Pembicaraan seputar musik seolah tidak luput dari diskusi dan perdebatan di tengah umat Islam. Isu ini tidak hanya terngiang di era serba digital ini, namun juga seringkali menjadi tema yang menarik perhatian ulama dari masa ke masa.
Ada bejibun karya para ulama yang membahas permasalahan musik, baik yang secara khusus membahas musik ataupun menyelipkan satu bab tersendiri tentang musik dalam karya-karya mereka. Kajian tentang musik ini tidak hanya dikaji dari satu presfektif hukum Islam saja, namun juga dikaji dari sudut pandang lainnya, seperti perspektif sejarah dan hadis.
Dari berbagai presfektif tersebut, tampaknya ulama sepakat untuk tidak sepakat dalam menentukan status hukum musik. Musik, dengan demikian, dimaklumi menjadi persoalan khilafiyah yang umum di kalangan para ulama. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan fakta sejarah bagaimana status dan fungsi musik di masa Nabi Muhammad SAW.
Seni di Masa Nabi
Nabi Muhammad SAW lahir di tengah kehidupan bangsa arab yang memiliki kekayaan seni dan sastra. Sejarah mencatat bahwa bangsa Arab saat itu memiliki kapabalitas yang mumpuni dalam hal kesusastraan.
Karya seni yang sangat pesat perkembangannya di masa hidup Nabi SAW adalah untaian-untaian syair yang acap kali mereka dendangkan dan perlombakan di ruang-ruang publik seperti pasar dan medan pertemuan. Praktis, memiliki syair yang indah merupakan kebanggaan tersendiri dari masing-masing suku bangsa arab.
Rasulullah SAW sendiri juga memiliki beberapa penyair yang sangat hebat dan berkualitas di masanya. Ibnu Sirin (W. 110 H) menyebutkan bahwa di antara penyair-penyair Rasulullah SAW itu adalah Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Rawayah dan Ka’ab bin Malik. Hal ini membuktikan bahwa seni merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri dari perjalanan sejarah peradaban Arab dan agama Islam.
Layaknya syair, musik juga memperoleh posisi penting di masa awal kemunculan Islam. Dalam beberapa hadis, tercatat bahwa musik dimainkan dan dipraktikkan di hadapan Nabi SAW. Berikut ini adalah beberapa catatan sejarah yang mengungkap fakta bahwa musik pernah menjadi unsur penting dalam beberapa kesempatan di zaman Nabi Muhammad SAW.
Musik di Pesta Pernikah
Pada zaman Rasulullah SAW, musik berfungsi sebagai instrumen untuk mempublikasi acara pernikahan. Dalam sebuah hadis riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:” Umumkanlah pernikahan ini, dan laksanakan di masjid-masjid, serta pukullah rebana untuknya.”(HR.Tirmidzi).
Dalam riwayat tersebut terdapat seorang perawi yang dinilai lemah riwayatnya oleh para ulama, yaitu ‘Isa bin Maymun. Namun hadis ini dikuatkan oleh riwayat lain yang memiliki spirit yang sama, yaitu hadis yang juga disebutkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab sunannya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Hathib al-Jumahi, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pemisah antara sesuatu yang halal dan yang haram adalah suara dan rebana dalam pernikahan.” (HR. Tirmidzi).
Al-Husain bin Mahmud al-Syairazi (w. 727 H) dalam kitab al-Mafaatih Fii Syarhi al-Mashaabih memberikan catatan penting mengenai hadis ini. Menurutnya, hadis ini tidak bermaksud bahwa musik menjadi salah satu syarat ataupun rukun akad pernikahan, karena yang menjadi patokan sahnya akad adalah kehadiran wali dan saksi.
