya sebuah pengetahuan tentang larangan dan perintah serta dampak atau resiko yang akan dirasakan seseorang terkait dengan apa yang dijelaskan dalam lautan makna keilmuan.
Jadi, mengetahui perintah dan larangan saja belum cukup membentuk pengertian, kesadaran dan kesatuan energi positif seseorang. Oleh karena itu, supaya seseorang tidak hanya mengetahui sebatas pengetahuan literal, maka seseorang perlu memahami secara mendalam proses terjadinya keilmuan tentang perintah dan larangan. Bentuk keilmuan yang seperti ini memerlukan pemahaman, ketajaman, kepekaan, dan kesadaran yang tinggi terhadap amal perbuatan yang terkait dengan keutamaan dan kebaikan.
Sehubungan dengan konteks keilmuan inipun belum cukup menguatkan kepribadian atau kesadaran yang mendalam yang membentuk sikap seseorang, sebelum seseorang mencapai martabat kesadaran yang integral dengan pengetahuan yang bersumber atau memancar langsung dari Allah Jalla Jalaluhu. Model pencapaian pada martabat kesadaran yang integral inilah yang dimaksud dengan ilmu ma’rifat.
Jika membaca makna ilmu dan makrifat, seperti yang dimaksudkan oleh Imam Al-Ghazali, maka model perdebatan atau memperdebatkan teks kewahyuan justru dikatagorikan sebagai perbuatan yang tidak baik. Karena perdebatan tentang ilmu dan ma’rifat hanya akan melemahkan fungsi ilmu dan makrifat dalam konteks amal perbuatan keberagamaan seseorang, baik yang terkait dengan Allah maupun kesemestaan. Dalam kontek ini, menjadi jelas, bahwa ilmu bagi Imam Al-Ghazali, adalah untuk diamalkan bukan untuk diperdebatkan.
Selain itu, ilmu juga untuk dirasakan bukan untuk dipamer-pamerkan kepada yang tidak mengetahui proses terbentuknya ilmu dan kepada yang tidak mengalami apa yang diketahuinya (proses amal). Contoh beribadah dengan mempertebal jidat biar hitam atau mempertebal jubah biar terlihat tekstur sikap kesufian, adalah bentuk amal ibadah yang tidak didasarkam pada pondasi ilmu tentang ibadah yang disyariahkan dan ilmu tentang ibadah bathin yang menjadi amaliyah hati.
Sehuhungan dengan amal ibadah yang disyariahkan dan ibadah bathin yang menjadi amaliyah hati tersebut, telah diuraikan dalam teks kitab Minhajul Abidin berikut:
“Tsumma yajibu ‘alaika anta’lama ma yalzamuka fi’luhu min al wajibati as syar’iyyah ala maa umirta bihi litaf’ala dzalika wa maa yalzamuka tarkuhu min al manahi litatruka dzaalika, wa illa fakaifa taqumu bittha’ati la ta’rifuha. Maa hiya wa kaifa hiya wa kaifa yajibu anntaf’ala am kaifa tajtanibu ma’asyi laa ta’lamu annahaa ma’asyin hatta laa tawaqa nafsaka fii haa.”
Teks tersebut di atas diuraikan oleh Imam Al-Ghazali sebagai pengarang kepada pembaca. Hal ini menunjukkan kesadaran Imam Al-Ghazali yang telah memposisikan dirinya sebagai mutakallim yang sedang berbicara dengan pendengar atau pembaca teks minhajul abidin. Karenanya, Imam Al-Ghazali memposisikan pembaca sebagai mukhatab atau pihak kedua yang sedang diajak berdialog tentang pesan teks, baik secara literal maupun makna yang melampaui teks literal.
Sehubungan dengan teks kitab Minhajul Abidin di atas dapat dipahami menjadi bentuk pesan bebas kepada umat Islam yang tidak hanya terbatas pada pihak kedua (mukhatab) atau pembaca. Karenanya, perkenankan saya menganti penerjemahan kata ganti orang kedua menjadi umat Islam sebagaimana yang sudah terbebani hukum (mukallaf):
Sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengetahui apa saja tentang amal perbuatan seseorang yang sudah ditetapkan oleh syariah Allah. Misalnya, apa saja yang sudah diperintahkan supaya kamu melaksanakannya dan ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah sebagai bentuk larangan bagi umat Islam, agar meninggalkannya. Dengan demikian, tidak ada lagi dari kalangan umat Islam yang melaksanakan apa saja yang menjadi larangan Allah dan tidak ada umat Islam yang menjauhi apa saja yang menjadi perintah Allah.
Dalam teks ini, Imam Al-Ghazali, telah melanjutkan uraiannya, bahwa jika umat Islam tidak mengetahui hukum larangan dan perintah, bagaimana mungkin sebagai umat beragama dapat dapat melaksanakan sikap ketaatan kepada Allah, sementara umat Islam tidak mengetahui (tentang) prosedur pelaksanaan sikap ketaatan kepada Allah. Misalnya, tentang hal hal yang terkait dengan pertanyaan berikut: apa itu pengertian taat? Bagaimana proses pelaksanaan sikap atau perbuatan ketaatan seseorang jika suatu perbuatan itu dikatakan sebagai sebuah bentuk sikap ketaatan? Bagaimana proses terjadinya sebuah hukum sehingga seseorang telah diwajibkan menjalankan perintah ketaatan kepada Allah? Atau bagaimana seharusnya seseorang menjauhi amal perbuatan yang keji yang didasarkan pada keinginan hawa nafsu dan syahwat (kemaksiyatan), sementara itu seseorang tidak mengetahui mengaoa dikatakan maksiyat dan mengapa seseorang menjauhi kemaksiayatan dalam konteks kehidupan sehari hari?
