Riwayat Anti-Mainstream, Meninjau Ulang Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah

Riwayat Anti-Mainstream, Meninjau Ulang Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah

Membicarakan diskursus tentang pernikahan dan/atau poligami di masa Nabi Muhammad mestinya dibaca melalui frame abad itu. Dengan demikian, kita bisa jauh lebih adil dan bijak dalam membaca sejarah masa lalu yang sudah tentu berbeda dengan dinamika hari ini.

Riwayat Anti-Mainstream, Meninjau Ulang Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah

Pada sebuah diskusi lintas-agama tentang “Pernikahan dalam Perspektif Kitab Suci Al-Quran dan Al-Kitab” muncul sebuah pertanyaan begini:

“Kenapa sih kalian selalu mengatakan kalau Nabi Muhammad itu hanya menikahi janda saja? Padahal ada Siti Aisyah, putri sahabat Nabi Abu Bakar yang dinikahi oleh Muhammad pada masa anak-anak?”

Dalam diskusi tentang pernikahan ini, ayat tentang poligami memang selalu menarik untuk diperbincangkan dan selalu menghangat di forum—forum dialog seperti ini.

Barangkali tercium aroma gugatan-gugatan dari peserta diskusi yang tidak sepakat dengan praktik poligami. Tentu saja kami tidak lupa bahwa Nabi Muhammad SAW juga menikahi Aisyah, seorang perempuan cerdas yang sangat otoritatif dan diakui dalam sejarah periwayatan hadis.

Nur Rofiah dalam sebuah artikel yang berjudul Sayyidah Aisyah RA dan Sikap Kritis Bergama menyebutkan bahwa Sayyidah Aisyah adalah perempuan istimewa yang bersinggungan secara dekat dengan dua tokoh terkemuka Islam, ayahnya Abu Bakar, dan Rasulullah suaminya. Hal ini memberikan pengaruh besar pada pengetahuannya yang mendalam tentang ajaran Islam.

Menyoal pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah, beberapa riwayat menyebut bahwa Aisyah dinikahi Nabi saat usia 6 tahun dan baru tinggal bersama saat usia 9 tahun.

Berdasarkan kondisi historis masyarakat Arab, pada masa itu, adalah hal yang lumrah jika seseorang menikah dengan perempuan yang masih belia.

Hal itu tidak hanya terjadi pada Nabi saja tetapi juga terjadi pada kakeknya Abdul Muthalib, Umar Bin Khattab yang menikah dengan Ummu Kulsum, putri Sayyidina Ali, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Jika ditinjau dari sisi periwayatan hadis, Nurul Bahrul Ulum pernah menuliskannya dalam sebuah artikel berjudul Meluruskan Usia Pernikahan Sayyidah Aisyah dengan Rasulullah. Katanya, para ahli hadis sebenarnya menemukan kejanggalan.

Perawi hadis yang menyebutkan usia menikah Siti Aisyah itu bernama Hisyam bin Urwah. Hadis ini memang tercatat dalam kitab-kitab hadis seperti Shahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibnu Majah dan lainnya.

Tetapi bagaimana dengan status Hisyam bin Urwah dalam periwayatan hadis tersebut?

Pada usia 71 tahun, Hisyam bin Urwah pindah dari Madinah ke Irak. Riwayat ini ternyata datang dari orang Irak dan bukan dari orang Madinah.

Ibnu Hajar al-Asqallani dalam kitab Tahdzibut Tahdzib menyebutkan bahwa Ya’qub bin Syaibah bersaksi: “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya dan riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang diceritakannya setelah ia pindah ke Irak.” Sahabat Malik bin Anas juga menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Irak itu.

Keterangan lain terdapat dalam kitab Mizanul I’tidal. “Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok.”

Berdasarkan beberapa keterangan di atas, riwayat mengenai usia pernikahan Aisyah dengan Rasulullah SAW pada dasarnya membuka peluang untuk diragukan.

Di lain pihak, dalam kajian historis dari berbagai rujukan hadis dan tarikh, usia Aisyah saat dinikahi Nabi sudah dewasa, yaitu sekitar 18 tahun. Pandangan kedewasaan Aisyah ini diadopsi banyak ulama kontemporer, seperti Syekh al-Azhar Mahmud Asyur.

Adapun perihal janda-janda yang dinikahi Nabi Muhammad, apa kriteria dan pertimbangannya, Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Perempuan dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama samai Bias Baru.

