Kajian maqasid syariah sebagai salah satu pendekatan terhadap teks wahyu dalam dua dekade terakhir ini mendapat perhatian khusus di kalangan para sarjana. Marak dan berkembangnya kajian ini tidak lepas dari sumbangsih dan kerja keras Jasser Auda, yang sudah sejak lama concern mengenai maqasid. Tanpa menegasikan tokoh lain – seperti Ar-Raisyuni, Abdul Majid Al-Najjar, Jamaluddin Attiyah –Auda memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan tokoh lain.
Keistimewan gagasan pemikir asal Mesir ini, terletak pada kebaruannya dalam memformulasikan kembali maqasid syariah, yaitu pergeseran paradigma (shifting-paradigm) dan pengembangan maqasid melalui pendekatan sistem (a system approach). Kedua poin ini –sebagaimana tercantum dalam karyanya Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law (2007) –untuk sementara waktu yang membuatnya layak disebut sebagai Bapak Maqasid Kontemporer.
Maqasid sendiri adalah tujuan yang ingin dicapai melalui penerapan agama dengan basis memaksimalkan maslahah dan meminimalisir mafsadah. Maqasid adalah bentuk plural dari maqsad, yang berarti: tujuan, rahasia, maksud, prinsip, ending, telos (Auda, 2007). Dalam bahasa yang sederhana, Auda membuat ilustrasi bahwa jawaban terhadap setiap pertanyaan mengapa (why), adalah maqasid. Artinya mengapa manusia diciptakan? Mengapa manusia disuruh salat, puasa, zakat? Mengapa peraturannya seperti ini dan itu ada adalah sederet pertanyaan maqasid. Maka dalam maqasid, makna, tujuan, dan rahasia di balik sesuatu –dalam konteks agama adalah teks wahyu –merupakan wilayah kajian maqasid.
Pria kelahiran 1966 ini menyatakan, ada dua alasan penting maqasid perlu direkonstruksi kembali, yaitu adanya krisis kemanusiaan (ajmah insaniyah) dan minimnya metode (qushur manhazhiy) untuk menyelesaikannya. Krisis kemanusiaan merupakan realitas yang dialami oleh hampir semua negara-negara muslim; di mana angka kemiskinan, pengangguran, minimnya tingkat pendidikan, keamanan, pemerataan ekonomi serta kesejahteraan sosial belum terwujud. Ditambah lagi, sebagian besar agamawan masih berkutat dengan metode klasik, yang dalam beberapa hal tidak kontekstual lagi. Akibatnya agama tidak bisa memberikan fungsinya sebagai pembebas.
Pergeseran Paradigma Maqasid: Klasik Menuju Kontemporer
Berangkat adanya krisis kemanusiaan dan minimnya metode, pria yang mendapat dua gelar doktor ini memulai proyeknya. Proyek yang dimaksud adalah perlunya perubahan paradigma dalam kajian maqasid. Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, Auda terlebih dahulu mengkritik beberapa hal dari maqasid klasik.
Pertama, perbaikan pada jangkauan maqasid. Dalam maqasid klasik tidak ada klasifikasi jangkauan. Akibatnya sering terjadi overlapping antara maslahah yang ada. Untuk menghindari itu, klasifikasi kontemporer membagi maqasid ke dalam tiga tingkatan: umum, khusus, dan parsial.
Maqasid umum (al-maqasid al-ammah) terdapat dalam seluruh bagian agama, sifatnya universal. Seperti keadilan, kebebasan, kemudahan, kesetaraan. Maqasid khusus (al-maqasid al-khassah) ada dalam bagian (bab) hukum Islam tertentu, sifatnya partikular. Seperti perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi, kesejahteraan anak dalam hukum keluarga. Maqasid parsial (al-maqasid al-juziyah) dijumpai dalam suatu nash atau hukum tertentu. Seperti adanya ‘adam al-haraj (menghilangkan kesulitan) adalah maksud di balik diperbolehkannya orang sakit tidak puasa.
Kedua, perbaikan jangkauan yang diliputi oleh maqasid. Maqasid klasik cenderung bersifat mikro, hanya dalam wilayah individual. Maqasid kontemporer manarik maqasid ke wilayah makro, yakni masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia. Ketiga, perbaikan pada sumber induksi. Maqasid klasik dideduksi dari literatur fikih, maka maqasid kontemporer langsung digali dari nash wahyu.
Ketiga poin ini menurut Auda menghendaki perlunya paradigma maqasid digeser, jika masih mempertahankan paradigma lama, tidak akan bisa menjawab tantangan zaman. Paradigma maqasid klasik adalah protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan, pelestarian), yang wilayah cakupan, jangkauan dan sumber induksinya masih sempit. Untuk itu perlu digeser ke dalam paradigma baru yang lebih menekankan development (pembangunan, pengembangan) dan human right (hak-hak manusia). Ini dilakukan –meminjam bahasa Thomas Kuhn –karena telah terjadi krisis dalam paradigma lama.
A Systems Approach: Kunci Pengembangan Maqasid
Pendekatan sistem (a systems approach) mengasumsikan sesuatu secara holistik; dan terdiri dari sejumlah sub-sistem yang saling berhubungan, berinteraksi dan bertujuan. Intelektual yang menguasai dua tradisi Barat dan Timur ini mendefinisikan “sistem” –dengan meminjam definisi umum Skyttner –sebagai serangkaian interaksi unit-unit atau elemen-elemen yang membentuk sebuah keseluruhan terintegrasi yang dirancang untuk beberapa fungsi.
Unit-unit dan elemen-elemen itu dalam bahasa Auda disebut fitur, antara satu fitur dengan fitur lainnya saling terkait dan berinteraksi. Dalam konteks ini, Auda memilih enam fitur: cognition (kognisi), adanya pemisahan wahyu dan kognisi manusia. Wholeness (kemenyeluruhan), perlunya menjauhi pendekatan atomistik dan reduksionis. Openness (keterbukaan), mujtahid harus membuka diri untuk menerima berbagai macam keilmuan. Interrelated-hierarchy (hierarki saling keterkaitan), bahwa sesuatu itu sesuatu saling terkait, bukan saling terpisah. Multidimensionalituy (multi-dimensionalitas), sesuatu itu harus dilihat dari berbagai dimensi, bukan hanya satu dimensi. Purposefulness (kebermasudan), bahwa yang jadi sasaran utama adalah maksud. Dari fitur terakhir, Auda mengembangkan gagasan maqasidnya, di mana eksistensi sebuah fitur terletak pada kebermaksudannya (purposefulness; al-maqasidiyah).
Konsekuensi enam fitur di atas, maka interpretasi terhadap maqasid klasik perlu ditinjau ulang, dan disesuaikan dengan konteks sekarang. Alhasil, jika fitur Auda ini dipakai akan berimplikasi terhadap perluasan maqasid.
Menjaga agama (hifz al-din), tidak lagi dimaknai agar tidak murtad, melainkan menghormati kebebasan beragama atau berkepercayaan. Menjaga keturunan (hifz al-nasl) diperluas menjadi kepedulian yang lebih terhadap institusi Keluarga. Menjaga akal (hifz al-aql) bermakna mengembangkan pola pikir dan research ilmiah, mencari ilmu pengetahuan dan menekankan pola pikir yang sehat. Menjaga kehormatan (hifz al-irdh) sama dengan melindungi martabat kemanusiaan; melindungi hak-hak asasi manusia. Menjaga harta (hifz al-mal), mengutamakan kepedulian sosial, pembangunan, pengembangan ekonomi, kesejahteraan sosial.
Wallahu A’lam.