Yang menarik dari model ketaatan seseorang kepada Allah, adalah tidak hanya berupa mengetahui formalitas perbuatan seseorang yang terkait dengan ibadah yang disyariahkan saja, seperti menjaga kebersihan, ibadah shalat, zakat, puasa, baik terkait dengan hukum dan syarat syarat yang terkait dengan hukum kewajiban (Fal ibadatussyariyyah ka at thaharah, wa as shalah, wa as syaum, wa ghairi haa yajibu anta’lamaha bi ahkamihaa wa syaraa-ithiha).
Model ketaatan seseorang kepada Allah tidak dapat dilepaskan dengan ibadah bathin yang langsung terkait dengan perbuatan hati seseorang. Karenanya, seseorang berkewajiban untuk mengetahuinya secara keilmuan, seperti mengetahui tentang prosedur yang benar dan cara penerapan yang tepat tentang sikap tawakkal, pasrah, rela, syabar, taubat, ikhlas dan ibadah bathin lainnya yang kesmuanya harus mengarahkan jiwa dan raga secara totalitas kepada Allah (Iydlan ‘ala al ibadah al bathinah al lathi Hiya masa’iya al qalb yajibu anta’lamaha min at tawakkal, wa at tafwidl, wa ar ridla, wa syabr, wa at taubah, wa al ikhlas wa ghairi dzalika).
Sehubungan dengan dasar dasar ibadah bathin, telah banyak diajarkan dalam teks kewahyuan. Beberapa teks kewahyuan yang telah dikutip oleh Imam Al Ghazzali, misalnya, perintah tawakkal (QS, Al Maidah/5:23), perintah bersyukur (QS. Al Baqarah/02: 173), perintah syabar (QS. An Nahl/:127), perintah ikhlas (QS. Al Muzammil/16:8). Ayat ayat ini, juga telah menunjukkam prinsip ibadah bathin bukan ibadah pendukung atau pelengkap ibadah wajibah as syariyyah, namun menjadi kunci ibadah wajibah as syariyyah.
Hal ini penting untuk menunjukkan, bagaimana seseorang beribadah tidak hanya mengukur dari aspek formalitasnya saja. Yang menjadi persoalan yang sangat membahayakan, adalah tata busana ibadah wajib as syariyyah berubah menjadi busana gerakan sosial politik umat beragama Islam untuk merebut kekuasaan atau untuk memenuhi rasa cinta dunia (hubb ad dunya), akhirnya, hanya Allah yang mengetahui rahasia unsur kesemestaan.
Analisis Konteks Sosial Politik
Sehubungan dengan teks minhajul abidin tersebut di atas dapat menjadi kerangka teoritik, bagaimana pentingnya ilmu untuk menguatkan pemahaman keagamaan di tengah relasi kuasa yang tidak seimbang. Misalnya, tentang bahaya orang yang tidak berilmu, maka akan mudah dikelabuhi atau dibohongi bahkan akan ikut serta bersama para pembohong yang hanya ingin untuk mendapatkan kedudukan dan harta benda, sehingga terjerumus dalam perbuatan yang buruk dan nista.
Yang lebih menyedihkan, telah banyak orang atau kumpulan orang yang menggunakan baju agama dan sorban, yang berbicara agama, namun hanya untuk kepentingan politik, kekuasaan, harta benda. Fenomena seperti ini, sudah banyak dijumpai dihampir pemandangan sudut kota dan desa.
Tentu saja, Islam mengajarkan untuk berpakaian yang baik, berbicara sesuai dengan prinsip ajaran agama. Agama Islam juga tidak melarang bekerja di dunia untuk mendapatkan bekal perjalanan menuju akhirat, namun bukan dengan jalan yang berbelok dari prinsip kebenaran. Yang perlu diperhatikan, bukan menjadikan simbol agama sebagai penutup kejahatan, kehendak kuasa, dan cinta kepada dunia. Agama Islam mengajarkan keutamaan dan kebaikan sebagai jalan para utusan dan pewarisnya.
Dalam ajaran Islam, tidak mengajarkan, agar umat Islam melihat keislaman seseorang dari adanya tanda jidat hitam atau jubah yang dikenakan seseorang. Agama Islam, juga tidak mengajarkan Islam adalah agama para penguasa dan yang mampu merebut kekuasaan atau merebut kapitalisme. Agama Islam juga tidak mengajarkan umatnya harus menerima kemiskinan atau memilih jatuh miskin atau faqir.
Adapun yang menjadi standar keagamaan seseorang, adalah komitmen seseorang melaksanakan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kehendak nafsul amarah dan syahwat (kemaksiyatan). Sumber kemaksiyatan ini, adalah kekuasaan, cinta kepada harta benda, syahwat.
Dalam konteks sosial politik, telah marak simbol agama yang menjadi pembungkus kehendak kuasa, pembungkus cinta kepada dunia, dan pembungkus mereka yang cinta kepada kemiskinan. Karenanya, perlu untuk menguraikan kembali prinsip teks kewahyuan dan sunnah yang dikaji melalui kitab minhajul abidin. Semoga Allah tetap menjaga mereka yang tulus mempertahankan nilai keutamaan dan kebaikan dalam risalah kenabian hingga hari ini dan sampai yaumil qiyamah.
Selengkapnya, bisa disimak di tautan ini Arrahmah.co.id