Pertama, Saudah binti Zam’ah ra. Ia adalah seorang perempuan yang tak lagi muda. Suaminya meninggal di perantauan Etiopia. Setelah suaminya meninggal ia kembali ke Makkah, menanggung dan melanjutkan hidup bersama anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad.

Kedua, Hindun binti Abi Umayyah ra. Ia dikenal sebagai Ummu Salamah. Ia adalah perempuan tua yang suaminya meninggal saat perang Uhud. Ia pernah menolak lamaran Abu Bakar dan Umar ra. Sebenarnya lamaran Nabi SAW pun ditolak, tetapi akhirnya ia terima demi mendapatkan kehormatan dinikahi oleh Utusan Allah dan demi anak-anaknya.

Ketiga, Ramlah, putri Abu Sufyan ra. Bersama suaminya ia berhijrah ke Habasyah (Etiopia). Tetapi suaminya memeluk agama Nasrani di sana. Lalu ia diceraikan dan hidup sendiri di perantauan. Oleh karenanya melalui Negus, Penguasa Etiopia, Nabi melamarnya untuk memberikan kehidupan layak, sekaligus menjalin hubungan baik dengan ayahnya yang saat itu merupakan salah satu tokoh utama kaum musyrikin di Makkah.

Keempat, Huriyah binti Alharis ra. Ia adalah putri kepala suku dan, meskipun begitu, ia adalah salah satu tawanan pasukan Islam.

Rasulullah menikahi Huriyah sekaligus memerdekakannya dengan tujuan memberikan teladan kepada para pengikutnya. Harapannya, kaum muslimin pun bersedia memerdekakan para tawanannya dan masuk Islam.

Kelima, Hafshah putri Umar Ibnu al-Khaththab ra.

Umar merasa sedih melihat anaknya ditinggal wafat oleh suaminya. Ia menawarkan agar Hafsah dinikahi Abu Bakar dan Usman. Namun keduanya tak memberikan jawaban.

Akhirnya Umar menyampaikan kesedihannya kepada Nabi Muhammad. Nabi pun menerima lamarannya demi persahabatan dan dengan tujuan agar tidak membedakan Umar dan Abu Bakar, yang putrinya, Aisyah dinikahi oleh Nabi.

Keenam, Shafiyah binti Huyay adalah putri pemimpin Yahudi dari Bani Quraizhah yang menjadi tawanan setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Saat itu, Nabi memberikan pilihan kepada Syafiyah untuk kembali ke keluarganya atau tinggal bersama Nabi dalam keadaan bebas dan merdeka. Ia memilih tinggal bersama Nabi dan hidup terhormat bersama Nabi. Pernah suatu ketika ada yang menghina Shafiyah betubuh pendek. Nabi pun membelanya dan mengecam pemakinya.

Ketujuh, Zainab binti Jahsy ra adalah sepupu Nabi. Ia dinikahkan oleh Nabi dengan Zaid Ibn Haritsah, bekas budak Nabi. Tetapi rumah tangganya tidak bahagia sehingga berakhir dengan perceraian. Sebagai bentuk tanggung jawab, maka atas perintah Allah Nabi menikahinya.

Melalui pernikahan tersebut, Nabi pun ingin membatalkan adat jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga ayah angkat tidak bisa menikahi bekas isteri anak angkatnya. Hal ini tercantum pada Q.S Al-Ahzab 36-37.

Kedelapan, Zainab binti Khuzaimah ra. Suaminya gugur dalam perang Uhud. Saat itu, tidak ada satupun kaum muslim yang mau menikahinya. Akhirnya Nabi pun menikahi Zainab.

Ada benang merah yang dapat kita ambil dari berbagai alasan Nabi menikahi para janda. Benang merah tersebut bertumpu pada kesuksesan dakwah Islam Nabi Muhammad, membantu dan menyelamatkan para perempuan yang ditinggal suaminya.

Lalu apakah praktik poligami yang terjadi pada umatnya sesuai dengan semangat Nabi Muhammad SAW? Ini adalah sebuah pertanyaan yang perlu kita refleksikan bersama.

Juga, membicarakan diskursus tentang poligami di masa Nabi Muhammad dan Sahabat mestinya dibaca melalui frame abad itu ketika relasi kuasa antara laki-laki dengan perempuan berada dalam gap yang terlampau curam.

Dengan demikian, kita bisa jauh lebih adil dan bijak dalam membaca sejarah masa lalu yang sudah tentu berbeda dengan dinamika hari ini.