Namun konteks hadis ini adalah bahwa musik menjadi sunnah dalam pesta pernikahan. Alasannya, dahulu sebelum Islam datang, prosesi akad nikah dilaksanakan dengan cara tersembunyi dan tidak melibatkan banyak orang.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan kepada umat Islam untuk mempublikasi adanya pernikahan dengan memainkan alat musik dan melantunkan syair dan nyanyian. Hal ini bertujuan agar pesta pernikahan ini diketahui oleh banyak orang sehingga dapat menghindari terjadinya fitnah dan anggapan yang negatif di kalangan masyarakat.
Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa Nabi SAW pernah menghadiri pesta pernikahan yang diiringi alat musik dan nyanyian, yaitu pada pesta pernikahan al-Rubai’ binti Mu’awwiz dengan Iyas bin al-Bukair al-Laysii.
Al-Rubai’ berkata: “Rasulullah SAW pernah menghadiri pesta perkawinanku pagi hari. Beliau duduk di atas dipanku layaknya dudukmu ini. Beberapa orang budak perempuan mulai memukul rebana sembari menyanyi dan memuji para Syuhada di perang Badar. Tiba-tiba salah satu dari mereka berkata, “di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi di hari kemudian.”
Lalu Nabi SAW bersabda, “tinggalkanlah omongan itu, dan teruskanlah apa yang kamu nyanyikan.” (HR. Bukhari)
Kisah lengkap mengenai hadis ini terdapat dalam riwayat Ibnu Majah (w. 273 H). Abu al-husain al-Madani berkata, “pada hari ‘Asyura’ kami berada di Madinah. Dan para budak perempuan memukul rebana dan bernyanyi. Tiba-tiba al-Rubai’ menghampiri kami. Lalu kami menyampaikan hal itu kepadanya. Lalu dia menyampaikan hadis tersebut.” (HR. Ibnu Majah)
Mengutip pernyataan al-Muhallab, Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam kitab Fathu al-Baarii menyebut bahwa hadis ini menjelaskan perihal mengumumkan pernikahan dengan menggunakan alat musik dan nyanyian. Juga, kebolehan bagi Imam untuk menghadiri pernikahan yang di dalamnya terdapat hiburan selama tidak melenceng dari batasan syariat Islam.
Melalui peristiwa ini dapat dipetik sebuah pemahaman bahwa Nabi SAW sama sekali tidak menaruh penilaian negatif terhadap alat musik dan nyanyian. Seandainya musik merupakan sesuatu yang haram dan dilarang, tentu Nabi SAW menghentikan pertunjukan mereka. Namun fakta menunjukkan bahwa Nabi SAW justru memerintah mereka melanjutkan nyanyian dan permainan musik itu.
Tidak hanya itu, dalam salah satu riwayat Aisyah yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW justru menyesali sebuah pernikahan yang tidak diiringi dengan alat musik. Hal ini seperti apa yang disebutkan dalam sahih al-Bukhari.
Diriwayatkan bahwa Aisyah pernah mengantarkan seorang pengantin perempuan ke rumah mempelai pria, yaitu pernikahan antara Nabith bin Jabir dan Fari’ah binti as’ad bin Zurarah. Sewaktu pulang ke rumah, Rasulullah SAW menanyakan perihal pesta tersebut.
Rasulullah SAW lalu bersabda, “tidakkah ada dalam pesta tersebut hiburan (nyanyian), sesungguhnya orang Anshar sangat menyukainya?”
Pernyataan Rasulullah SAW ini mengidikasikan bahwa memainkan musik di hari pernikahan tidak termasuk ke dalam jurang kemaksiatan. Justru, musik dan nyanyian ini dianjurkan dalam rangka menyebarkan informasi pernikahan, menumbuhkan kasih sayang antara keluarga pengantin serta mengekspresikan kebahagiaan.
Di sisi lain, hadis ini memperlihatkan keterbukaan dan perhatian Rasulullah SAW terhadap budaya yang sudah tumbuh di kalangan masyarakat sebelum Islam datang. Sabda Rasulullah SAW kepada Aisyah di atas secara konkret menjelaskan sebagai utusan Allah, Nabi SAW menjunjung tinggi dan menghargai tradisi yang sudah ada selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Musik di Hari Raya
Tidak hanya di acara pernikahan, musik di masa Rasulullah SAW juga pernah dimainkan di momentum Hari Raya. Menariknya, di sini Rasulullah SAW memperlihatkan sikap yang tegas dalam mengkonter anggapan negatif para sahabat terhadap musik di saat itu.
