Capres-cawapres Prabowo dan Sandiaga Uno barangkali saat ini harus menerima konsekuensi dari apa yang mereka (bersama barisan pendukungnya) narasikan dalam kampanye politik di Pilpres kali ini, yaitu membawa-bawa atribut keislaman. Pasangan ini lahir dari trajektori isu islamisme yang pada tahun-tahun sebelumnya berhasil menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan narasi penistaan dan anti islam.
Hal itu berlanjut dengan klaim politisi senior PKS, Hidayat Nur Wahid yang menyebutkan bahwa Sandiaga Uno sebagai Santri Post Islamisme. Entah apa sebetulnya yang dimaksudkan oleh politisi PKS itu dengan istilah ‘Post-Islamisme’ yang diteorisasi oleh Asef Bayat itu. Tapi yang jelas, adalah itu merupakan strategi dagangan politik yang hendak menghadirkan bahwa Sandiaga Uno adalah calon pemimpin yang islami dan representasi dari PKS umat Islam Indonesia.
Narasi Santri Post Islamis itu di kalangan barisan pendukungnya tersebut kemudian berlanjut dengan menyebutkan bahwa Sandi tak sekedar Santri Post Islamis, tapi maqamnya sudah ulama’. Narasi itu dibangun bersamaan dengan semakin merekatnya Prabowo dan Sandiaga dengan para ulama’ 212. Lagi-lagi penyebutan-penyebutan Sandi sebagai ulama’ itu tak lain merupakan dagangan politik untuk menggaet para konstituen yang berlatar agama Islam.
Narasi-narasi yang menghadirkan identitas keislaman itu berlanjut ketika pasangan Capres-cawapres ini didaulat oleh sekelompok ulama’ dengan menyebutkan bahwa berdasarkan Ijtihad yang dilakukan oleh mereka (para ulama’) mendapatkan petunjuk bahwa Prabowo dan Sandiaga Uno adalah pasangan Capres dan Cawapres yang paling merepresentasikan kebutuhan umat Islam Indonesia.
Dan pada puncaknya Prabowo Subianto menghadiri kegiatan Reuni 212 di Monas yang konon katanya mampu menghadirkan umat Islam sampai jutaan itu. Bahkan di acara Reuni itu Prabowo diberikan panggung dan tempat untuk menyampaikan pidato di hadapan jutaan umat pada awal bulan Desember lalu.
Panorama keislaman yang dibangun dan dikampanyekan oleh kubu Prabowo-Sandi itu kini menemui batunya. Kini, segala hal terkait ativitas kehidupan privat keduanya selalu dinilai kadar ketaatan dan kesalehan dalam mempraktikkan ritual peribadahannya. Jadi, branding yang oleh kubu Prabowo-Sandi dimaksudkan untuk menarik simpati dari calon pemilih muslim (kelemahan kubu Jokowi), kini malah berujung menjadi polisi kesalehan yang selalu menilai kadar keislaman keduanya.
Suatu waktu, aktivitas ziarah kubur yang dilakukan oleh Sandiaga Uno di makam salah satu pendiri NU di Jawa Timur, mendapatkan komentar cukup keras dari netizen karena sikap-sikapnya tidak sesuai dengan adab dan tata krama ziarah kubur (apalagi kiai besar dalam NU) dalam tradisi pesantren. Prabowo juga menemui hal yang sama, ucapan Prabowo yang keliru dalam melafalkan ungkapan pengagungan kepada Nabi Muhammad (kata: sholalohu alaihi wa sallam) berujung kepada komentar keras netizen juga.
Kasus aktual, Prabowo mendapat komentar keras dari netizen atas keikutsertaan Prabowo dalam sebuah kegiatan natal bersama keluarga dan orang-orang partainya. Terlebih lagi belakangan Prabowo mengakui sendiri bahwa kurang menguasai tata cara menjadi imam shalat. Sandiaga juga menemui batunya juga, sang santri cum ulama’ Post Islamisme ini mendapat komentar netizen atas video wudhunya yang aneh dan kurang sesuai dengan tata cara dan kaidah berwudhu mainstream dalam Islam.
Ucapan, sikap dan perilaku Prabowo dan Sandi yang gagap dan terlihat kaku dalam mempraktikan kesalehan dirinya belakangan ini merupakan kosekuensi dari narasi kampanye kubunya yang memunculkan parameter kesalehan dan keimanan untuk menjadi kategori penting dalam kontestasi Pilpres 2019 kali ini.
Bagi netizen yang kritis, tentu kegagapan praktik kesalehan Prabowo dan Sandiaga belakangan ini tentunya adalah sebuah kontradiksi dari jargon yang selama ini kubu mereka kemukakan dan jual dalam kampanye poltiknya. Mulai klaim Sandi sebagai ‘Santri cum Ulama’ Post Islamisme’ hingga klaim sebagai Capres dan Cawapres hasil Ijtihad Ulama’ tentu sangat kontradiktif dengan kegagapan praktik peribadatan dan tingkat kesalehan kedua calon ini.
Pada akhirnya, narasi dan kampanye yang mempersonifikasikan Prabowo dan Sandiaga sebagai Capres dan Cawapres yang merepresentasikan diri sebagai calon pemimpin yang saleh dan islami ini malah jatuhnya merugikan kubunya sendiri. Dan dengan kontradiksi yang dilakukan Prabowo-Sandi ini malah menguntungkan lawan politiknya. Bukan begitu, bukan?