Mu’adz bin Jabal Ra. pernah mendengar Rasul Saw. bersabda
أنا زعيمٌ ببيتِ في رَبَضِ الجنة، وببيتٍ في وَسَطِ الجنةِ، وببيتِ في أعلى الجنة، لِمَن تركَ المِراء وإن كان محقّاً، وتركَ الكذبَ وإن كان مازحَاً، وحَسَّنَ خُلُقَه وببيت في أعلى الجنة لمن حسن خل
“Aku menjamin sebuah istana di tepian surga untuk orang yang meninggalkan debat (debat kusir atau debat yang berkepanjangan) meskipun ia dalam posisi yang benar, dan meninggalkan berbohong meskipun pada saat ia bercanda, dan berakhlak mulia.” Dalam riwayat lain disebutkan “Dan istana di puncak surga untuk orang yang berakhlak mulia.”
Nabi Muhammad SAW melarang umatnya untuk melakukan perdebatan yang berkepanjangan terutama debat kusir dikarenakan berdebat yang semacam ini akan menimbulkan kebencian dalam hati dan terkadang majelis yang mengadakan perdebatan akan berakhir dengan keburukan dan tanpa menghasilkan kebenaran.
Juga hadis di atas menjelaskan tentang betapa besarnya ganjaran yang telah dijaminkan oleh Nabi Muhammad Saw. bagi orang yang meninggalkan perdebatan yang berkepanjangan atau debat kusir. Maka, selayaknya umat Islam untuk menjauhi model perdebatan yang semacam itu.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam karya Az Zuhd, Hasan al Bashri berkata ketika menyaksikan orang-orang sedang berdebat, “Mereka itu orang-orang yang bosan beribadah, sehingga mereka sangat mudah berbicara dan telah hilang sifat wara’ dalam dirinya, dan akhirnya mereka itu selalu berbicara.”
Imam Hasan al Bashri (w. 110 H) menyifatkan orang-orang yang suka berdebat dengan sifat orang-orang yang bosan beribadah, disebabkan karena memang orang yang sudah bosan beribadah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan dan di antaranya ialah terus menerus berdebat
Walhasil, tinggalkanlah model perdebatan yang semacam itu, karena tidaklah debat yang semacam itu mendatangkan sesuatu kecuali semakin jauhnya seseorang dari kebenaran dan semakin tumbuhnya kebencian dalam diri orang tersebut.
Perdebatan dilaksanakan karena bertujuan untuk mencari kebenaran bukan pembenaran dan menegakkan pendirian adalah proses dalam perdebatan, bukan tujuan perdebatan.
Adapun debat yang diperbolehkan di dalam syariat Islam yang bertujuan untuk menyebarkan kebenaran, yakni sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surah An Nahl ayat 125
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah (debatlah) mereka dengan cara yang baik.”
Dalam ayat ini disebutkan untuk mendebat mereka (manusia) dengan cara yang baik. Mengajak kepada kebaikan juga harus mendebat dengan cara yang lebih baik. Tidak dengan menzalimi orang yang menentang (atau lawan debat) ataupun sikap penghinaan atau pelecehan terhadapnya. Berdebat dengan cara yang baik inilah yang akan meredakan suasana dan menghilangkan sifat keangkuhan diantara kedua pelah pihak yang berdebat. Dan orang yang diajak berdebat pun akan merasa bahwa dirinya dihormati dan dihargai.
Wallahu a’lam.