Jejak ISIS, Kebutuhan akan Rasa Aman & Kebutuhan Neurotik

Jejak ISIS, Kebutuhan akan Rasa Aman & Kebutuhan Neurotik

Kajian psikologis ini melihat kepulangan anak-anak ISIS, efeknya begitu buruk. Tapi kita bisa apa?

Jejak ISIS, Kebutuhan akan Rasa Aman & Kebutuhan Neurotik
Nada Fedullah hanya ingin kembali ke Indonesia. Bagaimana nasib Eks-Isis asal Indonesia?

Ketika melihat video tentang warga negara Indonesia kombatan ISIS ingin pulang ke Indonesia, seketika saya teringat teori hierarki kebutuhan yang dirumuskan oleh Abraham Maslow. Dalam teori tersebut, Maslow mengatakan bahwa manusia berperilaku atas dasar pemenuhan lima kebutuhan, yaitu kebutuhan biologis dan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Seseorang hanya bisa melanjutkan pemenuhan kebutuhan jika kebutuhan sebelumnya sudah tercukupi.

Dua kebutuhan terbawah dalam teori hierarki kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan dasar. Artinya, setiap orang tidak peduli jenis kelamin, agama, suku, ras, pangkat, dan tingkat kekayaannya, pasti membutuhkannya dan berupaya untuk mencapainya. Hal ini dikarenakan dua kebutuhan terbawah merupakan prasyarat untuk bisa hidup. Jika dua kebutuhan terbawah tersebut tidak terpenuhi, maka manusia tidak dapat bertahan hidup.

Hal yang terjadi pada warga negara Indonesia yang bergabung ke ISIS dan kemudian ingin pulang, barangkali ingin mencapai kebutuhan aktualisasi diri. Mereka ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan cara menegakkan negara Islam.

Akan tetapi, mereka lupa bahwa cita-cita mereka utopis karena konsep negara Islam dalam konteks saat ini ditentang oleh sebagian besar umat Islam karena bertentangan dengan berbagai dalil. Hasilnya, upaya pemenuhan kebutuhan mereka pun justru merugikan banyak orang. Mereka ingin menciptakan rasa aman dengan sistem negara Islam, namun prosesnya justru membunuh banyak orang yang berbeda pandangan.

Kiranya yang terjadi pada mereka harus menjadi pelajaran bagi kita, bahwa rasa aman memang penting untuk dipenuhi. Contohnya mereka, mereka ingin kembali ke Indonesia ketika rasa aman yang didambakan mereka dalam bingkai negara Islam tidak terwujud, justru kesusahan dan keterancaman yang mereka dapatkan karena dianggap sebagai pemberontak oleh berbagai negara. Ketika rasa aman tidak mereka peroleh, mereka ingin kembali ke Indonesia yang dianggap lebih aman dan nyaman agar rasa aman mereka terpenuhi di Indonesia.

Berdasarkan hal itu, umat Islam di Indonesia selayaknya mengambil pelajaran dari mereka untuk bekerjasama guna menciptakan rasa aman di negara Indonesia tercinta. Rasa aman tidak tercipta jika masing-masing diri kita masih memaksakan kehendak dan pendapat kepada setiap orang yang berbeda dengan kita.

Rasa aman tidak dapat diperoleh jika kita mudah menganggap orang lain yang berbeda pendapat adalah salah dan harus kita benarkan. Rasa aman tidak diperoleh dengan prasangka buruk kepada setiap orang. Andaikan rasa aman yang terjadi saat ini tidak seperti yang diinginkan, apa lagi rasa aman yang diupayakan oleh berbagai kelompok pegiat negara Islam, termasuk ISIS. Mereka justru menciptakan kegaduhan global. Artinya, kita harus merawat situasi negara Indonesia yang jelas-jelas lebih aman dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda konflik karena perbedaan pendapat tersebut.

Saya juga teringat dengan konsep kebutuhan neurotik yang dirumuskan oleh Karen Horney. Setidaknya terdapat sepuluh kebutuhan neurotik dalam diri manusia, diantaranya adalah kebutuhan neurotik akan kekuasaan, kebutuhan neurotik akan ambisi dan kepuasan diri, serta kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketidakmungkinan salah. Barangkali tiga kebutuhan neurotik tersebut ada dalam diri ISIS dan siapapun yang mengikutinya. Mereka menginginkan bahwa kelompoknya yang memegang kendali kekuasaan sehingga mereka memproklamasikan berdirinya negara Islam, mereka berambisi untuk menegakkan negara Islam (versi mereka) sehingga mereka kehilangan empati dan tega membunuh setiap orang yang tidak mau berbaiat kepada mereka, serta ingin mencapai kesempurnaan.

Kesempurnaan Islam memang harus diakui. Akan tetapi, perwujudan kesempurnaan Islam dengan cara yang salah justru akan meruntuhkan kesempurnaan Islam itu sendiri. Mencapai tujuan yang baik juga harus dengan cara yang baik. Namun, yang terjadi pada ISIS (dan organisasi sejenis) ingin mencapai tujuan yang salah (akibat pemaknaan khilafah yang kurang tepat) dengan cara yang salah juga.

Walaupun demikian, mereka menganggapnya sebagai kebenaran karena berpikir secara tekstual dan parsial. Sikap menganggap kebenaran tunggal tersebut yang kemudian melahirkan perilaku neurotik dan merugikan orang lain, serta mengganggu rasa aman orang lain. Pemerintah Indonesia memang sudah memutuskan untuk tidak memulangkan para warga negara Indonesia ISIS, namun bukan berarti tugas menciptakan keamanan tidak perlu dilaksanakan. Dengan demikian, tugas setiap diri kita untuk meningkatkan kualitas keamanan di Indonesia ini.