Hal itu berdasarkan riwayat Aisyah ra:
“Abu Bakr pernah datang ke rumahnya, saat itu dia bersama dua orang budak perempuan Anshar, keduaya bernyanyi dengan apa yang diucapkan oleh kaum Anshar saat Hari Bu’as. Aisyah menambahkan bahwa keduanya bukanlah Muganniyat (penyanyi yang membangkitkan nafsu birahi untuk bermaksiat).
Lalu Abu Bakr berkata,”mengapa seruling syetan ada di rumah Rasulullah SAW?” Sedangkan pada saat itu adalah hari raya.
Rasulullah SAW pun bersabda, “biarkan mereka wahai Abu Bakr. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi rebutan antara kelompok yang membolehkan musik dan yang melarangnya. Sebab, dalam hadis ini terdapat pengingkaran Abu Bakr dengan apa yang berlangsung di rumah anaknya Aisyah, yaitu nyanyian dengan musik yang dibawakan oleh budak perempuan dari kalangan kaum Anshar.
Bahkan, Abu Bakr menggunakan diksi yang agak tendensius ketika menyaksikan hal tersebut. Dia mendeskripsikan alat musik dengan seruling syetan, seakan-akan musik ataupun nyanyian berasal dari syetan yang wajib ditinggalkan dan dijauhi. Hal ini lantas menjadi alasan bagi sebagian umat muslim bahwa musik adalah haram.
Namun, hal yang menarik adalah pengingkaran Abu Bakr ini rupanya berhadapan langsung dengan pengingkaran Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pada saat itu adalah hari raya, dan ini adalah waktu untuk bersenang-bersenang dan bergembira.
Karena itu Rasulullah SAW melarang Abu Bakr menghentikan pertunjukan budak perempuan Anshar tersebut. Pembelaan yang dilakukan Rasulullah SAW ini menjadi dalil bagi sebagian ulama untuk mengatakakan musik pada dasarnya adalah mubah.
Perlu dicatat, bahwa dalam hadis ini terdapat penegasan yang begitu penting dari Aisyah. Aisyah berkata, “Kedua penyanyi itu bukanlah Muganniyat.”
Imam Nawawi (w.676 H) menjelaskan maksud Aisyah dalam hadis ini: bahwa kedua perempuan itu tidak menyanyikan lagu yang biasanya dibawakan oleh para Muganniyat (biduan), yaitu nyanyian yang menyeret nafsu dan syahwat untuk melakukan kemaksiatan seperti zina dan minum khamr.
Sebaliknya, yang dinyanyikan oleh kedua budak perempuan itu adalah nyanyian yang juga pernah dibawakan oleh orang Anshar di hari bu’as, yaitu hari pertempuran antara dua kabilah besar kaum Anshar, suku Khazraj dan Aus. Lirik nyanyian ini berisi motivasi yang membangkitkan semangat berjuang dan juga keberanian dalam perperangan untuk meraih sebuah kemenangan.
Ulasan di atas membuktikan bahwa musik dan nyanyian mendapatkan perhatian lebih dari Rasulullah SAW. Musik dan nyanyian pernah dibawakan di pesta pernikahan dan momentum hari raya.
Bahkan, dalam pernikahan Rasulullah SAW secara terus terang menjelaskan musik sangat berguna untuk menyebarkan berita pernikahan kepada masyarakat.
Beberapa fakta di atas tentu akan menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam menilai dan menetapkan hukum musik di dalam Islam. Tidak hanya dalam dua momentum di atas, musik dan nyanyian juga sering dibawakan pada kesempatan dan acara tertentu di masa awal Islam. Penjelasan lanjutannya akan kami ulas di lain kesempatan. Wallahua’lam